Perlunya Tujuan Berpendidikan yang Kongkrit di Papua

0
2966

Oleh: Ernest Pugiye)*

Seperti sebelumnya, sejak empat tahun pemerintahan Presiden Negara Republik Kesatuan Indonesia (NKRI) Joko Widodo, setiap tahun ajaran baru, energi dan kantong terkuras habis untuk biaya pendidikan yang kian mahal. Realitas mahalnya pendidikan Indonesia termasuk Papua telah menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membangun pendidikan anak bangsa. Kegagalan ini dapat disimak melalui adanya keuntungan di balik mahalnya biaya pendidikan. Realitas ini menetas broker “kapitalisme”.

Kondisi mahalnya pendidikan ini menawarkan dua masalah utama yakni upah mencari sekolah yang cocok asal mampu membayar pada satu sisi. Bangku sekolah hanya digunakan sebagai bak komuditas ekonomi yang gampang diperjualbelikan sesui mekanisme pasar dan pendidikan Papua memang sudah mulai kehilangan jiwa pada sisi lain.

Bahwa esensi pendidikan yang membebaskan, memanusiakan manusia dan sebagai sarana untuk membentuk integritas manusia guna mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa dan masyarakat nampak semakin berbau komersial dan mengasingkan anak-anak bangsa dari dunia ilmu pengetahuan. Bahkan anak-anak bangsa pun tidak lagi dipandang dan dibentuk sebagai pelaku pendidkan dengan mengkondisikan mereka ke dalam sistem pendidikan Papua yang semakin bobrok, karena adanya “goa” untuk konflik Papua. Inilah yang dinyatakan secara sistematis, bertalian dan dilaksanakan secara berkelanjutan bagi anak-anak bangsa Papua di tanahnya sendiri.

Dalam memperbaharui sistem pendidikan Papua entah pendidikan sekolah negeri ataupun swasta, para dosen, mahasiswa dan para pendiri Negara dan Gereja Papua yang mendirikan banyak sekolah ini telah memiliki peranan utama untuk membentuk generasi bangsa yang berpendidikan, kritis, cerdas dan baik. Namun kehadiran pendidikan Papua nampaknya telah keluar dari tugas utama.

ads

Pemerintah dan para pimpinan Gereja, dua institusi yang menjadi promotor pendidikan hadir terlihat hanya untuk mencari kekayaan daripada mencetak sumber daya manusia Papua yang berpendidikan, cerdas, kritis dan berkesadaran tinggi. Sejarah mengajarkan bahwa berbagai lembaga pendidikan Tinggi sudah tentunya memiliki banyak alasan, motivasi dan kepentingan yang berbeda-beda bagi keberadaan Papua.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Dalam membangun Papua, di Papua, ada 7 universitas yakni Universitas Cenderawasih, Umel Mandiri, Otto Gesler dan Universitas Tsipol Silas Papare serta Pendidikan Tinggi USTJ, Stikom dan Pendidikan Tinggi Kedokteran dan Akper di Jayapura Provinsi Papua. Selain itu, ada tiga universitas pendidikan Yayasan Kristen yakni Sekolah Tinggi Filsat Teologi Fajar Timur (STFT “FT”) Abepura, Sekolah Tinggi Teologi Isak Iskeine Abepura dan Sekolah Tinggi Teologi Water Post Sentani.

Sekolah-sekolah tinggi ini secara umum memiliki ciri khas utama yakni membentuk pemimpin Papua yang berintegritas tinggi dan berpendidikan, menjadi manusia kritis, cerdas dan baik serta menjadi pribadi yang solider dan peka terhadap berbagai realitas konflik di seluruh tanah Papua. Maka berdasarkan semangat dasar ini, penerimaan putra-putri asli Papua telah secara otomatis ditetapkan sebagai skala prioritas utama dalam membangun pendidikan Papua. Dengan demikian, anak-anak Papua hendaknya dibentuk untuk menjadi agen perubahan dan dapat menyesuaikan diri secara tangguh dan berani dalam menghadapi perubahan struktur pendidikan Papua sesuai dengan tantangan zaman dan maraknya konflik Papua yang agak sulit dituntaskan dalam sejarah yang paling panjang.

Sekalipun pendidikan tinggi hanya didirikan untuk putra-putri Papua agar kelak dapat menjadi manusia baik, tapi kenyataannya, kondisi dan arah pendidikan Papua mengarahkan rakyat dan bangsa Papua pada masa depan yang hancur dan gelap. Ada banyak orang mengakui bahwa melalui sistem pendidikan Papua semakin bobrok, orang asli Papua masih terus-menerus mengalami perubahan ke arah kematian dan kegelapan.

Berdasarkan kondisi pendidikan Papua saat ini, perubahan totalitas anak-anak asli Papua telah terjadi dalam berbagai aspek baik perubahan yang menekankan aspek krisis moral, mental maupun perubahan yang mengarah pada aspek krisis intelektual, krisis sosial dan krisis spiritual anak asli Papua. Kodisi ini ditandai dengan membiarkan dan mengurung mereka di bawah kurang dari titik garis kemiskinan, penindasan dan kebodohan. Mereka menjadi budak dan terjajah sementara pada saat yang sama, tanah Papua yang kaya akan sumber daya alamnya masih tetap digusur, direbut dan diahlifungsikan oleh orang pendatang dari berbagai suku bangsa Melayu di Indonesia, pemodal ilegal dan pemerintah.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Dalam kondisi yang sedemikian, penerimaan dan pengaturan sistem pendidikan tinggi kurang berikan waktu dan ruang utama bagi para putra-purtri Papua. Biasanya, pada setiap kali awal tahun akademi, ada banyak anak-anaka asli Papua yang tidak dapat diterima dan diloloskan sebagai mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi di Papua. Para peserta calon mahasiswa yang dinyatakan gagal untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi ini sebenarnya datang untuk belajar dan menuntut hak-hak mereka atas pendidikan tinggi. Mereka telah datang dari tempat yang jauh yakni dari pedalaman Papua baik pedalaman pesisir pantai maupun pedalaman pegunungan Papua. Mereka telah mengorbankan harta benda, waktu dan tenaga. Di antaranya seperti biaya transportasi baik laut, darat dan udara yang paling mahal, datang dengan menempu medan pendidikan tinggi yang berat dan terpencil dan memakan waktu yang paling panjang serta membuang energi yang luar biasa, tapi biasa tidak diprioritaskan sebagai agenda utama dalam membangun pendidikan Papua. Kondisi yang paling memprihatiankan ini tetap akan terjadi pada para peserta baru di tahun 2018 nanti.

Sementara para pendatang ini diberikan perhatian secara khusus dan serius oleh pemerintah dan para akademisi di Papua. Berbagai peluang penerimaan tes masuk mahasiswa baru pada setiap awal tahun akademi, berbagai kesiapan, pelatihan-pelatihan dan peluang beasiswa dari berbagai sumber biasanya diprioritaskan bagi orang pendatang. Perhatian serupa ini dalam berbagai aspek di dunia pendidikan Papua terus-menerus dibangun secara sistematis, metodis dan bertalian oleh pemerintah, para akademisi bagi kaum pendatang. Dengan adanya perhatian yang serius dari pemerintah dan dosen, para mahasiswa pendatang di Papua lebih mudah mendapatkan banyak buku cetak dan teknologi, peluang, uang yang banyak selama studi di Paua. Mereka juga cepat mendapatkan pekerjaan (entah apa saja) setalah menyelesaikan pendidikan terakhir.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Dalam kondisi seperti di atas itulah, faktor biaya pendidikan yang tinggi justru memperparah bertambah banyaknya jumlah pemuda pemudi Papua yang tereliminasi dari hak-hak mereka akan pendidikan, apalagi di alm zona Otsus. Hal ini pada gilirannya menjadikan sega aspkek hidup dikuasai oleh orang pendatang di Papua. Hal ini juga akan berdampak pada tingkat kontribusi rakyat Papua yang kurang terhadap masa depanya sehingga, konflik dan masalah Papua tidak akan pernah selesai sejauh pendidikan Papua dan tenaga kerjanya hanya dikuasai oleh orang pendatang dan ketersingkiran orang Papua asli akan semakin nyata. Karena itu, semua stakeholders yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, selain mencari jalan bagi keringanan biaya pendidikan untuk semua jenang di Papua secara menyeluruh, segera, pertama, memperbaharui struktur pendidikan di Papua, dan terakhir, menetapkan arah dan tujuan berpendidikan yang kongkrit bagi rakyat Papua dan itu ditetapkan dengan legalitasnya agar dijalankan semua institusi pendidikan yang ada di Papua.

)* Penulis adalah Alumnus pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura.

Artikel sebelumnyaPemkab Yahukimo Sedang Menangani Bentrok Warga di Dekai
Artikel berikutnyaAprila Wayar: Menulis Berita Itu Bukan Seperti Menulis Artikel