Kritik Ideologis : Relevansi Marxisme Dalam Gerakan Aktivis Papua

0
2463

Oleh: Edoardo A.A Mote)*

Besok Pilkada akan diselenggarakan dan sebagian besar orang Papua akan datang ke TPS untuk memberikan suara mereka. Meskipun secara sadar orang Papua tahu bahwa ini merupakan kemauan Pemerintah Indonesia untuk tetap mendapatkan legitimasi supaya tetap berdaulat atas manusia dan Tanah Papua, toh mereka adem-adem saja malah saling mengajak satu sama lain untuk datang ke TPS besok. Cuplikan realitas ini sebenarnya berbicara banyak hingga menyentuh hal yang menjadi roh dari pergerakan aktivis Papua.

Kita selalu beranggapan bahwa akan ada gerakan revolusi orang Papua menurut dalil Marxisme untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Kenyataannya bahwa masyarakat Papua saat ini sudah terfragmentasi secara sosial politik. Belum ada identitas politik tunggal yang cukup solid untuk merepresentasikan unifikasi politik orang Papua. Hal ini karena relasi sosial masyarakat Papua yang mencerminkan struktur sosial tidak lagi didasarkan pada sistem produksi seperti yang dikemukakan oleh Marxisme. Relasi sosial saat ini lebih didasarksn pada faktor-faktor non produksi. Dengan kata lain, fragmen sosial ini membuktikan bahwa Marxisme itu gagal sebagai alat analisa untuk mengungkap realitas sosial-politik orang Papua jaman now.

Apalagi dalam runutan perkembangan peradaban seperti yang dipercayai oleh para Marxisme dalam Sejarah Materialisme, masyarakat Papua tidak mengalaminya secara berurutan. Orang Papua mengalami lompatan sejarah sehingga skenario revolusi yang diimajinasikan oleh teman-teman Marxis Papua sulit untuk terwujud. Pertanyaan sederhana saja mengapa sampai orang Papua secara sadar mau mengikuti proses pemilihan umum entah itu presiden, gubernur, bupati maupun anggota DPRD sementara mereka tahu dengan jelas bahwa sejak Papua terintegrasi ke dalam Indonesia ada banyak pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga hari ini di tanah Papua. orang Papua juga tahu bahwa implementasi OTSUS tidak pernah benar-benar menyentuh kebutuhan dasar orang Papua. Triliunan rupiah digelontorkan sejak 2001 hingga sekarang tapi tetap sebagian besar orang Papua hidup di bawah garis kemiskinan, punya harapan hidup yang rendah, tingkat kelahiran rendah, tingkat kematian tinggi, kerusakan lingkungan dimana-mana dan kondisi pendidikan yang memprihatinkan.

Marxisme sebagai alat analisa gagal untuk menjawab mengapa orang Papua yang saat ini menjadi “tahanan” tetap memelihara kondisinya bahkan turut mendukung para penindas mereka untuk terus melanggengkan kekuasaannya atas orang Papua. Ini berarti sudah saatnya kita membutuhkan paradigma baru dalam melihat bagaimana sebuah penindasan itu bekerja tidak hanya oleh karena ada penindasnya saja melainkan juga oleh karena yang tertindas itu setuju untuk di tindas. Lebih dari itu, kita menyaksikan bahkan mungkin kita sendiri terlibat didalamnya dalam menikmati dan merayakan bersama-sama praktek-praktek opresi yang terjadi setiap hari. Kita membutuhkan sebuah pendekatan epistemologi baru untuk memperoleh pandangan yang lebih radikal dan relevan untuk mengungkap bagaimana praktek-praktek kolonial ini langgeng di Papua.

ads
Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Sayangnya adalah bahwa saat ini Marxisme seakan menjadi Dogma kaku di antara para aktivis Papua dan menjadikannya sebagai satu-satunya kaca mata analisa untuk melihat berbagai persoalan di Papua. Ia seakan mengokupasi sebagian tahta “rezim Kebenaran” untuk mendikte mana yang salah dan benar, mana yang boleh dan tidak boleh dalam konteks perjuangan Papua.  Sudah saatnya para aktivis Papua membuka diri bagi pandangan-pandangan yang lebih kekinian dan revolusioner agar tidak keliru menerjemahkan realitas sosial-politik orang Papua jaman now. Dengan tetap mempertahankan Marxisme yang kaku dan determinatif, ibarat kita menggunakan hanya satu jenis perkakas rumah untuk mengerjakan semua hal dan mengharapkan bahwa hasil dari semua pekerjaan kita akan sama. Pisau Daging berbeda dengan pisau buah. Jika keduanya dipertukarkan secara fungsinya hasilnya tidak akan maksimal. Demikian juga dengan melihat realitas sosial-politik orang Papua saat ini. Marxisme sebagai roh dari gerakan politik mungkin kompatibel untuk masyarakat yang telah mencapai fase industri dimana adanya serikat buruh yang terbentuk solid dan memiliki kesamaan persepsi dan perasaan tentang penindasan yang dialami oleh karena sistem ekonomi kapitalisme yang beroperasi. Cukup sulit untuk menggunakan analisa dialektika materialisme dalam melihat perkembangan manusia saat ini. Lagipula kita tidak bisa lagi mengidentifikasikan dengan jelas pada tahap apa masyarakat kita saat ini. Sebagian masih bercocok tanam, sebagian masih meramu, sebagiannya lagi kerja di sektor tambang. Sisanya mereka yang bekerja di sektor jasa. Diferensiasi dan keanekaragaman ini akhirnya membuat kita sulit untuk mendefinisikan secara spesifik tahap perkembangan masyarakat berdasarkan pandangan Historis Materialisme. Marxisme hanya membantu kita bahwa dengan keanekaragaman tipe pekerjaan seperti ini, semunya terkoneksi dalam satu sistem ekonomi kapitalisme. Marxisme memang membantu kita mengidentifikasikan siapa/apa yang sedang kita hadapi.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Persoalannya adalah Kapitalisme memiliki kemampuan bertransformasi ke dalam berbagai bentuk sejalan perkembangan jaman. Kita mesti memiliki pendeketan epistemologi yang lebih relevan untuk mendeskripsikan seperti apa bentuk Kapitalisme saat ini dan bagaimana ia bekerja.

Lebih lanjut, globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah meruntuhkan tembok-tembok kedaulatan dan menjadi jembatan antar masyarakat yang dulunya tersekat-sekat ke dalam suatu teritori politik tertentu. Proliferasi teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya menyebar di suatu tipe masyarakat tertentu saja tetapi menyebar secara acak ke seluruh dunia. Bahkan masyarakat pedalaman yang baru beranjak dari peradaban meramu kepada bertani telah tahu menggunakan Handphone. Inilah yang membuat upaya ideologisasi generasi muda Papua dengan cara-cara mengontrol sirkulasi informasi (yang berisi dogma-dogma ideologi) sulit untuk dijalankan.

Era Digital adalah era matinya otoritas pengetahuan. Semua orang menerima berbagai informasi dari berbagai sudut yang turut mempengaruhi persepsinya terhadap sebuah fenomena sosial-politik. Pengkultusan Marxisme sebagai roh ideologi perjuangan yang kaku hanya akan menghantam kembali ide ini. Buktinya adalah Fenomena Goyang Patola yang ditanggapi secara bablas oleh kita. Kita menjadi kaget dan bingung bagaimana menanggapi fenomena ini. Meskipun kita tahu bahwa sulit untuk melihatnya dari kacamata Marxisme, namun oleh karena alat analisa itu saja yang kita miliki maka akhirnya outputnya menjadi blunder ke mana-mana. Fenomena ini

Sejauh pengamatan saya, alat analisa paling mutakhir yang diadopsi oleh aktivis Papua adalah Pendekatan Post-kolonialisme. Sejatinya jika ini digunakan sesuai kaidah penggunaannya, maka ia bisa menyediakan sudut pandang untuk melihat realitas sosial-politik Papua yang lebih kritis dan relevan dengan masa sekarang. Persoalannya adalah kita belum begitu mahir menggunakan pendekatan ini. Analoginya seperti ketika kita ingin memotong daging. Kita tahu bahwa ada pisau daging dan pisau buah terletak diatas meja. Kita juga tahu bahwa untuk memotong daging kita mesti menggunakan pisau daging. Namun apa yang terjadi, ketika kita ingin memotong daging kita mengambil pisau buah dan teknik memotong daging tersebut dengan menggunakan teknik memotong buah. Jadi, dalam analogi ini ada dua kesalahan yang kita buat. Pertama salah mengambil jenis pisau dan salah dalam teknik memotong. Ini yang saat ini sedang terjadi ketika kita mau menganalisa persoalan Papua saat ini. Kita tahu bahwa Marxisme seakan sulit untuk menjelaskan situasi sosial-politik masyarakat saat sekarang dan kita juga tahu bahwa Post-kolonialisme lebih mendekati relevansinya. Namun demikian, kita masih tetap menggunakan Marxisme sebagai pisau analisa dengan mengaplikasi teknik Marxisme menganalisa, tapi mengatasnamakan analisa Post-kolonialisme. Kita ingin menggunakan pendekatan tersebut untuk menganalisa Papua tetapi tetap masih terperangkap di alam pikiran Marxisme.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ironisnya lagi bahwa situasi ini terus terpelihara di antara aktivis Papua. Reaksi atas fenomena goyang Patola yang menyentak keterbuaian intelektualitas kita hanya pada satu perspektif saja (baca: Marxisme) telah menyingkap kedangkalan berpikir, kedunguan analisa yang semuanya itu berakhir pada kegagalan mendeskripsikan situasi Papua saat ini.

Ternyata selama ini kita keliru sehingga gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang telah diurai di atas. Entah karena kita memang ingin mempertahankan ego atau karena memang akibat kekonyolan kita sendiri, tapi apapun itu hal ini telah memelihara kekerdilan intelekulitas kita selama ini. Berbagai masukan positif untuk membangun dan memperluas cakrawala berpikir kita mestinya diterima dengan kecurigaan yang positif pula. Sebab, Jika tidak ada terobosan yang lebih militan dalam mengadopsi berbagai paradigma berpikir, adalah sebuah keniscayaan bahwa perjuangan kita hanya akan jalan ditempat dan cita-cita yang menjadi harapan kita bersama seakan fatamorgana di padang gurun. Seolah-olah sudah terlihat di depan mata, ternyata hanyalah ilusi yang terbentuk oleh karena ketidakcermatan kita dalam melihat konteks situasi sosal-politik Papua masa kini.

 

)* Penulis adalah Ketua Divisi Data dan Advokasi LSM Perkumpulan Silva Papua Lestari Merauke

Artikel sebelumnyaCatalonia dan Hasrat Merdeka yang Terus Menyala
Artikel berikutnyaKPU Papua di Jalan Terjal ke Taman Alam Indah