Tindakan Ormas dan Gabungan Polri/TNI Terhadap Mahasiswa Papua di Kota Malang Dikecam

0
3486

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pembungkaman ruang demokrasi bagi mahasiswa Papua yang ditandai dengan aksi pembubaran disertai tindakan brutal oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) bersama aparat gabungan TNI/Polri di Kota Malang, Jawa Timur, hari Minggu (1/11/2018), sangat disesalkan Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI).

Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat AMPTPI menilai kejadian tersebut sebagai bukti tiadanya ruang bicara bagi orang Papua di negara Indonesia.

AMPTPI bahkan mengecam keras tindakan yang menimpa mahasiswa Papua di Kota Malang dalam rangka memperingati 1 Juni 1971 sebagai hari bersejarah bagi rakyat Papua.

Kecaman sama diungkapkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya.

Dalam siaran pers yang dikirim ke suarapapua.com, AMPTPI menyatakan, pihak penegak hukum mestinya bijak dalam menanggapi aksi berlebihan yang dilakukan oleh ormas terhadap kegiatan mahasiswa Papua di Kota Malang. Pihak keamanan justru dituding memicu konflik, membiarkan situasi berlangsung tanpa ada upaya pengamanan.

ads

Ambros Mulait, pimpinan AMPTPI Indonesia Barat mempertanyakan, saat kejadian, pihak kepolisian ada, namun herannya mengapa pihak TNI ikut terlibat dalam aksi reaksioner tersebut? Apakah mahasiswa Papua di Kota Malang seperti teroris atau ISIS yang hendak mencabut nyawa manusia?

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Baik Ormas maupun Polisi dan Tentara yang ikut terlibat dalam tindakan sewenang-wenang itu patut disoroti karena sekarang bukan jamannya bermain fisik dengan brutal.

“Tindakan sewenang-wenang ini sudah sangat memalukan, Indonesia sebagai negara demokrasi sudah 70 tahun merdeka, namun tindakan tidak manusiawi terhadap mahasiswa Papua di Malang bahkan wilayah Jawa dan Bali termasuk di kota studi lain di Indonesia, merupakan bukti tidak demokratisnya negara ini,” tulisnya.

“Dalam hampir semua aktivitas orang Papua, selalu batasi, bahkan larang. Tingkah negara memanfaatkan ormas reaksioner melalukan tindakan yang brutal, rasisme, terhadap orang Papua, sangat menyakitkan hati orang Papua. Itu membuktikan bahwa benar kami bukan warga Indonesia.”

Lanjut Ambros, “Sejatinya kami juga seperti mereka, sama-sama manusia ciptaan Tuhan, sama seperti mereka yang harus dihargai, dihormati tanpa menghujat dengan kata-kata rasis, juga aksi represif. Jika memang pandangan selama ini terhadap orang Papua seperti binatang, kenapa tidak memberikan kebebasan dalam menentukan nasip sendiri, kalau pemerintah Indonesia hadir hanya mengeksploitasi sumber daya alam Papua tanpa peduli manusia pemilik tanah emas ini?”

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Selama ini orang Papua diperlakukan berbeda. Padahal, tegas AMPTPI, semua warga negara punya hak asasi manusia yang fundamental yaitu hak persamaan seperti hak untuk diperlakukan tanpa diskriminasi dan lainnya, serta hak kebebasan misalnya kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk berserikat, dan sebagainya.

Seturut aturan dalam UUD 1945 pada pasal 28, bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, sesungguhnya ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Ini telah diratifikasi pada 28 Oktober 2005 melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan on Civil and Political Rights.

UUD 1945 memberikan garansi kemerdekaan menyampaikan keinginan hak politiknya secara mutlak. Setiap bangsa memiliki hak untuk merdeka secara politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya, sehingga praktek penjajahan oleh bangsa kepada bangsa yang dijajahnya adalah pelanggaran multi dimensi.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Pernyataan ini sebagaimana tertuang dalam konstitusi NKRI pada Pembukaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dalam UUD 1945, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Andy Irfan J, Sekjend KontraS Surabaya, menyatakan sangat kesal dengan kejadian tersebut. KontraS mendesak agar Kepolisian Republik Indonesia melakukan evaluasi atas sikap, tindakan dan perilaku aparat dibawahnya yang secara jelas dan nyata anti-demokrasi, melanggar konstitusi, dan menyepelekan hak warga untuk berkumpul dan berekspresi.

“Menuntut Pemerintah Jokowi untuk memastikan perlindungan HAM dan pemenuhan keadilan kepada rakyat Papua.”

Selain itu, masyarakat dihimbau agar tidak terseret dalam konflik horizontal dengan pemuda Papua. Bagi KontraS, menyuarakan keadilan bagi rakyat Papua selayaknya perlu didukung seluruh rakyat Indonesia.

Pelarangan hingga pembubaran secara paksa bahkan penganiayaan itu terjadi sebelum mahasiswa Papua di kota apel hendak menggelar kegiatan nonton bareng film disertai diskusi ilmiah.

Pewarta: CR-4
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaKontraS: Tiga Anggota Yonif 755/Yalet Pembunuh Isak Dewayekua Harus Diadili
Artikel berikutnyaKesaksian Anindya, Korban Dugaan Pelecehan Aparat Saat Bela Acara Diskusi Mahasiswa Papua