Gagal Menembus Awan: Catatan Margi Si Ragi Korowai (bagian 1)

0
3118

Oleh: Margi)*

Wamena 3 Juli 2018. Hari ini puncak dari suka cita saya tiba. Saya akan ke Koroway menumpang helikopter milik maskapai penerbangan Helivida. Saya akan jadi guru untuk Suku Terasing Koroway. Sungguh gembira tiada tara. Bersyukur luar biasa.
Pagi hari, masih jam 06.00 WIT, suhu dingin kota Wamena masih menggigit tulang. Saya melawan suhu dingin yang mendekati 10 derajat celcius itu lalu mandi kemudian bersiap. Jam 07.00 saya meninggalkan asrama Pelajar Koroway YAPESMI di Jalan Irian menuju Hanggar heli. Saya melapor jam 7.30 dan tepat jam 08.00 saya sudah duduk di kokpit di samping Mathias Webber, pilot helikopter Helivida yang akan menerbangkan saya dari Wamena ke kampung Brukmahkot.

Saat duduk di kokpit, saya melipat tangan dan berdoa untuk keselamatan perjalanan ini. Hati saya penuh sukacita. Saat mata saya tertutup menghadap TUHAN, saya teringat kembali jalan panjang yang sudah saya lalui hingga saat ini saya duduk di kokpit di samping pilot untuk terbang ke wilayah Koroway.

Nama asli saya Imelda Author Hendrieta Kopeuw. Margi adalah nama julukan yang akan saya jelaskan artinya di akhir cerita ini.

Saya lulus dari Teachers College (FKIP) Universitas Pelita Harapan Karawaci, Banten , tahun 2015 lalu. Setamat kuliah, saya sempat mengajar di salah satu SD di Sentani selama hampir 3 tahun. Dan saya berpeluang menjadi guru tetap di sana dan diangkat sebagai PNS. Tapi jiwa saya tidak tenteram dengan pilihan itu.

ads

Saya juga mendapat kesempatan lain ketika lamaran saya untuk bekerja di suatu SD yang dibiayai suatu perusahaan multi-nasional diterima. Jika saya mengambil pekerjaan ini maka saya berhak menerima gaji sebesar belasan juta rupiah, fasilitas rumah, fasilitas liburan ke luar Papua dan beberapa fasilitas lain. Kesempatan yang menggiurkan. Tetapi jiwa saya tidak tenteram dengan pilihan ini.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Jiwa saya bergumul dengan panggilan anak-anak Koroway dalam mimpi saya. Panggilan untuk menjadi guru bagi mereka, di daerah terpencil. Suku terasing.

Jauh sebelum itu, sejak tahun 2011, ketika saya baru menapakkan kaki di kampus Universitas Kristen Pelita Harapan, idealisme untuk menjadi guru bagi suku terasing di Tanah Papua sudah tumbuh. Saya mendambakan dan mendoakan untuk mendapatkan suatu kesempatan untuk menjadi guru di salah satu kampung terisolasi. Saat itu, saya belum tahu akan ke mana.

Tahun 2013, ada pertemuan dengan Pdt. Trevor, misionaris asal US yang waktu itu sudah 5 tahun menjadi guru sekaligus perawat bagi Suku Koroway dan melayani di Kampung Danowage. Pendeta Trevor memberi banyak informasi tentang Suku Koroway. Informasi yang mengiris kalbu tentang ketertinggalan suku ini dalam berbagai aspek pembangunan. Foto-foto yang beliau perlihatkan menunjukkan kondisi yang sulit dibayangkan. Baik di bidang pendidikan dan terutama di bidang kesehatan. Semua informasi ini seolah menjadi jawaban atas dambaan, doa dan idealisme saya untuk menjadi guru bagi suku terasing di Tanah Papua. Saya langsung memutuskan sejak itu bahwa saya akan menjadi guru bagi Suku Koroway.

Saya tidak tahu Koroway itu terletak di mana. Belum pernah dengar nama itu. Baru pertama kali dengar nama Suku ini dari informasi yang disampaikan Pendeta Trevor. Saya dapat banyak informasi dari postingan di media sosial oleh relawan Kopkedat. Hingga akhirnya saya kembali bertemu Pendeta Trevor lagi pada tahun 2017 di mana saya akhirnya memutuskan untuk mengabaikan kesempatan untuk menjadi guru di perkotaan dengan fasilitas memadai dan memilih menjadi guru di wilayah terasing. Wilayah Suku Koroway.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Saat dalam proses untuk memutuskan apakah saya hendak menjadi guru di perkotaan dengan berbagai kemudahan, atau menjadi guru di sekolah swasta dengan berbagai fasilitas mewah atau menjadi Guru Bagi Suku Koroway dengan kondisi dan fasilitas minim, saya banyak berdoa, bergumul dan minta saran pendapat dari teman-teman dan saudara.

Hampir semua sahabat saya menilai keputusan saya sebagai keputusan aneh. Ada yang menyebutnya keputusan gila. Saya tidak menghiraukan itu. Penilaian itu makin memantapkan keputusan saya.

Saya lalu menamai diri saya Margi. Margi adalah singkatan dari kata Camar Gila. Nama ini saya buat karena terinspirasi dari tulisan kakak saya di akun facebooknya. Dia menulis metafora tentang kehidupan burung Camar yang suka bergerombol. Ke mana- mana selalu bersama. Namun kadang kala ada Burung Camar yang mengambil keputusan sendiri. Mandiri. Memisahkan diri dari komunitasnya dan cari makan sendiri. Dia menyebutnya Camar Gila. Metafora itu dia gunakan untuk menjelaskan realita sosial sekitar kita di mana ada orang-orang tertentu yang memiliki visi dan keyakinan kuat untuk mewujudkan visinya. Meski semua orang tidak sependapat dengan visinya, dia dengan yakin memutuskan tetap maju meski harus menghadapi resiko untuk berjalan sendiri. Karakter itu ada pada saya. Karena itu saya menjuluki diri saya Camar Gila. Namun nama Camar Gila terlalu angker. Jadi saya mempercantik nama itu dengan menyingkatnya menjadi Margi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Saya bermimpi jadi Regi bagi Suku Koroway. Regi adalah tokoh perempuan dalam Buku Cerita “Kota Emas” karangan Pdt. I. S. Kijne. Regi dan Tom dengan sejumlah tokoh dalam kisah itu bekerja sama dan baru akhirnya bisa tiba di Kota Emas.

I have a dream. Saya, Margi, bermimpi jadi Regi bagi Suku Koroway. Bagian ini akan saya ceritakan pada seri berikut.

Akhirnya waktu yang saya dambakan, doakan dan impikan pun tiba. Saya telah duduk di kokpit di sebelah pilot. Dan kami pun mengudara.

Kami meninggalkan bandara Wamena pada pukul 08.00. Seharusnya 45 menit kemudian kami sudah tiba di Kampung Brukhmahkot. Namun cuaca sangat buruk dan kami tidak bisa menembus lapisan awan tebal. Sesudah mengudara selama 1 jampada ketinggian 12.700 kaki, pilot memutuskan untuk kembali ke Wamena. Cuaca terlalu buruk.

Saya sendiri tidak merasa was was atau takut selama dalam penerbangan di tengah awan dan kabut tebal. Namun, melalui Radio SSB di asrama Wamena, saya mendengar suara yang mengabarkan anak – anak sekolah, para orang tua dan guru jemaat di Burukmahkot sangat cemas dan berdoa bagi keselamatan kami.

Kami tiba kembali di Wamena pukul 09.25 dan besok, 4 Juli 2018, kami akan terbang lagi ke Koroway. Semoga kali ini tidak ada hambatan. Saya sudah sangat rindu berada di sana. Bekerja di sana. Sudah sangat rindu bertemu mereka.

Doakan kami agar perjalanan kami aman dan lancar.

 

)* Penulis adalah anak muda Papua yang sedang mengabdikan dirinya untuk pendidikan di Koroway.

Artikel sebelumnyaGramci: Hegemoni dan Relevansi Marxisme di Papua
Artikel berikutnyaBerbagi Persiapan: Catatan Margi Si Regi Koroway (Bagian 2)