Menjiwai Peran ‘Regi Si Motivator’: Catatan Margi Si Regi Korowai (Bagian 5)

0
10009

Oleh: Margi)*

Wamena 5 Juli 2018. Malam ini saya menggunakan waktu untuk membaca berbagai tanggapan, komentar, inbox messengger, inbox WA. Puji TUHAN. Dukungan begitu banyak. Saya tak sanggup membalasnya satu per satu. Ada doa, ada penguatan, ada tawaran jasa, dan janji donasi. Baik donasi uang (di antaranya dari kakak Nando Tanati seorang profesional asal Papua di Amerika) untuk beli bahan makanan (bama) untuk pelajar asal Korowai di Asrama Pelajar Korowai di Wamena. Donasi alat komunikasi dan panel listrik tenaga matahari (solar cell) dari beberapa profesional asal Papua untuk membantu proses pendidikan di kampung Brukmahkot dan komitmen dari beberapa pelajar Indonesia di Inggris dan Amerika (di antaranya dari Profesor George Saa di Inggris) untuk memasukkan pemikiran saya dalam diskusi mereka tanggal 21 Juli nanti di Amerika. Saya juga mendapatkan komitmen dari Bapak Marvin Komber (anggota MPR RI) untuk memfasilitasi penyampaian program kerja kami kepada otoritas berwenang di Jakarta. Puji TUHAN.

Sejak siang hingga sore tadi saya demam tinggi. Saya periksa ke dokter dan menurut dokter saya sehat. Mungkin ini efek psikologis karena saya sudah rindu ke Korowai tetapi belum dapat berangkat ke sana karena faktor cuaca. Rindu membuat raga menderita. Tapi sore ini saya merasa kembali sehat. Semua dukungan yang saya terima memberi kekuatan dan memulihkan kesehatan saya. Sungguh, Puji TUHAN.

Semua dukungan itu memberi semangat luar biasa. Saya mendapatkan tenaga spiritual yang memulihkan tenaga fisik saya. Saya merasa ada banyak saudara mendampingi saya. Seseorang merasa tidak sendirian, selalu merasa kuat.

Dukungan ini juga mengilhami saya untuk lebih menjiwai peran Regi dalam Cerita “Kota Emas” karangan Pdt. I. S. Kijne. Peran Regi, anak perempuan itu, adalah sebagai motivator. Regi tidak dapat memasuki Kota Emas sendirian. Dia diperintahkan kembali ke kampung dengan menunggangi Piet Kasuari untuk membangun solidaritas kerja sama menuju Kota Emas. Dia harus mengajak Thom sahabatnya, dia bertemu dengan Ibu dari Thom, juga ayah dan ibunya sendiri dan logistiknya didukung oleh Wiriwit Si Burung Hitam.

ads

Mengapa peran motivator itu dilakukan oleh Regi, seorang anak perempuan? Apakah Regi dalam imajinasi Pdt. Kijne merupakan penjelmaan dari pandangan adat di Tanah Papua pada umumnya tentang “anak perempuan dalam keluarga”?

Anak perempuan dalam adat di Tanah Kita sangat strategis. Dia tidak dapat ditinggalkan seorang diri menghadapi suatu perjuangan. Mamanya, Bapanya, saudara perempuannya, saudara laki-lakinya, omnya, tantanya dan seluruh keluarga besarnya akan bangkit mendukung dia tatkala dia bersuara meminta dukungan. Anak perempuan pada posisi suatu perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga akan menjadi pengikat persatuan, pendorong kerja sama, pembangun motivasi dan solidaritas keluarga. Itukah peran Regi? Saya harus minta masukan dari banyak pakar.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Saya sadari bahwa penjiwaan saya terhadap peran tokoh Regi dalam Cerita “Kota Emas” masih perlu pembobotan lebih dalam agar menemukan jiwa yang sesungguhnya dari peran Regi yang sesungguhnya. Mungkin Regi hanyalah Regi. Tidak lebih.

Meski demikian, saya menggunakan penjiwaan peran Regi dalam tafsiran saya itu untuk mendefinisikan peran dan program kerja yang sedang saya siapkan dan hendak kerjakan. Saya, Margi, hendak membangun motivasi dan menjalin persatuan keluarga besar SDM Papua untuk bergandeng tangan membangun Korowai. Mulai dari kita sebagai keluarga inti dalam Kampung Papua baru kemudian keluar membangun solidaritas lebih luas.

Lilin menjadi alat penerang untuk belajar di malam hari (Dok Pribadi)

Dalam penjiwaan peran Regi versi Margi semacam itu, saya membayangkan kemajuan pembangunan Suku Korowai sebagai visi bersama tentang Kota Emas yang hendak kita masuki. Suatu suasana damai yang dirasakan keluarga inti di Kampung Papua karena saudara-saudara kita Suku Terasing Korowai juga mendapatkan dan menikmati hak sebagai WNI dalam berbagai aspek pembangunan terutama di bidang pembangunan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Untuk mewujudkan Kota Emas Korowai ini, saya membayangkan kita sebagai keluarga inti di Kampung Papua saat ini memiliki sumber daya alam, sumber daya manusia dan kearifan kontekstual. Demikian pula dengan Suku Korowai, mereka memiliki SDA, SDM dan kearifan lokal. Peran Margi Si Regi Koroway adalah merajut persatuan, kerja sama dan memotivasi SDM Papua dan SDM Korowai untuk mengelola sumber daya alam dan kearifan kita sesuai konteks setempat untuk membangun saudara-saudara kita Suku Korowai di bidang rohani, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Pada bidang pembangunan kerohanian ada banyak denominasi gereja yang sedang melayani Suku Korowai. Ini bukan bidang kerja saya tetapi saya memimpikan ada koordinasi dan kerja sama semua lembaga gereja yang melayani di sana untuk mendukung pembangunan Suku Korowai sebagai satu kesatuan.

Dalam pembangunan kesehatan ada Pustu Pemerintah dan ada pelayanan misionaris. Ini suatu pelayanan profesional yang bukan bidang saya tetapi suatu kerja sama dengan pembangunan pendidikan dapat dilakukan untuk melatih kehidupan yang higienis terkait pola makan, mandi, cuci, MCK dan lain-lain ketrampilan hidup sehat.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Dalam pembangunan kesejahteraan, sudah ada lembaga yang lebih lama bekerja bersama masyarakat dan dapat didukung untuk mengelola SDA Korowai untuk membangun kesejahteraan mereka. Misalnya KOPKEDAT. Ini pun bukan bidang profesi saya. Saya hanya seorang guru.

Saya membayangkan fungsi pemerintah sebagai Kepala Kampung (atau Bapa Keluarga?) yang mengayomi dan memberi fasilitas yang dibutuhkan dalam kerja sama pembangunan ini.

Secara spesifik peran saya pada pembangunan pendidikan. Apa yang akan saya kerjakan?

Sepintas pada part 2 saya sudah memberi sedikit gambaran mengenai persiapan yang saya lakukan.

Pada bulan Maret 2018, saya sudah melakukan survei selama 2 minggu di kampung Burukmakot. Selama 2 minggu di sana, saya melakukan observasi dan menulis laporan yang berisi informasi mendasar tentang program pendidikan kontekstual. Hasil observasi ini menggugah saya untuk mendalami konsep pendidikan yang pernah dilakukan oleh Pdt I. S. Kijne dalam karya beliau membangun peradaban di Tanah Papua ketika itu (1900-an).

Saya berpendapat bahwa konteks Suku Korowai pada saat ini mirip dengan kondisi Papua pada jaman Pdt. I. S. Kijne. Karena itu, konsep pembangunan pendidikan yang pernah beliau lakukan dapat direvitalisasikan.

Oleh karena itu, pada bulan Mei 2018, saya ke Wasior di mana dulu Pendeta Kijne memulai Program Pembangunan Peradaban Papua. Saya membaca banyak buku, berdiskusi dengan banyak eks anak didik Kijne dan mengunjungi situs Batu Peradaban tempat Kijne banyak menghabiskan waktunya untuk berdoa bagi Papua.

Kegiatan belajar kami. Waktu siang kami menggunakan cahaya matahari. (Dok Pribadi)

Dari observasi selama 2 minggu di Kampung Brukmahkot – Korowai dan observasi di Wasior (Miei) saya sudah membuat persiapan untuk mengajar di Brukmahkot.

Persiapan saya tidak hanya untuk mendidik anak-anak usia sekolah saja tetapi juga para orang tua. Ibu-ibu perlu pendidikan ketrampilan hidup tentang mencuci, masak, air bersih. Saya akan bekerja sama dengan petugas Pustu setempat. Saya juga akan menggunakan waktu sore hari untuk melatih para Bapa dan pemuda untuk bertani, memotivasi anak mereka untuk sekolah.

Untuk para siswa, saya bermimpi mendorong pembangunan pendidikan dengan pola asrama. Di sekolah mereka dididik dengan metoda 3-M (membaca, menulis, menghitung) dan di asrama mereka dilatih ketrampilan hidup.

Tapi semua ini masih mimpi. Saya belum melakukan sesuatu. Besok saya baru akan berangkat ke Burukmahkot dan akan memulai pekerjaan untuk mewujudkan mimpi ini.

Untuk pendidikan anak-anak, kita memiliki dua tantangan. Tantangan pertama adalah ada anak-anak usia sekolah yang sudah harus belajar di SLTP dan SLTA tetapi belum ada SLTP atau SLTA di wilayah Korowai. Mereka akan kehilangan waktu terbaik mereka untuk belajar jika harus menunggu hingga ada pembangunan sekolah dengan pola asrama yang sesuai dengan usia mereka.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Beberapa lembaga seperti Kopkedat dan gereja dengan segala keberadaannya sudah memfasilitasi pembangunan asrama bagi beberapa anak Korowai untuk melanjutkan study di luar wilayah Korowai. Namun ada beberapa dukungan yang diperlukan untuk melengkapi pekerjaan kemanusiaan ini. Dan fasilitas ini memerlukan dukungan kerja sama dengan banyak pihak. Misalnya untuk bahan makanan maupun pembinaan. Pembinaan diperlukan agar anak-anak ini tidak tercabut dari akar kebudayaan mereka dan kemudian tidak mau kembali membangun sukunya atau mau kembali tetapi dengan membawa nilai-nilai baru yang tidak cocok dengan konteks kebudayaan awal mereka.

Paling ideal adalah membangun sekolah SD – SMA Satu Atap berpola asrama secara terpusat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Pdt. I. S. Kijne dulu dan sedang digagas oleh Pdt Trevor saat ini. Pusat pendidikan di mana ada program pendidikan kognitif (dengan basis membaca, menulis, menghitung) dan pendidikan afektif (seni suara, menggambar, adat, puisi dll) maupun psiko motorik (berkebun dan latihan ketrampilan hidup lainnya) dengan mengutamakan pendidikan agama dan pelestarian adat dan kebudayaan.

Peran Regi sebagai motivator dan perajut persatuan dan kerja sama sebagai satu tim itulah yang dalam visi saya sebagai Margi hendak saya lakukan. Orang Papua tidak akan membiarkan saudara perempuannya berjuang sendiri.

Saya hendak mengajak sodara laki-laki, sodara perempuan, bapa, mama, om dan tante untuk merajut visi dan kerja sama untuk mendukung pekerjaan pembangunan Suku Korowai dengan penajaman program, penajaman kerja sama dan peningkatan dukungan fasilitas oleh semua lembaga dan aktor yang sudah memulainya. Saya pun akan menjadi bagian yang mendukung missi mulia menuju Kota Emas ini.

Kegiatan belajar kami. Waktu siang kami menggunakan cahaya matahari. Waktu malam, kami menggunakan lilin. Semoga bantuan sollar cell yang disanggupi kaka-kaka profesional Papua akan tiba secepatnya agar lilin ini bisa kami simpan dan dipakai pada kondisi di saat darurat saja. Tidak setiap malam. TUHAN berkati kaka-kaka dorang.

Semoga TUHAN memberkati kitong semua.

Salam
Margi

 

)* Penulis adalah anak muda Papua yang sedang mengabdikan dirinya untuk pendidikan di Koroway

Artikel sebelumnyaNo Free Lunch: Catatan Margi si Regi Koroway (Bagian 4)
Artikel berikutnyaMenguras Isi Bak Emosi: Catatan Margi Si Regi Koroway (Bagian 6)