Divestasi Saham PTFI: Indonesia 51,2 Persen, Suara Rakyat Papua Dikubur

0
15067
Demo rakyat Papua menuntut PTFI ditutup (Foto: Ist/SP).
adv
loading...

JAKARTA, SUARAPAPUA.Com — Divestasi saham PT Freeport Mc Moran Indonesia (PTFI) yang menaikkan komposisi kepemilikan saham Indonesia dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen oleh Presiden Joko Widodo diumumkan sebagai sebuah keberhasilan. Sementara itu, wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah menuduh Pemerintah Indonesia membohongi rakyat dan menantang Jokowi umumkan struktur pemegang saham Indonesia kepada publik.

Kepemilikan saham 51,2 persen oleh pemerintah Indonesia diwakili oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (PT Inalum). Sementara operasi PTFI diperpanjang hingga tahun 2041.

“50 Tahun Freeport mengelola tambang di Papua, Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham. Melalui negosiasi yang alot, holding tambang kita, Inalum sepakat dengan Freeport untuk meningkatkan kepemilikan kita menjadi 51,2 persen. Kepentingan nasional harus tetap dinomorsatukan,” begitu kicau Jokowi melalui twitter, dilansir tribunnews.com edisi Jumat, 13 Juli 2018.

Menanggapi Jokowi, wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah menuding pemerintah Indonesia menipu rakyat terkait kepemilikan saham 51,2 persen persebut.

Fahri menjelaskan, uang buat pastikan kepemilikan saham 51,2 persen bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Dan oleh karena itu ia menantang Jokowi umumkan siapa-siapa yang memodali pembelian saham 51,2 persen atas nama PT Inalum itu.

ads

“Bikin pengumuman struktur sahamnya itu sekarang punya siapa. Siapa saja yang punya hak di situ, kemudian saham itu digunakan ke siapa dan seterusnya. Jadi pemerintah nih cuma dipakai namanya lalu perusahaan-perusahaan ini minjemin uang ke pemerintah, pemerintah mengumumkan ke rakyat seolah-olah yang ambil pemerintah, padahal yang ambil swasta juga,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dilansir merdeka.com edisi Jumat 13 Juli 2018.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

PTFI: Pendatang yang Tak Tahu Diri

Perwakilan rakyat Papua sebagai pemilik tanah dan semua kandungan yang ditambang PTFI itu tidak dilibatkan dalam kontrak karya pertama tahun 1967. Papua saat itu masih berstatus tanpa status politik dan klaim Indonesia tahun 1967 hingga hari ini masih menjadi perdebatan pelik. Suara rakyat Papua menanggapi kehadiran perusahaan emas terbesar di dunia itu pun tidak pernah didengarkan.

Rakyat Papua sendiri telah melakukan aksi-aksi menyalurkan suara mereka berharap didengar, memanfaatkan sedikit ruang yang dapat mereka akses. Demonstrasi damai, pemasangan lilin, tulisan di media massa, jumpa pers, upaya diplomasi hingga ke Amerika Serikat dan Jakarta, bahkan hingga ke jalan memanggul senjata dan memberontak telah ditempuh rakyat Papua.

Salah satu pengurus Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP), Janua Adii kepada suarapapua.com menjelaskan, terkait tanggapan rakyat Papua terhadap kehadiran PTFI, perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di Papua dan para kaki tangan pemodal yang menjadi perantara bagi kedatangan modal, mereka mendukung kondisi sebelum ataupun hasil divestasi saham Indonesia saat ini.

“Rakyat asli pemilik tanah, pemilik Grassberg, pemilik Erstberg, pemilik Nemangkawi, mereka sudah sejak 1967 melawan kehadiran PTFI. Hingga saat ini rakyat Papua tetap komitmen menolak kehadiran PTFI yang dikendalikan kolonial Indonesia dan kapitalisme asing. Masalahnya ini, suara rakyat Papua senagaja diabaikan karena bertentangan dengan kehendak dan niat ekonomis mereka,” urai Adii.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Senada dengan Adii, kepala kantor United Liberation Movemment for West Papua (ULMWP) di dalam negeri, Markus Haluk pernah bicara keras terkait konflik PTFI. Haluk sendiri menulis sebuah buku terkait suara-suara rakyat Papua yang tidak didengarkan Indonesia dan Freeport dan mendampingi Mama Yosepha Alomang, tokoh rakyat Amungme-Kamoro dalam perlawanannya melawan PTFI.

“PT Freeport dan pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya tahun 1967 tanpa ada kejelasan mengenai status politik Papua,” kata Haluk, dilansir BBC News edisi 23 Februari 2017 lalu.

Padahal, menurut Haluk, saat itu Papua Barat tidak masuk wilayah Indonesia. Baru setelah Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari Indonesia.

“Jadi, dari awal sudah salah. Kami, rakyat Papua, akan menuntut supaya mengakui keberadaan kami dan terlibat sebagai pihak pemilik tanah ulayat. Harus ada negosiasi antara Jakarta, Papua, dan Freeport McMoran, mesti duduk biacara bersama. Mereka datang dan pergi, tapi kami tetap akan ada di sini,” lanjut Haluk.

Kepentingan Kapitalis-Imperialis dan Propaganda Kesejahteraan

Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, menegaskan, hari ini rakyat Papua jijik saat menonton bagaimana kolonial Indonesia dan imperialis Indonesia-AS saling rebut saham PTFI di depan hak-hak, suara-suara pemilik tanah yang dibungkan dan darah rakyat Papua yang dicurahkan militer Indonesia karena menolak kehadiran Freeport.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

“Geliat perebutan itu jadi tontonan yang menjijikan bagi rakyat West Papua. Dipertunjukkan oleh dua penguasa: kolonial dan kapitalis-imperialis (Indonesia dan AS), yang telah lama menjadikan West Papua sebagai ladang pembantaian dan eksploitasi SDA. Propaganda Kesejahteraan Papua dipakai sebagai tameng pencitraannya,” tegas Yeimo dalam pernyataannya menanggapi divestasi saham PTFI.

Menurut Yeimo, bagi rakyat Papua, 51,2 persen adalah milik seutuhnya pengusaha-politisi-militer kolonial yang menguasai alat-alat produksi dan distribusi di Papua.

“Kapitalisasi negara rezim Jokowi tidak akan memberi kesejahteraan pada rakyat West Papua. Sebaliknya, West Papua akan terus menjadi korban kejahatan eksploitasi. Adakah yang terjajah itu disejahterakan oleh penjajah? kalau pun terjadi, itu hanya sebagai upaya membangun relasi ketergantungan pada produksi dan distribusi penguasa kolonial, sebagai upaya membunuh konsolidasi perlawanan masyarakat terjajah melawan penjajah,” urai Yeimo.

Sebagai salah satu penanggungjawab politik ULMWP dalam negeri, menurut Yeimo, Indonesia tidak akan bisa membeli kehendak politik bangsa Papua untuk merdeka, berdaulat, dan mengatur sumber daya alamnya sendiri.

“Saya yakin, rakyat West Papua akan terus berkonsolidasi untuk berjuang merebut kembali teritori West Papua dari tangan penguasa kolonial dan kapitalis,” tegasnya.

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaSamuel Tabuni: Polda Papua akan Tarik Pasukan dari Alguru ke Kenyam
Artikel berikutnyaKapolres Jayawijaya: Kami Operasikan Satu Helikopter Milik Polisi di Nduga