Diskusi AMP Surabaya Dibubarkan Paksa pada 6 Juli, 57 Organisasi ini Bersolidaritas

0
4113

SURABAYA, SUARAPAPUA.com — Sebanyak 57 organisasi pro demokrasi mendukung dan bersolidaritas terhadap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Surabaya yang menjadi korban represi dan pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintah kecamatan dan militer Indonesia di Surabaya pada 6 Juli 2018.

Saat itu (6/7/2018), mahasiswa Papua sedang duduk di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya hendak mengadakan diskusi mingguan AMP. Kira-kira pukul 20:30 WIB, camat Tambaksari bersama ratusan anggota kepolisian, TNI, dan Satpol PP kota Surabaya mendatangi mahasiswa Papua di asrama.

Pihak militer dan pemerintah kecamatan Tambaksari ingin agar mahasiswa Papua tidak berdiskusi terkait Papua. Mahasiswa menjelaskan bahwa mereka berhak berdiskusi dan dijamin undang-undang. Perdebatan berlangsung panas. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya datang, dan atas mediasi mereka, aparat militer dan pejabat kecamatan Tambaksari meninggalkan asrama Papua pada pukul 23:00 WIB.

Menyadari bahwa tindakan represi yang berlebihan seperti itu dan tindakan pembungkaman kebebasan warga sipil untuk berdiskusi, berikut pernyataan solitaritas kepada AMP sebagai korban, ditandatangani oleh 57 pihak.

***

ads

Pada hari Jumat tanggal 6 Juli 2018 Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya mengadakan diskusi mingguan di Asrama Mahasiswa Papua yang terletak di Jalan kalasan No. 10 Tambaksari, Surabaya. Pada sekitar jam 20.30 WIB, Camat Tambaksari bersama ratusan anggota kepolisian, TNI, dan Satpol PP kota Surabaya mendatangi Asrama Mahasiswa Papua dengan alasan akan melakukan operasi yustisi. Namun ketika perwakilan mahasiswa Papua dan dua orang peserta diskusi serta salah satu pengacara publik LBH Surabaya menanyakan surat perintah/surat tugas, pihak camat Tambaksari tidak bisa menunjukkan surat tersebut.

Dua orang peserta diskusi, Anindya dan Isabella berusaha untuk berdialog dengan damai dengan pihak camat, namun di tengah dialog tersebut, salah seorang polisi meneriaki Anindya dengan kata-kata kasar, kemudian situasi mulai memanas. Isabella dan pengacara publik LBH Surabaya diseret oleh aparat kepolisian, sedangkan Anindya juga dilecehkan oleh oknum aparat kepolisian, dadanya dipegang dan kemudian diseret beramai-ramai ketika berupaya untuk meminta pertolongan.

Camat Tambaksari bersama ratusan anggota kepolisian, TNI, dan Satpol PP kota Surabaya meninggalkan lokasi Asrama Mahasiswa Papua sekitar pukul 23.00 WIB. Menurut pandangan kami, operasi yustisi hanya digunakan sebagai kedok untuk membubarkan diskusi. Karena jika memang Camat Tambaksari sedang melaksanakan operasi yustisi, seharusnya mereka dapat menunjukkan surat perintah/surat tugas berdasarkan Permendagri yang berlaku. Selain itu, jika memang melaksanakan operasi yustisi, kenapa harus melibatkan anggota kepolisian dan TNI, bahkan polisi bersenjata laras panjang.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Berdasarkan pasal 10 Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedoman pendataan penduduk non permanen, secara jelas tertulis bahwa prosedur pendataan penduduk non permanen harus melalui surat dari walikota kepada lurah setempat dengan melampirkan formulir pendataan penduduk. Selanjutnya harus ada surat pemberitahuan kepada penduduk yang bersangkutan melalui RT/RW setempat, setelah dilakukan pemberitahuan secara tertulis, maka baru dapat dilakukan pendataan oleh Dispendukcapil setempat.

Dalam prakteknya pada operasi yustisi pada tanggal 6 Juli 2018 di Asrama Papua Kalasan Surabaya, tidak ada keterangan laporan dari warga sekitar sebagai dasar dipraktekannya Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedoman pendataan penduduk non permanen. Sselain itu, dalam operasi yustisi camat Tambaksari tidak membawa surat tugas atau pemberitahuan apapun atas operasi yustisi. Atas dasar itulah, membuktikan bahwa OPERASI YUSTISI YANG DIMAKSUD OLEH KOMPOL PRAYITNO SELAKU KAPOLSEK TAMBAKSARI MERUPAKAN TINDAKAN ILEGAL, sebab tidak ada keterangan perihal keterangan laporan dari warga sekitar dan tidak adanya surat tugas/surat pengantar.

Tindakan represif aparat kepolisian terhadap mahasiswa Papua tidak hanya sekali terjadi. Tanggal 1 Juli 2018, diskusi yang dilaksanakan oleh mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Surabaya dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dan di kota Malang pembubaran diskusi mengakibatkan beberapa mahasiswa Papua terluka. Menurut keterangan dari mahasiswa Papua di Surabaya, mereka sering mendapat larangan untuk melaksanakan aksi-aksi demonstrasi dan intimidasi ketika mengadakan diskusi. Contohnya pada saat Hari Buruh tanggal 1 Mei 2018, Bu Risma selaku Walikota Surabaya menghubungi korlap aksi untuk memerintahkan mahasiswa Papua yang tergabung dalam barisan untuk segera meninggalkan tempat dengan alasan yang tidak masuk akal.

Kami (FMN Surabaya, LBH Surabaya, AMP Surabaya, IPMAPA, Seruni Surabaya) beserta aliansi organisasi mahasiswa dan sektor rakyat lainnya yang berjuang untuk mendorong pemajuan, pemenuhan hak kebebasan berekspresi, berserikat, berorganisasi serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia mengecam keras tindakan-tindakan kekerasan terhadap mahasiswa Papua ataupun kejadian-kejadian pembubaran diskusi yang selama ini sering terjadi. Apalagi kekerasan tersebut justru dilakukan oleh aparat keamanan yang sejatinya harus memberikan perlindungan dan keamanan bagi seluruh warga Negara Indonesia.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

Paska pembubaran diskusi dan tindakan kekerasan yang kami alami, hari Rabu (11/7/2018) pukul 16.00 WIB pihak kecamatan bersama orang-orang yang mengaku sebagai IKBPS (Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya) yang diketuai oleh Piter Rumasek yang saat ini bekerja sebagai Tantrib Satpol PP datang untuk meminta maaf terkait pembubaran diskusi 6 Juli 2018. Tetapi, kedatangan dan permintaan maaf mereka ditolak oleh Ikatan Mahasiswa Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua karena mereka datang tanpa permisi. Dalam upaya permintaan maaf tersebut, mereka juga terkesan meremehkan ujaran-ujaran rasis yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan menyangkal pelecehan seksual yang sudah terjadi. IKBPS bukanlah ikatan yang mengayomi seluruh mahasiswa di Surabaya, sehingga IPMAPA dan AMP menolak secara tegas eksistensi organisasi tersebut.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 28 E ayat (3) dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 24 ayat (1) memberikan jaminan atas kebebasan berserikat, berkumpul. Sehingga tindakan kekerasan secara fisik dan psikis yang dilakukan aparat negara kepada mahasiswa Papua dan mahasiswa Surabaya merupakan bentuk pelanggaran HAM. Selain itu, tindakan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu oknum aparat kepolisian merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 289 KUHP, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarka dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-lamanya sembilan tahun”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami menuntut agar:

1. Presiden RI memerintahkan kepolisian dan TNI untuk menghentikan tindakan represif terhadap masyarakat khususnya mahasiswa Papua.

2. Kapolda Jatim untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.

3. Kapolda Jatim untuk menindak tegas dan memproses hukum bagi anggota kepolisian yang melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswi peserta diskusi di asrama mahasiswa Papua (Surabaya) pada tanggal 6 Juli 2018.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

4. Pemerintah Kota Surabaya tidak bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua yang berada di kota Surabaya. Pemerintah dan aparat penegak hukum menegakkan jaminan kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat yang merupakan hak setiap manusia tanpa terkecuali.

5. Kami juga menyerukan kepada seluruh organisasi mahasiswa di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Timur dan organisasi massa sektor rakyat untuk memberikan dukungan solidaritas bersama-sama berjuang untuk menegakkan hukum seadil-adilnya dengan berbagai bentuk macamnya sesuai dengan kesanggupannya masing-masing.

Kami yang bertanda tangan di bawah ini siap untuk bersolidaritas:

1. LBH Surabaya
2. FMN Surabaya
3. IPMAPA
4. AMP Surabaya
5. SERUNI Surabaya
6. FNKSDA Surabaya
7. Seruni Wilayah Lampung
8. LADA-DAMAR Lampung
9. CCC Lampung
10. SP Sebay Lampung
11. AGRA Wilayah Lampung
12. FMN Cabang Bandar Lampung
13. Pembaru Wilayah Lampung
14. AGRA Jawa Timur
15. Komite Peduli Agraria Ponorogo (KPAP)
16. Yayasan Perlindungan Insani
17. Papua Itu Kita
18. Civil Liberty Defenders (CLD)
19. Seruni Kapuk
20. KTP Kapuk Poglar
21. Agra Malang
22. Seruni Kalimantan Tengah
23. Seruni Kalimantan Barat
24. PROGRESS Palangkaraya
25. SPR Kalimantan Tengah
26. Gusdurian Surabaya
27. GSBI Jombang
28. Seruni Malang
29. Surabaya Melawan
30. FMN Malang
31. AGRA Jawa Barat
32. AGRA Wilayah NTB
33. Seruni Wilayah NTB
33. FMN Cabang Lombok Timur
34. Seruni Jawa Barat
35. Pembaru Jawa Barat
36. Gabungan Migran Muslim Indonesia di Hongkong (GAMMI-HK)
37. Intrans Institute
38. Komite Aksi Kamisan Malang
39. FNKSDA Bandung Raya
40. KPS2K Surabaya
41. Arek Feminis
42. Konde Institute
43. GAYA Nusantara
44. FNKSDA Bandung Raya
45. Perkumpulan Pengacara HAM Papua (PAHAM-Papua)
46. Garda Papua
47. Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP)
48. Komite Pendidikan Tinggi Regional Jawa Barat
49. AGRA ACP Pagelangan
50. FMN Bandung
51. Seruni Bandung
52. Seruni Riau
53. RUPARI (Rumpun Perempuan dan Anak Riau)
54. Merah Muda Memudar
55. ATKI Hongkong
56. Jakarta Feminist Discussion Group
57. PEMBEBASAN Bandung

Sekian dan kami ucapkan terima kasih.
Salam demokrasi!


Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaDPC PKB Paniai Targetkan 10 Kursi di Parlemen
Artikel berikutnyaPemkab Yahukimo dan Telkomsel Launching Jaringan 3G dan 4G