Oleh: Samuel Womsiwor)*
Situasi Keterjajahan
Kita tahu bahwa sudah lebih dari 50 tahun perjuangan bangsa kita, –dalam ilmu marxis– terus berdialetika, baik menunjukkan kualitasnya, kemudian berkontradiksi membentuk kuantitas yang baru, lalu menuju sebuah gerakan yang berkualitas dan terus bernegasi hingga tahun 2018 ini, dengan bukti banyaknya gerakan perlawanan rakyat, yang tujuannya satu: berdaulat atas tanah air yang telah dirampas paksa sejak 19 Desember 1961 lewat Operasi Trikora Indonesia.
Sebagai generasi yang memegang mandat untuk melanjutkan perjuangan rakyat, kita tentu menyadari bahwa perjuangan ini telah mencapai standar ganda yang membuat kita terus berdialetika pula untuk mencari strategi, taktik dan cara yang tepat untuk membebaskan rakyat dari dominasi kekuasaan kolonial di tanah air Papua. Kita boleh berbangga dengan bahasa Jems Elmslie dalam pengantar Seakan Kitorang Setengah Binatang, Filep Karma (2015) bahwa “sudah lebih dari 50 tahun perjuangan bangsa Papua, namun semangat perlawanan rakyat Papua tak pernah mundur”. Tetapi proses perjuangan hari ini banyak dijawab dengan kontradiksi yang dilahirkan dari rakyat kita sendiri (seperti halnya ulasan Gramscian) dan tentu menjadi pembeda, seperti: Semakin meningkatnya kesadaran ganda rakyat kita(dual consciousness) yaitu mendukung aspirasi kemerdekaan atau menentang ketidakadilan di tanah kita, tetapi juga terlibat aktif dalam kampanye-kampanye atau pemilihan Gubernur 2018 ini (juga sejak 1971), bahkan terlibat langsung sebagai kandidat dalam sistem demokrasi (Kolonial) baik tingkat (Nasional Indonesia) Provinsi hingga desa. Selain itu juga memperkokoh hegemoni neo-imperialis, lewat LSM, CSR, dan lainnya, yang diselipkan atas nama pembangunan dan kemajuan kemakmuran di tanah air kita. Persoalan ini menjadi musuh dalam setiap angkatan kita, terlebih dalam ranah hegemoni Otonomi Khusus 2001. Belum lagi stigmatisasi ketertinggalan dan keterbelakangan menjadi ujung tombak kolonial(isme) demi memuluskan penindasan atas nama pembangunan, yang bersembunyi dibalik regulasi Otonomi Khusus 2001 dan diperluas lagi dengan MP3EI 2011, Dana Desa 2014, serta Perpres tahun 2017 tentang Akselerasi Pembangunan di Tanah Papua. Seperti analisa Gramsci dan gagasan postmodernisme Michel Foucoult, bagaimana kolonialisme bersembunyi dibalik kuasa hukum dan pembangunan atas nama pemberdayaan.
Lainnya lagi adalah rakyat kita yang dituntun secara tidak sadar untuk terus memperkokoh hegemoni sistem penindas di tanah air kita, mulai dari pendidikan (ala kolonial) yang diarahkan untuk memperoleh kesetaraan sosial dalam masyarakat, sehingga pendidikan dianggap sebagai jalan keluar untuk memperoleh standar tinggi dalam masyarakat kita. Mau tidak mau, sistem penindaslah yang terus diperkokoh; Sebagaimana dijelaskan oleh Gramsci bahwa pendidikan adalah standar ganda yang dilaksanakan untuk memperkokoh hegemoni kolonial terhadap rakyat terjajah (Gramsci, 2013: 20).
Belum lagi peran agama yang terkesan saling berkontradiksi dan membiarkan jemaatnya mengonsumsi perbedaan tersebut, tanpa ada jalan keluar dari pimpinan agama yang memicu makin meningkatnya perpecahan antar sesama kita akibat diselipkan dalam dogma-dogma mimbar yang bertentangan dengan kenyataan pada rakyat kita. Seperti yang dialami Samora Machel (1967) dengan masyarakatnya (Mozambiq) yang dipasung dengan doktrin gereja, ketika mengusung perlawanan terhadap penguasa yang menindas; Hingga meluasnya wacana Kolonial (juga imperial global) ke seluruh pelosok tanah air kita, dengan distribusi ide yang dibangun melalui media Televisi (12 hak siar Tv asal Indonesia, tanpa indihome/Tv Kabel [di kota-kota besar]), media cetak, dan media smartphone, yang hegemoninya susah untuk dibendung. Seperti yang lagi hits sekarang. Goyang Patola, Hip-hop, rap, Dilan 1990 dan lain-lain. Kejadian ini sejalan dengan analisa Frantz Fanon terhadap masyarakat antiles di Afrika yang dihancurkan oleh media, yang tujuannya untuk menjaga eksistensi kolonialisme.
Kita menyadari bahwa lompatan historis (primitif – perbudakan – feodal – kapitalis) yang menyebabkan rakyat kita mudah sekali menerima penjajahan sebagai sesuatu yang wajar, tetapi Hanna Arendt menyatakan bahwa lompatan historis marxis terjadi karena faktor kepentingan Politik, sehingga untuk Papua, faktor politiklah menyebabkan terjadinya lompatan zaman. Dimulai dengan Trikora 1961 dan Freeport 1967. Sehingga kontradiksi yang terjadi di atas air tanah kita wajib untuk diselesaikan dengan perlawanan dan perjuangan pembebasan.
Kontradiksi sebagai solusi pembebasan
“Tong (kita) terlalu sibuk untuk menghindar jubi yang kolonial arahkan ke tong, tapi kapan tong coba untuk lempar balik jubi yang dong (mereka) pake untuk melempar tong, supaya dong kalah juga”, kata Viktor Yeimo saat saya berjumpa dengannya, di Lapas Abepura-Papua, pada tahun 2015 lalu. Analogi yang sederhana, tetapi merupakan indikasi bahwa hari ini, banyak sekali persoalan yang melanda tanah air kita, tanpa cara yang ditemukan relevan dan tepat agar bisa melawannya. Neokolonialisme yang terjadi pada kita (Situasi keterjajahan diatas), tentu membunuh siapa saja yang memikirkannya secara perlahan karena penjajahan semakin kompleks dengan situasi kontekstualnya. Kita lantas berpikir metode apa yang tepat untuk melawan penjajahan tersebut. Bagi saya ilmu Marxisme adalah pisau analisa dan prakteknya.
Mengapa? Terkait situasi keterjajahan yang melanda tanah air kita. Mulai dari kesadaran ganda hingga meluasnya wacana kolonialisme yang berujung diterimanya penjajahan secara wajar, semuanya telah dilalui oleh bangsa-bangsa yang pernah mengalami kolonialisme dan imperialisme global juga. Dan marxisme adalah ilmu bagi pembebasan tanah air mereka.
Saya lebih mengerucut lagi. Pertama, lawan kita bukan orang Papua yang berada dalam sistem kolonial tetapi keseluruhan sistem kolonial itu sendiri. Mengapa? Kalaupun akibat tekanan kita terhadap individu Papua yang menjabat sistem kolonial hingga mengubah pandangannya sehingga menjadi kritis. Percaya, tidak butuh waktu lama untuk orang tersebut dikhianati oleh sistem yang disembahnya. Halnya, pengakuan Barnabas Suebu awal tahun 2018 ini. Karena jika kita terus melegitimasi sistem kolonialisme di atas tanah kita seperti mengikuti pemilu(kada), membayar pajak, dan lainnya kita akan terus melegitimasi sistem (TNI/POLRI) untuk melaksanakan Wasior Berdarah, Paniai Berdarah, Deiyai Berdarah, Nduga berdarah dan semua peristiwa berdarah dalam jilid dua lainnya. Namun nyatanya dengan 67,54% suara pemenangan Gubernur Enembe pada bulan juli 2018 mungkin menjadi pembedanya. Tetapi ingat tidak semua orang Papua ikut pemilihan gubernur tersebut. Saya salah satunya (saya yakin aktivis lainnya juga tidak memilih). Karena kita semakin minoritas di atas tanah air kita, jadi presentase tersebut dapat kita pertimbangkan.
Kedua, dengan meluasnya wacara kolonialisme dan imperial global lewat media, salah satunya syndrom patola, bagi sebagian rakyat, ini merupakan akar penyesuaian zaman, agar lebih now dan hits, dikenal dengan cepat, cara untuk mewujudkan kewenangan pribadi (bentuk tubuh) kepada khalayak umum, dan intinya merupakan goyangan yang nikmat dan diterima secara sadar (dengan praktek serta pemberdayaannya). Bayangkan, budaya baru ini dapat dipraktekkan secara sah dalam upacara adat rakyat Papua pada Ferstival Danau Sentani tanggal 19 Juni 2018 lalu. Bahkan setelahnya menjadi perdebatan ilmiah hingga menyentuh batas rohani antar sesama rakyat kita. Menggelikan bukan? Saya sepakat mengggunakan kata syndrom karena dalam analisa Frantz Fanon dan Eduard W. Said terhadap situasi keterjajahan masyarakat (red – Afrika), bahwa semua bangsa terjajah menganggap bahwa budaya dari luar lebih baik baik daripada budaya sendiri, dengan bersandar pada momen rasial. Ini menjadi suatu relasi yang sangat menguntungkan. Sebab semua bentuk eksploitasi mencari pembenaran eksistensinya dengan mengutip ayat-ayat rohani.
Selain itu dalam kajian Post Modernisme, Said, mengatakan bahwa untuk memperkokoh hegemoni kolonial, pertama orang pribumi dianggap tidak mampu dalam pembangunan sosial dan menciptakan mitos rasial mengenai ‘pribumi pemalas’ yang tidak dapat bekerja secara efisien untuk diupah, sehingga modernisasi harus dipaksakan melalui pemerintahan imperial. (Turner, 2010: 396). Maka tak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis. (JPS: 251).
Sehingga apapun konteks yang melanda tanah air kita, ini bukan terjadi begitu saja. Tetapi merupakan rancangan sistemik yang bersembunyi dibalik wacana globalisasi, regulasi kolonial dan identik dengan kemajuan pembangunan. Inilah ranah neo-kolonialisme, sebuah bentuk penjajahan yang diterima secara wajar oleh rakyat kita. Sehingga menciptakan kontradiksi (hegemoni tandingan) adalah cara yang tepat untuk kita buat untuk mereduksi dominasi penjajahan.
Solusi
Metode mereka (Marxis) boleh menginspirasi, tetapi kerja, kita yang memeloporinya. Rakyat akan terus dinina-bobokan jika kita menggunakan azas menunggu momen yang tepat, menggunakan material perjuangan yang rumit dan sulit menerjemahkan penindasan rakyat. Sebab setiap saat penindasan (neo) kolonialisme dan (neo) imperialisme masuk ke dalam ranah hidup rakyat kita tanpa perlawanan yang solid. Harus kita akui itu. Pembebasan atas tanah air kita, tidak seperti siang mengikuti malam, atau terjadi dengan sendirinya, seperti kritik Gramsci atas revolusi sosialis Karl Marx. Melainkan harus dilaksanakannya perang ide secara bertahap oleh kaum intelektual demi mencegah ketakutan (Marginalisasi, Genosaid, Deskriminasi, dan lainnya) yang telah kita prediksi, seperti kata Robert Merton (1957) ramalan yang terbukti dengan sendirinya(self fulfilling propechy). Perang ide sebagaimana dimaksud yaitu pelaksanaan agitasi oleh organisasi perlawanan yang diatas tanah air kita, serta berhenti berdialetika dalam ranah subjektif (saling menjatuhkan) yang hanya akan menghambat laju perjuangan dan kesadaran rakyat kita.
Oleh sebabnya Gramsci dan juga B. Friedan, bahwa faktor produksi (perjuangan pembebasan) dimulai dari keseharian kita di rumah, dalam refleksi pribadi dan kehidupan kehidupan sehari-hari (Ben Agger, 2014). Mulailah membangun kesadaran kritis atau hegemoni tandingan, lewat diskusi (bahkan gosip) seputar situasi dan kondisi tanah air kita, seperti Mifee merauke, Freeport Timika atau kasus Nduga awal Juli 2018 ini, atau juga memutar film tentang dedikasi perlawanan rakyat yang telah merdeka (search on youtube), membaca literasi perjuangan (search on google), dan sekali-kali mempresure penguasa kolonial tentang realita yang terjadi atas tanah air kita tanpa takut panas dan debu jalanan, karena bagaimanapun perlawanan nyata adalah langkah yang solid untuk mewujudkan pembebasan itu sendiri. Sebab potensi masa depan yang lebih baik diatas tanah air kita, ada pada masa lalu dan masa kini, sehingga mari kita bekerja untuk menentukan masa depan yang lebih baik. Mari kita bekerja.
)* Penulis adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR Papua)