BeritaForum Oikumenis Gereja: Hentikan Rasisme Terhadap Orang Papua!

Forum Oikumenis Gereja: Hentikan Rasisme Terhadap Orang Papua!

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com – Menyikapi peristiwa penyisiran yang dilakukan pihak kemanan melalui udara di Kampung Alguru, Keneyam, Kabupaten Nduga, Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua (FKO-GP) mengeluarkan laporan pendahuluan berisi kajian dan seruan atas peristiwa tersebut.

Seruan yang ditandatangani oleh Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt. Dorman Wandikmbo, Ketua Umum badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Sinode Gereja KINGMI Papua,  Pdt. Dr. Benny Giay, Pengacara Frederika Korain dan Dominggus Pigai itu menyerukan kepada warga gereja untuk melihatnya sebagai ‘tanda-tanda zaman,’ dan mengajak pengerja gereja dan para gembala untuk melayani para korban seperti melayani Kristus dan secara kritis melawan ideologi pembenaran kekuasaan dan kekerasan.

Lebih jauh, Forum mendesak pemerintah menarik pasukan TNI POLRI agar Gereja dapat mengirim Tim Pastoral untuk memberi pelayanan penguatan pastoral kepada warga jemaat yang telah tercerai-berai mengungsi dan sedang hidup dalam trauma tanpa akhir.

Forum juga mendesak  pemerintah menghentikan militerisme, menghentikan rasisme terhadap orang Papua,  mengambol langkah konkret untuk berdialog dengan ULMWP dimana OPM telah terwakili di dalamnya dan menempuh jalan perundingan dengan mediasi pihak ketiga seperti yang telah dilakukan dalam menyelesaikan persoalan di Aceh.

“Laporan mengenai kekerasan di Keneyam (Nduga) ini kita lihat dari sudut Papua yang: sudah diubah sebagai lahan operasi keamanan; dari kaca mata sejarah kekerasan negara Indonesia atas Papua yang telah lama terjadi; yang tidak pernah negara ini selesaikan,” demikian laporan Forum itu menjelaskan  bagian awal, .

Forum melihat kekerasan-kekerasan ini terjadi didasari pada pandangan rasis Indonesia terhadap Papua. Rasisme itu semakin tampak nyata di social media yang antara lain menjuluki dan merendahkan orang Papua seperti hewan.

“Membaca Kitab Suci dalam kondisi sejarah Tanah Papua yang penuh kekerasan ini, kami ajak para pengerja Gereja kita dan para gembala untuk melayani Kristus dengan melayani manusia-manusia di depan kita yang sedang mengungsi, sakit, sedang berteriak, berdarah-darah. Mari kita bebaskan diri dari ajaran Gereja kita yang baku dan kaku (normatif) abstrak, dogmatis, dll dan sambut seruan Kristus “sesungguhnya, Aku berkata kepadamu: segala sesuatu yang kamu lakukan kepada: orang asing dengan memberi tumpangan, memberi pakaian kepada orang telanjang, melayani orang sakit dan mengunjungi orang penjara, dan segala sesuatu yang kamu lakukan kepada yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25: 35 -40),” demikian laporan pendahuluan itu menyerukan.

“….kekerasan terhadap masyarakat Nduga hari ini adalah bagian dari rangkaian siasat/ kekerasan negara yang rasis menaklukkan “pikiran orang Papua yang tidak mempercayai pemerintah Indonesia; lantaran memposisikan Indonesai sebagai penjajah” yang sedang mengobrak abrik Papua.”

“Menghadapi perkembangan demikian: kami bertanya: mengapa Pemerintah bisa berdialog dengan GAM Aceh tetapi enggan mengambil langkah yang sama untuk berdialog dengan ULMWP dimediasi pihak ke 3; sebagamana yang pernah Pemerintah lakukan dengan GAM Aceh? Mengapa pemerintah Indonesia bisa melibatkan melibatkan pihak internasional untuk menyelesaikan masalah Aceh secara permanen, tetapi enggan untuk melakukan langkah yang sama? Rasisme? Agamaisme? Melalui Seruan ini kami ajak semua pihak untuk menolong kami (bangsa Papua) menjawab pertanyaan ini.”

Selengkapnya laporan itu adalah sebagai berikut.

MENUJU TEOLOGI YANG MEMBELA KRISTUS YANG TERSTIGMA (MATIUS 25: 35-40)

DUka Masyarakat Alguru Keneyam, Kab. Nduga Juni – Juli 2018, 
(Sebuah Laporan Awal)

Memang demikian para monyet-monyet itu… ..bunuh aja semua si babi hitam itu… usir dari Tanah Jawa …. aahh, belajar di sini gk tau terima kasih, malah bikin ulah usir aja nggak usah kasih tempat .. emang hidup di hutan…

1.Pendahuluan

Memang demikian para monyet-monyet itu…….
..bunuh aja semua si babi hitam itu… usir dari Tanah Jawa …..
ah, sdah belajar di sini gk tau terima kasih, malah bikin ulah usir aja nggak usah kasih tempat .. emang cocoknya hidup di hutan…

Beberapa hari ini kami diresahkan kembali oleh berita penyisiran dan pemboman yang dilakukan pihak keamanan dari udara ke atas kampung Alguru, Keneyam Kab. Nduga 3 warga sipil tewas. Sebelumnya pada hari Selasa tanggal 25 Juni 2018, terjadi penembakan terhadap 3 orang warga sipil tewas di Keneyam. Bagaimana kita membaca kekerasan dan kematian ini?

1.1.Laporan mengenai Kekerasan di Keneyam ini kita lihat dari sudut Papua yang: sudah diubah sebagai lahan operasi keamanan; dari kaca mata sejarah kekerasan negara Indonesia atas Papua yang telah lama terjadi; yang tidak pernah negara ini selesaikan. Sebelumnya sudah ada operasi militer sejak 1960an dan yang terakhir: kekerasan Wamena Berdarah, Wasior, Biak Berdarah, Mapnduma: Kab Nduga (Januari -Juni 1996, Paniai berdarah (Desember 2014) dll yang belum di selesaikan negara ini

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

1.2.Kekerasan-kekerasan ini yang didasari pandangan rasis Indonesia terhadap Papua: yang belakangan ini mengemuka dalam social media (yang terakhir sebagai mana di kutip di atas pada awal tulisan ini) dan yang terungkap dalam bahasa /ujaran rasis masyarakat sipil Indonesia terhadap Papua yang seperti yang terlihat sbb:

  • Decky Natalis Pigai yang diidentikkan dengan monyet oknum supporter Presiden Jokowi.
    • Gambar Frans Kaisepo (yang diabadikan dalam mata uang RI Rp.10.000. ) yang oleh masyarakat Indonesia diterima sebagai gambar monyet.
    • Aliansi Mahasiswa Papua di Malang yang sedang memutar film Biak Berdarah dan diskusi di tempat kostnya “ seperti disebutkan pada awal laporan ini. ..(Lihat ujaran “bunuh aja semua si babi hitam itu… usir dari Tanah Jawa ….. yang dikutip di atas.
    • Usaha negara yang menghindar untuk berdialog dengan ULMWP sejak 3 tahun terakhir tetapi sebaliknya terus menggembosi ULMWP dengan:
    (a) mengangkat timnya yang terdiri dari elit orang Papua
    (b) membesarkan OPM bayangan dengan nama KKB, KKSB, dll; sebagai pengganti terhadap OPM yang dengan sejarah panjangnya telah bergabung dengan ULMWP dengan melahirkan ULMWP.
  • TNI-POLRI menjadikan Papua sebagai lahan untuk (a) Naik pangkat dan (b)Sumber pemasukan satu-satunya setelah kehilangan lahan: Timor Leste dan Aceh.
    • Pemerintah negara ini yang secara sistematis menggalang semua unsur masyarakat untuk menerima dan mempromosikan “narasinya”: pembangunan minus HAM, yang selama ini didukung oleh sejumlah pimpinan Gereja/Agama, jurnalis dan media yang berpihak ke penguasa.

1.3.OPM yang beberapa tahun terakhir ini disebut-sebut oleh TNi-POLRI dan media Indonesia sebagai “KKB atau KKSB” tidak lahir di ruang kosong; dia lahir sebagai hasil perkawinan paksa politik Indonesia terhadap Papua (lewat Pepera 1969). Sehingga OPM (yang oleh Indonesia disebut-sebut sebagai “separatisme) ini lahir sebagai siasat dan tanggapan bangsa Papua terhadap Indonesia yang hadir di Papua dalam wujud kekerasan dan rasisme nya. Itu narasi atau kisah dari sudut pandang dan logika Papua, sebagai kaum yang dipinggirkan.

Menurut narasi itu, OPM, bukan organisasi tunggal sebagaimana yang digambarkan selama ini. Dari laporan masyarakat di lapangan sebenarnya ada ada tiga kelompok:
(a) OPM yang lahir di Manokwari (Juni 1965) yang sudah bergabung dalam ULMWP;
(b) OPM binaan TNI POLRI, yaitu: kelompok yang menggunaka senjata dan amunsia disuplai oleh TNI POLRI dan (c) kelompok pengangguran yang menggunakan nama OPM untuk palang-palang jalan, untuk kebutuhan sesaatnya. Menurut masyarakat, 2 kelompok OPM yang terakhir ini sering diperalat oleh para pihak yang tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai; tetapi punya agenda untuk terus menambah satuan-satuan keamanan dan kepolisian baru di di Kabupaten yang baru dimekarkan.

  1. Rasisme dan Kekerasan Ormas dan Masyarakat Sipil Indonesia terhadap orang Asli Papua/Mahasiswa Papua di Indonesia
    Beberapa minggu ini kami mengikuti berita tentang kekerasan negara di Ndugama (negeri orang Nduga). Kekerasan terhadap Nduga yang mengemuka beberapa hari terhakhir ini kita harus lihat dalam rasisme dan kekerasan yang telah lama di alami mahasiswa dan orang Papua di Indonesia. Kita sebut 3 insiden saja di sini.

(a) Hari Sabtu 16 Juli 2016, 100 orang dari 4 Ormas ( Putra Putri Purnawirawan TNI POLRI, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, & Laskar Jogja) mendatangi Asrama Mahasiswa Papua di Jogjakarta dengan ujaran rasis: Papua monyet, dll. Tujuan para ormas tsb ialah: menolak dan menghentikan Mahasiswa Papua di Jogjakarta yang tergabung Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang berencana melakukan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua di Jl. Kusumanegara ke Titik Nol KM di Jl. Panembahan Senopati; sebagai aksi damai mendukung ULMWP (Gerakan Pembebasan Papua)

(b) Hari Minggu 1 Juli 2018, disertai ujaran rasis yang disebutkan di atas, Ormas, masyarakat sipil dan keamanan mengusir Mahasiswa Papua (AMP) di kota Malang dari tempat kostnya setelah menekan pemilik rumah Kost untuk tidak memperpanjang sewa mereka. Pengusiran ini mereka lakukan untuk menghentikan kegiatan pemutaran film “Biak Berdarah dan diskusi”.

(c)  Hari Jumat, 6 Juli 2018, TNI-POLRI dan Satpol Kota Surabaya mendatangi Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya untuk menekan dan membubarkan kegiatan Mahasiswa Papua (AMP) yang menggelar Diskusi dan Pemutaran film tentang sejarah di Papua.

3.Kekerasan Terhadap Masyarakat Nduga
Kekerasan negara terhadap masyarakat Nduga yang dialami minggu-minggu ini bukan baru. Orang Nduga sudah lama mengalami kekerasan ini beberapa tahun sebelumnya. Simak kejadian berikut.

3.1. Kekerasan Terhadap Masyarakat Nduga Sebelumnya
(a)Januari – Juni 1996, Peristiwa Penyanderaan Para Peneliti di Mapenduma (kini Kab Nduga), banyak warga masyarakat biasa yang mengungsi dan tewas ditembak dalam operasi pembebasan sandera: yang dipimpin Prabowo Subiyanto. Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat Nduga.
(b) Hari Sabtu, 16 Desember 2017, TNI /POLRI melakukan penembakan terhadap warga di Yigi (Kab Nduga) menyiasati penolakan pembangunan Jalan Wamena Nduga.
(c ) Hari Senin, 1 januari 2018, Batalyon 756 TNI Wim Anesili Napua (Wamena) melakukan Penahanan, Pemukulan, Kekerasan dan Pelecehan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur; Para pelajar/ mahasiswa Yigi & Mbua (Kab Nduga) yang ke Wamena.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

3.2. Tindakan-tindakan Kekerasan di Nduga terkini
(a) Hari, Jumat 22 Juni 2018, terjadi Penembakan terhadap pesawat Twin Otter Milik Dimonim Air, membawa 16 orang penumpang. Coo pilot terkena serpihan peluru.
(b) Hari Senin, 25 Juni 2018, terjadi baku tembak antara OPM & TNI-POLRI yang menyebabkan 3 orang warga sipil tewas.
(c ) Jumat, 29 Juni 2018 diadakan Pertemuan bersama antara TNI-POLRI. Pemda Kab Nduga, dan Tokoh Masyarakat untuk pengamanan Pilgub. Kesimpulan: TNI POLRI menjamin Keamanan, Pilgub tetap dilaksanakan.
(d) Senin, 2 Juli 2018, Kepolisian RI mengirim 1 Kompi Brimob (100 personel) untuk mengejar OPM.
(e) Senin- Rabu, 9-11 Juli 2018, TNI-POLRI melakukan Penyisiran dan Pemboman dari udara dengan heli milik POLRI, 2 orang warga sipil.
(f)Kamis, 12 Juli 2018, Pdt. Zakheus Kogoya melaporkan penemuan 3 mayat warga sipil di Alguru (Kab Nduga).

4.Penangkapan-penangkapan di Wamena Pasca Penyerangan/Pemboman

(a) Hari Jumat, 13 Juli 2018, Elibas Karunggu, warga sipil ditangkap jam 14.30 oleh TNI, yang kemudian bawanya dia Kodim 1702 dan interogasi disertai teror; membacakan nama yang mereka (TNI) curigai sebagai OPM dan memaksanya mengaku mereka sebagai OPM, kemudian TNI POLRI jalan tangkap orang2 tsb yang disebutkan oleh Elibas . (salah satu korbannya Wenenggum Nirigi, lihat di bawah). Elabus Karunggu (40 tahun) ditahan di Kodim satu malam besoknya di pulangkan.
(b) Hari Senin 16 Juli 2018, Weneanggun Nirigi (28 tahun) yang Kepala Kampung Mugi, baru selesai mengurus syarat untuk menjadi calon Legislatif Kab Nduga; ditangkap dan disiksa.
(c) 17 Juli 2018, Satulus Nggwijangge, PNS, mantan Kepala Distrik, Mugi; ditangkap TNI .dan dibawa ke Kodim untuk diinterogasi

5.Pengungsian Masyarakat
Salah satu dampak dari kekerasan ini ialah pengungsian masyarakat sipil Nduga.
(a)Akhir Juni- Awal Juli 2018 50 kk (kepala keluarga) keluar dari Kampung Alguru mengungsi ke hutan.
(b) hari Minggu 1 Juli 2018, 45 orang warga mengungsi ke Timika
(c )Hari Rabu, 4 Juli 2018, 106 warga mengungsi ke Timika
(d) Hari Jumat, 6 Juli 2018, 116 warga mengungsi ke Agats (55 Orang Asli Papua) 66 Non Papua

6.Tanggapan Pemerintah/Gereja/Masyarakat Sipil/Militer Terhadap Kekerasan di Alguru (Kab Nduga)
Banyak pihak memberi tanggapan terhadap Kekerasan terakhir di Nduga. Berikut ini para pihak yang memberi tanggapan terhadap kekerasan negara di sini.
(a)Hari Rabu, 11 Juli 2018 –Bupati Nduga, Yairus Nggwijangge membenarkan serangan dari udara oleh pihak keamanan ke Kampung Alguru yang diduga markas OPM. Kata Bupati, saya pada awalnya sudah melarang serangan dari udara, tetapi pihak TNI-POlri telah melakukan serangan itu dari udara yang membuat masyarakat takut dan mengungsi dalam keadaan takut yang amat mencekam. Kami berharap kata Bupati ini serang udara yang terakhir. Bupati kemudian menyesalkan operasi ini “karena tidak ada pemberitahuan kepadanya sebagai Kepala Daerah; dan melayangkan surat protes ke petinggi TNI POLRI.
(b) Jumat, 13 Juli 2018– Yunus Wonda, Ketua DPRP, mengecam keras Operasi militer di Nduga karena menyebabkan masyarakat panik, trauma dan mengungsi. Ketua DPRP selanjutnya meminta operasi militer dihentikan dan TNI POLRI di tarik dari Nduga.
(c )Sabtu, 14 Juli – 2018, PGI (Persekutuan Gereja2 Indonesia), PGI mengeluarkan pernyataan mendesak pihak TNI-POLRI untuk menghentikan tindakan-tindakan represif di Nduga; ini penting (menurut PGI) agar tidak terjadi krisis dan trauma berkepanjangan.
(d) Sabtu 14 Juli 2018, TNI-POLRI mengggunakan Media untuk mengkounter berita pemboman yang sudah diketahui public; dengan membelokkan pernyataan Ketua LMA Johny Beon dan Kepala DInas Kesehatan Kab. Nduga. Kedua tokoh tsb memprotes TNI- POLRI yang telah menyebar berita yang tidak pernah mereka keluarkan.
(e) Kamis 19 Juli 2018, Solidaritas Ratapan Kemanusiaan Alguru di Nduga terdiri AMKI (Angkatan Muda KINGMI ) menggelar Aksi Demo Damai di DPRP Prov Papua dan menyampaikan 5 butir pernyataan dan tuntutan kepada Presiden NKRI sbb (e1) mendesak Presiden Jokowi untuk segera menghentikan Operasi militer di Kabupaten Nduga; (e2) mendesak Presiden RI untuk segera mencopot Kapolri, Kapolda, Pangdam, Panglima TNI dari jabatannya karena telah melakukan pelanggran HAM Berat terhadap rakyat sipil di Kabupaten Nduga; (e3) mendesak Presiden Jokowi untuk membuka akses bagi pekerja HAM Independen untuk bisa masuk ke Nduga guna mendapatkan fakta-fakta yang sebenarnya. (e4) Presiden Jokowi membuka akses bagi bantuan kemanusiaan bagi rakyat sipil di Nduga yang sedang mengungsi di hutan-hutan (e5) mendesak Amerika, Australia, New Zealand, Inggris, Belanda & negara2 Uni Eropa untuk segera menghentikan bantuan militer ke TNI POLRI.

  1. Seruan Gereja Menyikapi Kekerasan Negara
Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

7.1.Pertama,sebagai Gereja kami menghadapi realita sejarah Papua sebagaimana yang terus di Tanah ini, tidak dengan kepala kosong. Sebaliknya kami melihatnya dengan kaca mata Sejarah Gereja dan Kitab Suci yang telah kami jalani. Kami melihat Papua yang terus dijadikan sebagai lahan konflik para pihak ini sebagai “tanda-tanda jaman” (Matius 16:2-3).

7.2.Membaca Kitab Suci dalam kondisi sejarah Tanah Papua yang penuh kekerasan ini, kami ajak para pengerja Gereja kita dan para gembala untuk melayani Kristus dengan melayani manusia-manusia di depan kita yang sedang mengungsi, sakit, sedang berteriak, berdarah-darah. Mari kita bebaskan diri dari ajaran Gereja kita yang baku dan kaku (normatif) abstrak, dogmatis, dll dan sambut seruan Kristus “sesungguhnya, Aku berkata kepadamu: segala sesuatu yang kamu lakukan kepada: orang asing dengan memberi tumpangan, memberi pakaian kepada orang telanjang, melayani orang sakit dan mengunjungi orang penjara, dan segala sesuatu yang kamu lakukan kepada yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25: 35 -40).

7.3. Dengan pijakan demikian, kami ajak para warga dan pengerja Gereja kita membuka diri dan mulai belajar dari pengalaman karya para pengerja Kristus di Indonesia tahun 1960an/1970an khususnya: Nicolaus Dryarkara di Jawa yang menemukan dirinya dalam suasana di mana “manusia sudah menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus): yang saling menggaruk, saling menggigit, saling membanting yang barangkali sudah dan sedang terjadi di Papua selama 50 tahun terakhir; sehingga dalam karyanya pastor Nicolaus Dryarkara menjalankan peran dan fungsi kritisnya terhadap setiap pembelokan ideology pembenaran kekuasaan dan kekerasan; dan sebagai pelayan Kristus dia menyoroti keberadaan sesamanya sebagai kawan ziarah homo homini socius. Dia (Prof Nicolaus) memberi Gereja kita kaca mata untuk melihat manusia sebagai kawan ziarah menuju pusat hidup manusia yaitu Tuhan.
7.4.Dalam semangat pelayanan Pastoral ini kami mendesak Pemerintah menarik pasukan TNI POLRI agar Gereja kami bisa mengirim Tim Pastoral untuk memberi pelayanan penguatan pastoral kepada warga jemaat yang telah tercerai-berai mengungsi dan sedang hidup dalam trauma tanpa akhir.

7.5. Berangkat dari kerangka butir 7.1 & 7.2. di atas, sebagai Gereja kami juga mengakui bahwa kekerasan terhadap masyarakat Nduga hari ini adalah bagian dari rangkaian siasat/ kekerasan negara yang rasis menaklukkan “pikiran orang Papua yang tidak mempercayai pemerintah Indonesia; lantaran memposisikan Indonesai sebagai penjajah” yang sedang mengobrak abrik Papua. Pada saat yang sama, kami melihat lahirnya dan perjuangan OPM (KKB, KKSB, menurut militer Indonesia dan media2 pendukungnya ) sebagai perjuangan tiada akhir melawan ideology pembangunan yang disusupi rasisme terhadap Papua. Karena itu dalam konteks ini kami sebagai Gereja menyampaikan:
(a) terima kasih kepada semua pihak yang telah bersama masyarakat Papua menghadapi kekerasan, rasisme dan penderitaan ini; dan menyerukan agar :
(b) Pemerintah Indonesia menghentikan militerisme
(c ) kami mendesak Pemerintah Indonesia menghentikan rasisme terhadap orang Papua dengan menghukum mereka-mereka yang menyebar ujaran: seperti oknum pendukung Jokowi atau mereka melecehkan Franz Kaisepo dan orang Papua /Mahasiswa Papua.

7.6. Sebagai Gereja kami prihatin bahwa tidak ada soldaritas dari para pendatang di Tanah Papua yang telah bertahun-tahun menikmati kebebasan seluas-luasnya dan kenyamanan di bawah perlindingan lembaga Negara sedang memusnahkan bangsa kami.

7.7. mendesak pemerinath untuk mengambil langkah konkrit untuk berdialog dengan ULMWP dimana OPM telah terwakili di dalamnya dan menghentikan upaya untuk menghidupkan KKB & KKSB sebagai organisasi bayangan (dengan terus melestarikan budaya kekerasan dengan melakukan penjualan senjata dan amunisi) sehingga terkesan memelihara konflik di Tanah Papua .Menghadapi perkembangan demikian: bertanya kami bertanya: mengapa Pemerintah bisa berdialog dengan GAM Aceh tetapi enggan mengambil langkah yang sana dengan untuk berdialog dengan ULMWP dimediasi pihak ke 3; sebagamana yang pernah Pemerintah lakukan dengan GAM Aceh? Mengapa pemerintah Indonesia bisa melibatkan melibatkan pihak internasional untuk menyelesaikan masalah Aceh secara permanen, tetapi enggan untuk melakukan langkah yang sama? Rasisme? Agamaisme? Melalui Seruan ini kami ajak semua pihak untuk menolong kami (bangsa Papua) menjawab pertanyaan ini.
Ini kami sampaikan dalam semangat mewujudkan Papua Tanah Damai yang telah disepakati berbagai unsur masyarakat Papua.
Jayapura, 21 Juli 2018

FORUM KERJA OIKUMENIS GEREJA PAPUA

Pdt. Dorman Wandikmbo

Pdt. Dr. Socrates Yoman

Pdt. Benny Giay

Frederika Korain

Dominggus Pigai SIP

Pewarta: Redaksi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

0
“Keberhasilan kami sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami terus bertumbuh dan berkembang bersama Papua hingga selesainya operasi penambangan pada 2041,” kata Tony.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.