JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pendeta John Baransano, Koordinator Lapangan Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) mengatakan, selama ini orang Papua ditipu oleh Freeport McMorand dan bangsa Indonesia sejak kontrak karya pertama tahun 1967.
Setelah itu, katanya kontrak Freeport direvisi pada tahun 1999 ke atas hingga berjalan lima puluh tahun, orang Papua sebagai pemilik tetap saja tidak tahu bagiannya, terutama orang Kamoro dan Amungme.
“Kita jujur bahwa penemuan Ertsberg itu menunjukan bahwa setelah kontrak pertama hingga hari ini orang Papua tidak mendapatkan apa-apa,” kata Pdt.John Baransano yang adalah pemerhati sosial politik di Papua kepada suarapapua.com, Rabu (1/8/2018).
Setelah itu, katanya, orang Papua tetap saja mendapatkan perlakuan tidak wajar dengan menjadi korban pelanggaran HAM lingkungan yang mengakibatkan pencemaran lingkunga yang sangat luar biasa.
“Melihat kondisi itu, kita tidak bisa saling kontra, mencurigai satu sama lain yang akhirnya tidak bisa berkembang maju dalam kasus Freeport. Kita juga tidak bisa hanya berteriak Freeport tutup tanpa plening yang jelas, tetapi kita harus punya rencana yang terukur,” tuturnya.
Maksudnya, katanya proses ini harus dilakukan secara bersama, dan dalam skala besar karena kontraknya terus berjalan. Dalam konteks ini, orang Papua harus melibatkan pengacara dan lembaga internasional untuk gugat ke mahkama internasional, termasuk soal HAM gugat ke Amnesty internasional.
“Cara ini harus dilakukan karena kontrak yang tidak masuk akal didalam pikiran orang Papua terus dilakukan. Sekarang kita harus bangun sebuah kepercayaan bersama dan hilangkan ego lalu kita bersatu.”
“Hilangkan semua pikiran dan perjuangan individu. Mari kita bersatu dan maju bersama menuntaskan soal ini. Saya mencatat bagi orang Papua pertama kali melakukan gugatan adalah Mama Yosepa Alomang, tetapi gugatan itu ditolak. Nah kalau hari ini seluruh orang Papua dari 7 suku menggugat secara resmi, saya percaya Tuhan akan bertindak pada bagian itu,” tukasnya.
Oleh sebab itu, ia mengajak tinggalkan semua perbedaan, ego dan argumentasi untuk bersama-sama bersatu dan turun melakukan aksi solidaritas soal divestasi Freeport pada tanggal 9 Agustus 2018.
Sebelumnya, melalui salah satu koordinator aksi FMPPF, Yusak Andato mengatakan bahwa alasan aksi tersebut diundur karena harus melibatkan lembaga kultur masyarakat Papua, MRP yang tidak di Jayapura.
“MRP sepakat, namun karena mereka ke Jakarta dan atas koordinasi dengan kami mereka minta agar ditunda ke tanggal 9 Agustus,” kata Andato.
Pewarta : Elisa Sekenyap