10 Jam Dikurung di Polrestabes Surabaya, 49 Mahasiswa Papua Dibebaskan

1
5574
49 mahasiswa Papua yang ditangkap itu di halaman Polrestabes Surabaya, Rabut (15/08) tengah malam (Foto: Ist/SP).
adv
loading...

SURABAYA, SUARAPAPUA.Com — Setelah 10 jam dikurung dalam salah satu ruangan di lantai tiga Gedung Polrestabes Surabaya, ke-49 mahasiswa Papua yang menolak mengibarkan bendera merah putih di halaman asrama Kamasan Papua Surabaya itu dibebaskan.

Mereka dibebaskan Kamis (16/08) pukul 09:00 WIB setelah dikurung sejak pukul 23:00 WIB, Rabu (15/08) malam.

Menurut penuturan mahasiswa Papua penghuni asrama, Yoab Orlando, kepada suarapapua.com, awalnya ada pemaksaan yang dilakukan oleh beberapa oknum anggota ormas Pemuda Pancasila yang mendatangi asrama Papua.

Beberapa oknum Pemuda Pancasila tersebut memaksa mahasiswa Papua mengibarkan bendera merah putih di halaman asrama Papua. Mahasiswa menolak karena merasa bukan bagian dari Indonesia. Para anggota ormas maskin banyak, cacian dan makian rasis juga terdengar.

Baca juga: Kronologis Aksi Ormas dan Polisi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

ads

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, berdasarkan investigasinya, menjelaskan, anggota ormas yang telah datang memaksa mahasiswa Papua mengibarkan bendera merah putih itu juga telah merusak fasilitas asrama berupa pagar asrama.

Dikutip dari kabr.id, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya akan menyelidiki dugaan perusakan terhadap asrama mahasiswa Papua di jalan Kalasan Surabaya, Jawa Timur.  Insiden perusakan terjadi di asrama mahasiswa Papua, Selasa (15/8/2018).

“LBH akan merapatkan ini dan upaya hukum untuk melaporkan masalah ini terkait perusakan ke Polda Jawa Timur,” kata Aktivis Bidang Divisi dan Riset LBH Surabaya, Sahura, ketika dikonfirmasi.

Sahura mengatakan, selain perusakan, LBH juga menyelidiki dugaan intimidasi. LBH mengumpulkan beberapa bukti dugaan intimidasi itu, untuk bahan proses hukum.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

“Kita mempunyai beberapa foto, video dan tadi bukti pelemparan. Itu tidak kita utak-atik,” kata Sahura.

Sahura menjelaskan, pelaku pelemparan diduga petugas Satpol PP atau ormas pemuda. Dia membantah ada kontak fisik dalam kasus tersebut.

“Ada sekitar satu atau dua orang. Ada orang berseragam mau masuk. Pas pintu dibuka, ada belasan orang masuk. Pas kaget mengambil kayu, para ormas lari, ada yang jatuh. Teman-teman mahasiswa melihat ada tangannya yang berdarah,” kata Sahura.

AMP: Tindakan Ormas dan Polisi Berdampak Psikologis

Obby Kogoya yang dipenjara dengan tuduhan melawan petugas keamanan saat pengepungan di Asrama Papua Yogyakarta, Juli 2016 lalu (Foto: Ist/SP)

Terkait pemaksaan pengibaran bendera terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Sekretaris Jendral II Aliansi Mahasiswa Papua (Sekjen AMP) pusat, Albert Mungguar, kepada suarapapua.com menegaskan, persis seperti yang terjadi di Surabaya, itulah yang juga terjadi, dilakukan oleh negara melalui militernya terhadap orang Papua di tanah Papua.

“Nasionalisme bukan barang paksaan. Nasionalisme adalah menyangkut ideologi, ia lahir dari kesadaran rakyat. Bila rakyat Papua dan mahasiswa Papua hari ini tidak ingin mengibarkan bendera merah putih, maka yang harus dilakukan negara dan sesama warga negara adalah bertanya, mengapa mahasiswa Papua tidak punya nasionalisme Indoensia, bukannya mendesak, memaksa, bahkan bikin seperti kerasukan setan, memaksakan kehendak dengan tindakan kekerasan,” ujar Mungguar, Rabu (15/08) malam.

Menurut Mungguar, terjadi tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua Surabaya atas pemaksaan pemasangan bendera merah putih di dalam Asrama dengan cara represif yang mengakibatkan pengrusakan pagar dan pintu pagar asrama.

Tindakan polisi bersama dan Ormas rekasioner kembali melakukan pengepungan pada malam hari, melakukan penggeledahan, mengunakan surat penangkapan terhadap ketua asrama yang tidak ada di asrama adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

“Surat tersebut menjadi legitimasi TNI/Polri bersama ormas reaksioner mendobrak pintu pagar, menggeledah serta menangkap 49 orang mahasiswa Papua secara sewenang-wenang,” tegas AMP.

Ketiga, disisi lain, lanjut AMP, tindakan tersebut adalah terror psikologi terhadap mahasiswa Papua yang dilakukan negara, yang akan berdampak pada proses belajar sebagai mahasiswa, tempat tinggal, dan kenyamanan mahasiswa Papua di kota Surabaya.

Sistematik Represif

Mengingat beberapa kejadian pengepungan, AMP menilai, diskriminasi rasial dan persekusi diskusi beberapa waktu belakangan ini yang dilakukan oleh anggota TNI/Polri bersama ormas reaksioner terhadap mahasiswa Papua adalah tindakan yang tersistematis dan terstruktur, dijalankan atas perintah dari atas ke bawah, dibawah perintah negara.

Di Surabaya, AMP mencatat keterlibatan camat Tamkbaksari Surabaya dalam aksi persekusi dan pengepungan, upaya pembubaran terhadap diskusi “20 tahun Biak Berdarah” di asrama Papua Surabaya pada 6 Juli 2018.

tidak hanya di Surabaya, kejadian serupa pernah terjadi di Semarang dan Yogyakarta.

Di Semarang, Setahun yang lalu (17/08/2017), pernah terjadi iring-iringan bendera merah putih dan lambang negara Indonesia burung garuda dari kantor kecamatan ke asrama Kamasan Papua di Semarang. Iring-iringan tersebut dikawal ketat ormas, pemuda pancasila, polisi dan brimob.

Peristiwa pemaksaan penggunaan simbol-simbol negara Indonesa terhadap mahasiswa Papua di Semarang tersebut hampir memicu konflik.

Suasana pengepungan asrama Kamasan Papua di Yogyakarta oleh polisi pada Juli 2016 lalu (foto: Ist/SP).

Di Yogyakarta, telah terjadi dua kali pengepungan parah. Pertama, dalam insiden penemuan mayat seorang mahasiswi Papua, Jesika Elisabeth Isir, di tepi rel kereta, dalam kondisi telanjang, pada tahun 2011. Mahasiswa Papua yang tidak terima dengan peristiwa itu membakar ban dan menutup jalan depan asrama, mengakibatkan pengepungan atas mahasiswa Papua di asrama Papua di Yogyakarta selama 2 hari.

Baca Juga:  AJI, PWI, AWP dan Advokat Kecam Tindakan Polisi Terhadap Empat Jurnalis di Nabire

Pengepungan kedua terjadi tahun 2016, tanggal 14-16 Juli. Saat itu, ratusan mahasiswa Papua berkumpul di asrama Kamasan Papua di Yogyakarta untuk mengikuti demonstrasi damai mendukung ULMWP agar diterima menjadi anggota MSG.

Beberapa ormas di Yogyakarta bergabung dengan Faksi Katon (tentara kerajaan Yogyakarta), polisi dan Brimob menggelar apel pagi depan asrama, mengepung, menghancurkan puluhan sepeda motor milik mahasiswa, merusak pagar, mencongkel dengan linggis, dinding asrama yang bergambar bendera Bintang Kejora, menyiram mahasiswa dengan gas air mata dan tembakan untuk menakut-nakuti.

Dua hari mahasiswa Yogyakarta terkurung di dalam asrama, saat itu.

Menanggapi sistematik represif tersebut, AMP menegaskan dua hal. Pertama, AMP mengecam tindakan pemerintahan Indonesia, dalam hal ini institusi Polri dan Tentara Nasional Indonesia dan lembaga pemerintahan serta ormas-ormas reaksioner atas tindakan represif, diskriminatif, rasialis, penggeledahan, pengepungan serta penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa Papua.

Kedua, AMP mengecam atas tindakan pemeliharaan dan pembiaraan tanpa pendisiplinan dan penindakan atas tindakan-tindakan melanggar hukum oleh beberapa Ormas yang menamakan diri Sekber Benteng NKRI dan Pemuda Pancasilah dalam melakukan tindakan pengrusakan pagar, penggeledahan Asrama Papua Kamasan III Papua di Surabaya hingga terlibat dalam aksi penangkapan mahasiswa.

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaInilah Pengakuan Para Pelajar Tentang Tambang Emas Liar di Danowage Korowai
Artikel berikutnyaVanuatu Susun Draft Resolusi PBB untuk Penentuan Nasib Sendiri Papua