Koalisi Kecam Kebijakan Pemerintah atas Deforestasi Terencana di Papua

0
4230

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dampak dari kebijakan pemerintah Indonesia hingga kini masih terus memberikan ijin baru pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit, terutama di Tanah Papua, sudah mencapai luas 237.752 hektar yang dikelola 11 perusahaan, berpeluang besar kian merusak lingkungan dan merugikan masyarakat asli pemilik tanah leluhur.

Koalisi Organisasi Masyarakat Pro Keadilan, HAM dan Lingkungan di Tanah Papua menyatakan sikap mengecam kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tidak dapat menjamin kelestarian lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat setempat.

“Pemerintah selalu memberikan ijin baru pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan wujud deforestasi terencana, berpotensi menghilangkan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi, merusak lingkungan, merugikan masyarakat adat dan meningkatkan konflik agraria,” ujar Maurits J Rumbekwan, juru bicara koalisi yang juga Direktur Eksekutif Walhi Papua, Kamis (23/8/2018), dikutip dari siaran pers yang diterima suarapapua.com.

Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Kini laju deforestasi sudah tingkat mengkhawatirkan, selain karena banyaknya aktivitas pembalakan liar (illegal loging) oleh perusahaan HPH, konversi pertanian, kebakaran hutan, penggunaan kayu bakar, juga dengan seiring hadirnya banyak perusahaan kelapa sawit. Dampak deforestasi mengancam kehidupan manusia dan spesies mahluk hidup lainnya.

Meskipun pemerintahan Jokowi-JK menyampaikan komitmen dan kebijakan tentang moratorium izin baru pada kawasan hutan alam dan lahan gambut, juga menyatakan penundaan ijin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Tetapi menurut koalisi, kenyataannya justru berbeda.

ads
Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

“Dalam praktiknya, pemerintah masih belum sungguh-sungguh menghormati kebijakan dan ketentuan penundaan ijin baru tersebut. Pemerintah masih terus menerbitkan ijin baru pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua,” ungkapnya.

Kebijakan dan ketentuan penundaan ijin baru tersebut, menurut koalisi, sangat penting untuk mentransformasi dan meningkatkan tata kelola perkebunan yang berkelanjutan, sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan, berkeadilan, melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat asli.

Rumbekwan mengaku mendapatkan informasi bahwa otoritas Badan Kooordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menerbitkan ijin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit kepada PT. Sawit Makmur Abadi, seluas 28.817 hektar, di daerah Nabire, Provinsi Papua. Ijin diberikan berdasarkan SK Nomor 2/1/PKH/PMDN/2018 tertanggal 10 April 2018.

“Kami telah menganalisis keberadaan ijin PT. Sawit Makmur Abadi dengan menggunakan Peta PIPIB dan RTRWP Papua, ditemukan pada kawasan hutan yang dilepaskan untuk usaha perkebunan, terdapat kawasan hutan bergambut seluas 8.825 hektar dan hutan alam primer seluas 95 hektar, serta wilayahnya dimiliki oleh masyarakat adat pada empat kampung di Distrik Napan dan Wapoga, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua,” jelas Rumbekwan.

Charles Richard Tawaru, anggota koalisi dari Greenpeace Indonesia, menyatakan, kebijakan tersebut tidak sesuai komitmen negara tentang moratorium izin baru pada kawasan hutan alam dan lahan gambut serta penundaan ijin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga:  Panglima TNI dan Negara Diminta Bertanggung Jawab Atas Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Berdasarkan data yang didokumentasikan pihak koalisi, selama pemerintahan Jokowi (2015-2018), ditemukan pemberian ijin-ijin pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua sudah mencapai luas 237.752 hektar. Ijin tersebut diberikan kepada 11 perusahaan. Pemilikan perusahaan tersebut melibatkan para pemodal yang diduga terkait kasus kejahatan lingkungan di Tanah Papua serta pengurus berasal dari purnawirawan militer (TNI/Polri).

“Kehadiran perusahaan sawit dikawal aparat keamanan, masyarakat kalau bicara hak ulayat atau protes ke pihak manajemen, kerapkali berhadapan dengan moncong bersenjata. Banyak data tentang kasus demikian. Contohnya terjadi pemukulan terhadap warga di Sorong, atau di lokasi PT Nabire Baru terhadap pemuda setempat,” tutur Denny Yomaki dari YALI Papua.

Dari berbagai fakta yang ada, diakuinya, pemberian ijin tersebut lebih menguntungkan pihak perusahaan dan mengorbankan hak masyarakat setempat dalam banyak aspek.

Hal itu juga diakui Pdt. Magda Kafiar, perwakilan KPKC GKI Tanah Papua, yang hadir dalam jumpa pers.

“Kebijakan pemberian ijin baru pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan itu akan menambah panjang derita bagi masyarakat asli karena akan kehilangan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi, juga berdampak pada kerusakan lingkungan, dan berbagai dampak langsung lainnya,” kata Tawaru.

Oleh karena itu, Koalisi menyesalkan kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai tindakan melawan hukum dan bentuk kesewenang-wenangan negara yang merugikan hak-hak masyarakat adat.

“Kami menyesalkan dan mengecam kebijakan pemberian ijin tersebut,” ujar Rumbekwan.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

“Kami memandang negara gagal menghormati hak-hak hukum warga, pemerintah telah mengabaikan hak warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada sisi lain, pemerintah secara sengaja melanggar kewajibannya, hanya untuk mengakomodasikan kepentingan kelompok pemilik modal tertentu,” ungkapnya.

Menyikapi kenyataan tersebut, Koalisi mendesak Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Koordinator Perekonomian, Kepala BKPM, Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk segera melakukan kaji ulang dan evaluasi berbagai perijinan usaha perkebunan kelapa sawit dan Hak Guna Usaha di Tanah Papua.

Selain itu, memberikan sangsi pencabutan izin dan pemulihan kawasan hutan maupun hak masyarakat, yang telah dirugikan dan dihilangkan karena kebijakan tersebut.

Tergabung dalam koalisi ini, WALHI Papua, Greenpeace Indonesia Sorong, KPKC GKI di Tanah Papua, Foker LSM Papua, YALI Papua, LBH Papua, pt. PPMA Jayapura, PKBI Papua, YADUPA, Forum Peduli Port Numbay Green, JASOIL Tanah Papua, SKPKC Fransiskan Papua, JERAT Papua, Perkumpulan Belantara Papua Sorong, Papua Forest Watch Sorong, YUKEMDI Jayawijaya, Yayasan Pusaka, Sawit Watch, YPKM Papua, KIPRa Papua.

Juga, SKP Keuskupan Merauke, ELSHAM Papua, PBH Cenderawasih, Konsorsium Masyarakat Papua untuk Kemanusiaan (KOMPAK) Nabire, Eladpper Merauke, Dewan Masyarakat Adat Momuna Yahukimo, Asosiasi Masyarakat Adat Kampung AIB, GPAPBPAP Kaimana, PANAH Papua,  Jaringan Advokasi Kebijakan Anggaran (JANGKAR), Pantau Gambut Papua, Yayasan Rumsram Biak.

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaSolpap dan Mama-mama Papua Minta Disperindagkop Perjelas Pengelolaan Pasar
Artikel berikutnyaFerry Kombo Anggap Keterangan Awal Sudah Mewakili