Jayapura: 93 Orang Massa Aksi Damai Ditangkap Polisi dalam 2 Hari

0
3726

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dua hari berturut-turut rakyat Papua di Kota Jayapura turun ke jalan, melakukan aksi demonstrasi damai. Demonstrasi damai pertama dikoordinir Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P) dan dilaksanakan Senin (3/9/2018) untuk menuntut dibangunnya pasar mama-mama Papua, mendesak negara Indonesia untuk menghentikan militerisme di Papua dan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk meneruskan tuntutan rakyat Papua agar PT. Freeport ditutup.

Dilanjutkan Selasa (4/9/2018), dikoordinir oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam negeri, rakyat Papua berkumpul hendak melakukan ibadah dan doa bersama, namun berujung penangkapan.

Sebanyak 93 orang ditangkap di dua hari aksi beruntun di Jayapura, Papua. Dalam demonstrasi hari pertama, sebanyak 14 orang massa aksi ditangkap. Dalam aksi demonstrasi yang dikoordinir ULMWP di hari berikutnya, sebanyak 79 orang ditangkap.

Aksi pertama dibubarkan paksa dan terjadi penangkapan oleh polisi dengan alasan belum ada surat pemberitahuan aksi. Aksi kedua dibubarkan dan massa aksinya ditangkap paksa oleh polisi dengan alasan surat izinnya ditolak, dinilai tidak memenuhi syarat.

Baca Juga:  Pemuda Katolik Papua Tengah Mendukung Aspirasi Umat Keuskupan Jayapura

Baca juga: Demo Tutup Freeport, Bangun Pasar dan Tolak Militer, 14 Orang Ditangkap

ads

Dikutip tabloidjubi.com, Kapolresta Jayapura, AKBP Gustav Urbinas yang diminta konfirmasi terkait penangkapan pada aksi kedua, belum memberi respon. Tetapi konfirmasi datang dari Kapolres Kabupaten Jayapura, AKBP Victor Makbon.

Dia membenarkan soal penangkapan di Sentani itu. Katanya, tindakan polisi itu untuk mengamankan dan pesertanya hanya dimintai keterangan.

“Setelah memberikan pengarahan, siang ini dipulangkan,” kata Makbon saat itu.

Sementara untuk menanggapi alasan polisi menangkap 14 orang lainnya di aksi hari pertama, Garda-P menegaskan surat pemberitahuan aksi telah dimasukkan kepada Polresta sejak lima hari sebelum aksi dilaksanahkan.

“Pembubaran aksi secara paksa dan penangkapan 14 orang massa aksi tanpa alasan yang jelas. Jika aparat (TNI/Polri) membubarkan aksi damai dengan alasan tidak ada surat pemberitahuan aksi ke pihak Kepolisian, maka alasan itu tidak benar dan tidak mendasar karena Garda Papua telah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian 5 hari sebelum aksi digelar (29/8/2018),” tulis Garda-P dalam pernyataan tertulisnya.

Baca Juga:  LME Digugat Ke Pengadilan Tinggi Inggris Karena Memperdagangkan 'Logam Kotor' Dari Grasberg

Polisi Membungkam Ruang Demokrasi

Tindakan aparat di atas dinilai telah membatasi hak warga untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi dasar Negara (UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat (1)). Hal ini secara khusus diatur juga dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2.

Dasar hukum lainnya yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi adalah UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi hak-hak sipil politik (pasal 19 dan 21) yang telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi yang dilakukan secara damai oleh setiap warganya dan negara berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan hak tersebut.

Bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi di Tanah Papua, menurut Garda-P, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memberikan perlindungan dan jaminan terpenuhinya hak atas kebebasan berekspresi bagi warga di Papua Barat.

“Pembubaran paksa aksi damai dan penangkapan terhadap 14 orang (3/9/2018) dan 79 orang (4/9/2018) massa aksi damai merupakan gambaran dari pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang represif dan militeristik. Pembatasan ini bukan pertama kali terjadi, tetapi telah berulangkali dilakukan dan telah menjadi kebiasaan kepolisian. Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Tanah Papua dimatikan oleh pemerintah Indonesia,” lanjut Garda-P.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Menyikapi hal ini, Garda-P mengeluarkan 4 tuntutan. Pertama, mendesak Kompolnas agar memeriksa Kapolda Papua dan Kapolres Kota Jayapura terkait tindakan pelarangan dan represi terhadap aksi damai di Papua.

Kedua, mendesak Kapolri dan Kapolda Papua untuk segera menghentikan pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap pemuda dan mahasiswa Papua.

Ketiga, mendesak Pemerintah Indonesia segera mencabut semua instrumen hukum dan kebijakan yang membelenggu kebebasan berorganisasi, berekspresi, mengemukakan pandangan politik secara damai di Papua.

Keempat, mendesak Presiden Republik Indonesia segera membuka ruang demokrasi bagi rakyat sipil di Papua Barat; dan memberikan akses masuk bagi pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap situasi di Papua, termasuk diantaranya akses pers dalam dan luar negeri.

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaBawaslu Paniai Tatap Muka dengan Panwasdis
Artikel berikutnyaRelevansi Kiri di Papua