ArtikelOpiniMarxis Dalam Industri Budaya Populer (Bagian I)

Marxis Dalam Industri Budaya Populer (Bagian I)

Instrumen Penindas Atau Media Perlawanan?

Oleh; Edoardo A.A Mote)*

Sejauh ini sulit untuk menolak bahwa Karl Max merupakan salah satu manusia paling berpengaruh yang melintasi ruang waktu dalam sejarah peradaban manusia. Sebagai seorang filsuf dan ideolog, pemikirannya menjadi mata air bagi pemikiran progresif di Jerman di abad 20. Sebagai seorang ideolog, karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam politik praktis dan bersifat ideologis yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari sistem ekonomi kapitalisme yang menindas. Contohnya adalah revolusi Amerika latin sepanjang abad 20 hingga gerakan emansipasi politik LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisex, Trans-gender dan Queer) di abad 21. Tidak berlebihan jika selama dua abad sejak kematiannya, ia telah menjadi inspirasi bagi setiap bentuk gerakan emansipatoris lintas bidang diseluruh dunia seperti sastra, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, media bahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Marx yang menghasilkan karya-karyanya di Jerman pada abad 19 mulai mendapat perhatian dari para sarjana Jerman seperti Adorno, Hokheimer, Benyamin Walter dan beberapa pemikir lain yang belakangan dikenal sebagai Mazhab Frankfrut. Mazhab ini kemudian menghasilkan sejumlah teori yang lebih disebut aliran teori-teori kritik (Critical theories) yang fokus utamanya adalah untuk menelanjangi kerja kapitalisme yang beroperasi melalui industri budaya populer. Budaya populer mulai muncul pasca revolusi industri (dimasa mazhab Frankrut terbentuk) dalam kapasitasnya yang besar, ketersediaannya yang masif serta bentuknya yang cenderung seragam. Jenis budaya ini diproduksi oleh industri budaya yang dikontrol oleh kapitalis dan di’gemari’ oleh kelas pekerja. Menurut mazhab ini, industri budaya populerlah yang menjadi penyebab utama gagalnya revolusi proletariat seperti yang dinubuatkan oleh Marx sendiri.

Metode kerja industri budaya ini adalah mereproduksi budaya massa sebagai cerminan realitas (bahkan wujud ideal realitas yang diidamkan) kedalam berbagai produk industri dan ‘membujuk’ kelas pekerja untuk menikmatinya. Kelas pekerja yang mendambakan realitas yang ideal bagi kehidupan sosial-ekonomi mereka (yang sebenarnya mustahil untuk terwujud dalam kehidupan nyata) kemudian memenuhinya melalui  konsumsi produk budaya populer dari industri yang dikendalikan oleh para kapitalis.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sebagai contoh kelas sosial yang termarjinal secara ekonomi dan politik sedikit sulit untuk mendapat akses untuk pendidikan dan kesehatan yang layak. Akibatnya kehidupan sehari-hari mereka akan sarat dengan persoalan makan minum, sakit-sakitan hingga kesulitan mendapat kerja akibat rendahnya sumber daya manusia. Kondisi demikian akan membuat mereka mudah stress hingga depresi. Gejala psikologis yang paling terlihat adalah emosi yang temperamen, sensitif dan inferior. Dari sini muncul angan-angan akan kehidupan yang bebas dari persoalan keuangan, kesulitan kesehatan hingga mendapat pendidikan yang berkualitas. Keinginan untuk ‘Bebas’ inilah yang kemudian dijual kembali (direproduksi) oleh industri budaya populer kedalam/melalui berbagai produk-produknya (entah itu produk makanan/minuman yang menjual makna ‘kebebasan’, fashion yang melambangkan bentuk-bentuk ekspresi ‘kebebasan’ diri, mobil/motor jenis petualang yang menantang dan paket-paket travelling yang sensasional) termasuk film dan lagu yang melambungkan imajinasi kebebasan melalui stimulasi sensasi dari setiap adegan (film) maupun ritme nada-nada lagu yang membuaikan jiwa.

Masyarakat dari kelas sosial termarjinal kemudian berlomba-lomba berupaya pada titik minimum untuk bisa mengkonsumsinya guna mendapat sensasi ‘bebas’ yang diidam-idamkan (yang mustahil untuk terealisasi dalam kehidupan wajar). Operasi kapitalisme model inilah yang kemudian berhasil menina-bobokan kelas pekerja (atau kelas sosial yang termarjinalkan secara ekonomi) sehingga mereka tidak hanya asing dari dunia dan kerjanya tetapi juga telah larut didalam sebuah realitas semu yang diproduksi dalam jaringan kekuatan kapitalis melalui industri budaya. Budaya populer pada akhirnya telah menunjukkan eksistensinya sebagai ‘agama baru’ (yang mana oleh Marx menjadi candu bagi kelas proletariat) yang membius sekaligus disaat yang sama dipuja oleh kelas pekerja.

Pararel dengan pandangan mazhab Frankfrut, pembacaan terhadap karya-karya Marx oleh Gramsci makin meruncingkan pemikiran Marx untuk menyayat jaringan kapitalisme yang bekerja tepat melalui urat nadi alam bawah sadar manusia. Dari Gramsci lah kerja kapitalisme di era industri mendapat terminologinya, yakni kekuasaan hegemoni. Kapitalisme tidak hanya mendominasi dunia melalui struktur ekonomi-politik yang dibangunnya, tetapi juga telah menguasai cara berpikir dan pandang manusia tentang realitasnya. Dengan kata lain, kekuasaan atau hegemonik beroperasi pada “struktur nano” politik yakni pada ranah alam bawah sadar manusia. Kapitalisme melalui kuasa industri budaya populer secara terus-menerus memborbardir pemikiran manusia dengan tujuan untuk merasionalisasi (mengkamuflase) realitas manusia (baca: kelas pekerja) yang sebenarnya diproduksi untuk melanggengkan kekuasaan kapitalisme dan makin mencengkram kehidupan manusia. Berbagai bentuk eksploitasi pun kemudian di samarkan (dibuat kabur: kaburisasi) melalui produksi pengetahuan yang melegitmasi ekspolitasi itu sendiri.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Institusi-institusi terkait yang bertanggungjawab baik secara langsung maupun tidak langsung dalam melakukan kreasi dan inovasi pengetahuan disokong oleh kapital dan mendapat akses yang luas dengan tujuan tidak lain adalah untuk mengakumulasi berbagai pengetahuan untuk mendapat landasan kebenaran yang lebih kuat untuk makin mengeksploitasi baik alam maupun tenaga manusia. Atas basis pengetahuan inilah kekuasaan kapitalisme ditegakkan dan dilanggengkan. Maka tidak berlebihan jika setiap wujud pengetahuan yang diproduksi dalam pandangan Marxis melalui pembacaan baik oleh mazhab Frankfrut maupun Gramscian mesti dilihat sebagai sesuatu yang politis. Dengan kata lain, tidak ada pengetahuan yang dibuat hanya semata untuk pengetahuan itu sendiri melainkan untuk melayani kepentingan/kekuasaan tertentu.

Teori pembangunan (teori ekonomi) dapat menjadi contoh yang tujuannya adalah untuk melegitimasi program kerja/proyek pembangunan ekonomi suatu negara. Logika teori ini adalah bahwa untuk mengejar kemakmuran maka sebuah negara harus mengejar pertumbuhan ekonominya yang secara indikatif dapat dilihat secara statistik melalui grafik impor/ekspor, produksi barang dan jasa oleh industri dalam negeri, jumlah tenaga kerja, tingkat pengangguran, tingkat inflasi, cadangan devisa hingga investasi.

Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi inilah negara secara efektif dan efisien memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Prinsip kerja efektif dan efisien menjadi faktor determinan agar bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA (Sumner Daya Alam) suatu negara sehingga hasilnya bisa maksimal. Dengan demikian bisa meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi yang akan berimbas pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang bebas dari kesulitan finansial, mudah mengakses sektor-sektor publik utama seperti pendidikan dan kesehatan hingga pemenuhan hak-hak politiknya sebagai warga negara.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Logika teori ini hanya akan masuk akal dalam nalar kapitalisme yang memang memiliki tujuan utama adalah akumulasi kapital (keuntungan dari setiap giat ekonomi) oleh individu. Ia tidak berlaku dalam nalar sistem ekonomi katakanlah sosialisme yang tidak mengejar penimbunan kekayaan di individu atau suatu golongan, melainkan lebih hirau pada pemerataan distribusi kekayaan kepada masyarakat sebagai hasil dari giat ekonomi.

Setelah memahami kerja kapitalisme melalui industri budaya dengan menggunakan hasil pembacaan karya-karya Marx oleh mazhab Frankfrut dan Gramscian, kita mendapat hipotesa bahwa industri budaya populer memang ada sebagai bentuk kuasa hegemoni untuk mendistraksi (memecah) kesadaran kelas sosial tertindas akan situasi ketertindasannya. Kesadaran akan penindasannya bukannya tidak ada, melainkan diabaikan. Hal ini dilakukan untuk dalam rangka praktek konformasi (penyesuaian untuk menjadi nyaman) akan situasi represif yang dialami.

Pengabaian akan kesadaran ini kemudian dialihkan secara total kepada realitas semu yang diproduksi melalui industri budaya populer sehingga batas-batas antara situasi tertindas dan kesenangan itu menjadi tidak tegas bahkan membingungkan. Ditengah situasi membingungkan itulah, sebagian besar masyarakat dari kelas sosial yang termarjinal (baca: tertindas) cenderung menjadi pasif dan memilih untuk ‘tidak melakukan apa-apa’. Malahan dalam situasi demikian, masyarakat dari kelas sosial tertindas ini justru mengamini penindasan yang dialaminya sebagai bagian dari ‘kewajaran’ dengan argumen-argumen yang apriori seperti ‘sudah dari sananya’, ‘kurang produktif’, kurang kreatif’, ‘malas’ ‘sehingga kondisi ini terjadi’ dan berbagai label yang dialamatkan kepada diri sendiri.

Lantas, apakah dengan menyimak industri budaya populer melalui kacamata mazhab Frankfrut dan Gramscian menihilkan peluang bagi aksi resistensi? Atau apakah masih ada cela yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan perlawanan? Jika ada, bagaimana caranya? Bagian kedua dari tulisan ini akan membahasnya secara ringkas, sederhana dan logis.

)* Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada

Terkini

Populer Minggu Ini:

Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

0
“Masyarakat harus tetap konsisten dengan apa yang disampaikan dalam kegiatan ini. Yang terlebih penting masyarakat harus menjaga keamanan di Tambrauw sehingga semua kegiatan berjalan dengan aman dan damai mulai dari tahapan hingga selesai Pilkada 2024 nantinya,” pesannya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.