Pemerintah Diminta Gelar Rapat Sikapi Rantai Kematian di Papua

0
16191

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pemerintah provinsi Papua, pemerintah kabupaten di seluruh tanah papua dan semua orang untuk sikapi bersama rantai kematian di tanah Papua.

Dulu, saat kabupaten-kabupaten belum banyak di Papua, kematian tidak terlalu banyak di atas tanah Papua. Namun, makin ke sini, angka kematian terus meningkat. Hal ini diungkapkan oleh Samuel Tabuni, CEO Papua Language Institute (PLI) dan tokoh intelektual muda Papua saat ditemui suarapapua.com pada Jumat (5/10/2018) di Kota Jayapura.

“Saya amati, angka kematian sangat tinggi. Setiap hari ada orang yang mati. Sebelum ada kabupaten, distrik dan pemerintah, di Papua untuk orang mati satu tahun itu jarang. Atau bisa mati karena perang,” jelasnya.

Tabuni mengatakan, dirinya prihatin dengan kondisi di mana setiap hari ada saja orang yang meninggal di Papua. Sebab semua orang berbicara untuk membangun tanah Papua yang lebih baik, bicara untuk pemekaran provinsi dan kabupaten, banyak yang mau calonkan diri jadi DPR Pusat hingga daerah, tetapi orang meninggal terus.

“Harus ada rapat bersama antara direktur rumah sakit, kepala-kepala dinas, pemerintah provinsi, DPR Papua dan MRP harus lakukan rapat dalam waktu dekat untuk segera evaluasi tentang rantai kematian ini,” katanya.

ads

Menurut Tabuni, buku yang ditulis drg. Aloysius Giyai tentang Memutus Mata Rantai kematian itu perlu didiskusikan lebih dalam lagi untuk memutuskan mata rantai kematian di tanah Papua.

“Saya sangat prihatin, kita hari ini bicara pemekaran kabupaten  provinsi, kabupaten, calon, kita mau bangun siapa. Karena orang-orang yang mau kita bangun itu setiap hari meninggal. Ini harus ada tindakan bersama,” kata Tabuni.

Baca Juga:  Lima Wartawan Bocor Alus Raih Penghargaan Oktovianus Pogau

Dengan melihat kondisi ini, ia menekankan agaru semua pihak, mulai dari gubernur Papua, bupati-bupati di papua dan semua pemangku kepentingan di tanah Papua gelar evaluasi untuk memutus mata rantai kematian di tanah Papua.

“Saya minta evaluasi dan rapat dalam waktu dekat untuk hentikan rantai kematian. Kita coba tinjau buku putuskan mata rantai kehidupan ini sudah sangat extra ordinary. Maka harus ada sikap jelas dari pemerintah papua, terutama kepala-kepala dinas, Direktur-direktur rumah sakit dan semua pihak,” pinta Tabuni.

“Harus ada rapat dalam waktu dekat. Sehingga persoalan ini bisa kita temukan penyebabnya. Setiap hari ini bisa lima, enam dan tujuh orang mati. Ini bukan biasa. Kadang kita biasa salahkan orang Papua ketika saat sakit sudah berat baru datangi rumah sakit, tetapi itu bukan jawaban. Harus temukan penyebab dan solusinya,” tegasnya.

Tabuni juga mengatakan, para dokter yang bekerja di rumah sakit, harus dikontrak untuk bekerja di satu rumah sakit. Sebab, jika diberikan kebebasan untuk kerja di tempat lain lagi, maka tidak menutupi kemungkinan akan mengganggu konsentrasi pelayanan di rumah sakit.

Dinas kesehatan, kata dia, banyak orang-orang luar biasa yang bekerja maka harus memiliki kerangka berfikir dan model kampanye untuk mencegah kematian lebih jauh.

“Di salah satu rumah sakit swasta di Jayapura, jumlah orang yang mati di rumah sakit itu 283 orang. Itu baru di satu rumah sakit. Belum lagi di rumah sakit yang lain dan yang mati karena penyebab lainnya. Jadi yang saya bicara ini untuk selamatkan orang yang punya tanah Papua ini dari rantai kematian. Karena yang mau kita bangun ini adalah orang yang punya tapi, orang yang punya tanah terus mati,” ungkap Tabuni.

Baca Juga:  LME Digugat Ke Pengadilan Tinggi Inggris Karena Memperdagangkan 'Logam Kotor' Dari Grasberg

Seorang tokoh Pemuda Papua yang ditemui suara papua mengutarakan hal yang sama. Pasalnya, dalam pengamatannya di Kota Jayapura setiap hari ada orang meninggal. Yang disayangkan, kata dia, semua pihak melihat kondisi tersebut namun tidak ada tindakan cepat yang diambil untuk mencegah kematian di tanah Papua.

“Patokannya bukan hanya dilihat dari seberapa banyak mobil ambulans yang bawa jenazah tetapi juga harus dilihat dari orang yang meninggal karena sakit, Miras, kecelakaan lalu lintas yang tidak diduga,” ungkap tokoh pemuda yang enggan disebut namanya ini.

Menurutnya, angka kematian yang tinggi ini bisa dicegah. Yang pertama, kata dia, adalah setiap orang harus sadar bahwa dirinya berguna untuk dirinya sendiri, keluarga dan banyak orang. Karena dengan kesadaran tersebut, seseorang bisa hindari hal-hal yang menyebabkan kematian.

“Selain kesadaran, pemerintah tidak boleh bosan untuk sosialisasi tentang kesadaran diri dan sosialiasi hal-hal yang dapat menyebabkan kematian,” katanya.

Data dinas kesehatan provinsi Papua, jumlah angka kematian ibu yang meninggal pada tahun 2016 yang dilaporkan dinas kesehatan provinsi papua sebanyak 132, kematian laki-laki dan perempuan yang mati saat pengobatan per 100.000 penduduk sebanyak 21 orang.

Pada tahun 2016, Dinas Kesehatan Provinsi Papua juga melaporkan, jumlah kasus HIV/AIDS per 30 Juni 2016 adalah sebanyak 25.349. Dari jumlah tersebut yang meninggal sebanyak 1.836 orang.

 Juni 2016, Lukas Enembe, gubernur Papua mengungkapkan bahwa 22 persen orang Papua banyak yang mati dengan jumlah terbesar karena mengomsumsi minuman keras (miras).

Baca Juga:  Pilot Philip Mehrtens Akan Dibebaskan TPNPB Setelah Disandera Setahun

“Kita sudah bilang orang Papua harganya mahal, tapi kita mati karena miras. Jadi sesungguhnya kita bisa mengendalikan miras, tapi kita justru mati karena miras. Itulah sebabnya, kami di pemerintahan sudah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan penjualan miras di Papua,” katanya.

Selain akibat miras, orang Papua banyak mati juga akibat kasus narkoba yang luar biasa terjadi di Provinsi Papua saat ini. “Hal ini juga diikuti banyaknya kasus kematian akibat penyakit HIV-AIDS yang sangat mematikan. Orang Papua akan habis, generasi kita akan habis. Sebab tiga penyakit ini melanda Papua untuk memusnakan orang Papua. Oleh sebab itu saya minta masayarakat, para bupati dan wakil bupati, jaga rakyat kita supaya tak terpengaruh dengan hal-hal tadi,” katanya.

Berdasarkan laporan Amnesty International Indonesia, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua dalam rentang waktu Januari 2010 hingga Februari 2018. Pelaku kekerasan didominasi oleh aparat kepolisian dengan 34 kasus, anggota TNI 23 kasus. Sementara 11 kasus lain dilakukan bersama-sama oleh anggota Polri dan TNI. Sedangkan, satu kasus dilakukan oleh satuan polisi pamong praja.

Laporan Amnesty menggarisbawahi bahwa aparat Polri dan TNI menggunakan kekuatan secara berlebihan, menggunakan senjata api, mengerahkan pasukan yang berlebihan sehingga menyebabkan kematian warga sipil yang totalnya 95 orang. 85 diantaranya orang Papua. Laporan Amnesty ini terjadi selama 2010 – 2018.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaPastor Aloysius Dabi, Imam Ketujuh dari Lembah Balim
Artikel berikutnyaKetua Sinode: Peserta Harus Disiplin dan Berguna Bagi Raker