Hutan Sagu Tidak Bisa Diganti dengan Sawit

1
5643

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Penggiat Sagu Papua, Marshel Suebu menegskan, hutan Sagu tidak bisa diganti dengan sawit. Karena kehadiran sawit banyak menghabisi hutan-hutan sagu Papua dan secara budaya, Sagu tidak berkaitan dengan budaya di Papua.

“Kita tidak menolak sawit semuanya. Tetapi soal penolakan sawit ini bisa dikhususkan untuk sawit yang tidak ramah lingkungan. Dan bisa dicari tempat dan daerah yang tepat supaya tidak mengancam hutan sagu,” katanya kepada suarapapua.com di Sentani, tidak lama ini.

Untuk di Sentani, kata dia, pihaknya sudah mendapat 40 hektar lahan sagu dari masyarakat. Sekarang persoalnnya adalah masyarakat menjual lahan sagu ini kapan saja karena masyarakat adat berkuas atas lahan mereka sendiri.

“Yang harus dilakukan saat ini adalah dekati masyarakat dan diskusi dengan mereka terkait manfaat sagu supaya mereka tidak alihfungsikan sagu. Untuk 40 ha lahan sagu, kami bersama masyarakat akan menjaganya,” kata Suebu.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Menurutnya, di papua masih mengakui masyarakat ada sebagai pemilik lahan dan tanah adat.

ads

“Untuk itu meskipun pemerintah bikin regulasi, tetap masyarakat berkuasa karena mereka yang punya lahan. Kebutuhan saat ini adalah dekati masyarakat untuk lestarikan hutan sagu,” ujarnya.

Asisten II provinsi Papua, Noak Kapisa kepada suarapapua.com mengatakan, pemerintah sadar akan pengalihfungsian lahan sagu potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ia mencotohkan, di Sentani ada lahan sagu yang dialihfungsikan. Meskipun ada perda pelarangan penebangan sagu, tetapi terkendala karena masyarakat mengatakan lahan sagu tersebut masuk dalam wilayah adat.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Untuk di Papua, kalau sagu dianggap sebagai hutan esensial makan harus masuk dalam tata ruang, sehingga itu masuk dalam kawasan esensial yang bisa dilindungi.

“Bukan sagu saja, tetapi habitat esensial seperti cenderawasih juga harus kita lindungi. Maka untuk hal-hal seperti ini Papua dan Papua Barat harus satu suara,” katanya.

Tantangan lainnya, kata Krey, adalah masih perlu banyak pendekatan sosialisasi kepada masyarakat adat lewat media, lewat tokoh adat, gereja dan semua media yang bisa digunakan untuk sosialisasi sagu maupun habitat lain yang sangat esensial di Papua.

“Data 5 juta hektar sagu di Papua harus diferivikasi. Karena sebenarnya luas hutan sagu di Papua lebih dari itu. Misalnya di Papua Bagian selatan seperti Mapi, Asmat, Boven dan lainnya ini punya lahan sagu yang amat luas,” katanya di Manokwari saat menghadiri ICBE 2018.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Mathius Awoitau, bupati kabupaten Jayapua, terkait pelestarian sagu di Sentani mengatakan, sebelum dirinya menjadi bupati penebangan dan pengalihfungsian lahan sagu sudah terjadi.

“Sehingga kami berupaya untuk bicara ke masyarakat supaya tidak tebang sagu,” katanya.

Kata Awoitauw, terkait sagu, pemerintah provinsi sudah tetapkan dalam RPJMD oleh gubernur sekaligus menetapkan Kab. Jayapura dan Asmat sebagai pilot project untuk pelestarian sagu.

“Pada prinsipnya dengan misi pelestarian lingkungan dan perlindungan hutan (sagu) bisa diturunkan menjadi peraturan bupati atau peraturan kampung lebih khusus tentang sagu. Sehingga setiap tahun bisa anggarkan dana kampung dibudidayakan sagu itu sendiri,” jelasnya.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaJokowi, Iriana, Mandacan dan Adolina Dijadikan Nama Anggrek dan Pinang
Artikel berikutnyaPerdasus Provinsi Berkelanjutan, Landasan Pembangunan Papua Barat