Gaya Hidup Modern Versus Gaya Hidup Sederhana

0
5307

Judul               : Teologi Jalan Tengah
Penulis            : T. Tri Harmaji
Penerbit          : Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia
ISBN                : 978-602-17883-4-9
Terbit              : 2014, Cetakan Pertama
Tebal               : 312 halaman + vii
Ukuran            : 150 x 210 mm
Peresensi        : Mikael Tekege
)*

“Hidup yang kami idealkan bukan hidup miskin, namun hidup bersahaja, ugahari, alias sederhana” (Fr. Roger Schutz)

Ketika hidup manusia berorientasi pada barang-barang produk kapitalis dan ketika semua energi dan kemampuan yang dimiliki seseorang dikorbankan untuk mencari dan terus mencari uang demi mengonsumsi barang-barang produk kapitalis, di saat itu pula nilai-nilai keadilan, kepedulian, dan kemanusiaan ditinggalkan, bahkan dilupakan. Sikap hedonisme, konsumerisme dan egoisme menjadi pengganti atas nilai-nilai ini.

Dalam konteks seperti ini, berbagai fakta historis menunjukkan bahwa perlawanan (revolusi) merupakan jalan yang diperjuangkan demi merubah konteks tersebut. Konsep pemikiran yang ditawarkan oleh berbagai tokoh sosialisme-komunisme sebagai anti tesis dari tesis kapitalisme pernah dipraktikkan di berbagai negara, tetapi persoalan kesenjangan tetap menjadi masalah serius yang hingga kini belum usai.

Bahkan dari perspektif teologi sekalipun menawarkan perlawanan berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam Alkitab yang bersumber dari ajaran Yesus. Perspektif teologi tersebut adalah Teologi Kemakmuran dan Teologi Pembebasan. Kedua teologi ini mempertentangkan antara miskin dan kaya (ditindas dengan penindas), dan berhasil secara politik, tetapi masalah kesenjangan tidak pernah diatasi.

ads

Berangkat dari konteks tersebut, ada sebuah konsep teologi baru yang dinamakan Teologi Jalan Tengah. Teologi ini bukan mematahkan teologi-teologi sebelumnya (Teologi Kemakmuran dan Teologi Pembebasan), tetapi sebagai tesis yang merupakan jalan tengah dalam konteks hidup modern yang mendewakan uang dan barang-barang produk kapitalisme. Teologi ini mempertentangkan antara kesederhanaan dan kemewahan. Perlawanannya lebih pada bagaimana mengubah sikap dan gaya hidup manusia berdasarkan nilai-nilai hidup sederhana yang pernah dihidupi oleh Yesus.

Cikal Bakal Teologi Jalan Tengah

Konsep pemikiran ini berawal dari pergumulan dan refleksi penulis atas konteks sosial zaman modern yang hampir kebanyakan orang telah terbawa arus dalam gaya hidup modern. Yang dimaksud dengan gaya hidup modern adalah gaya hidup yang dibentuk di atas kepemilikan barang-barang simbolik produk kapitalisme. Barang-barang simbolik adalah barang-barang yang menyimbolkan kesuksesan, kekayaan dan kemajuan dari individu-individu yang menggunakannya. Barang-barang itu berupa kendaraan, pakaian bermerk, handphone terbaru, tas premium atau berbagai jasa seperti perawatan tubuh dan paket-paket wisata yang harganya selangit, (Hal. 14).

Ketika orang mulai membangun gaya hidup berdasar pada barang-barang semacam itu, maka ia pun tidak akan pernah bisa hidup lepas dari barang-barang tersebut. Dan ia pun akan dengan mudah jatuh dan terjebak ke dalam pola hidup hedonisme, konsumerisme, dan egoisme.

Ketika manusia menjadi hedonis, konsumeris dan egois atau manusia menjadikan gaya hidup modern sebagai tujuan hidupnya, maka seluruh kemampuan, usaha dan hidupnya dikorbankan untuk memiliki atau mengonsumsi barang-barang modern tersebut. Tidak peduli yang menderita dan yang miskin hingga yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin. Orang yang baik hati sekalipun berubah sikap menjadi egois yang tidak peduli terhadap penderitaan sesama. Betapapun kemajuan telah membuat dunia ini lebih kaya dan menyenangkan, tetapi persoalan kesenjangan selamanya tidak akan pernah terpecahkan, (Hal. 15).

Gaya hidup (lifestyle) seharusnya menjadi urusan pribadi setiap orang. Setiap orang berhak memilih gaya hidup yang disukainya. Sekalipun benar merupakan hak individu yang tidak bisa diganggu gugat, tetapi gaya hidup selalu punya pengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan. Suatu gaya hidup yang baik tentu akan menghasilkan masyarakat yang baik pula, begitupun sebaliknya, suatu gaya hidup yang tidak baik tentu akan menghasilkan sebuah masyarakat yang tidak kita inginkan.

Saat ini gaya hidup modern memang telah menjadi tujuan akhir dari kerja keras manusia. Gengsi, harga diri, dan semua identitas sosial lainnya selalu akan diukur, direpresentasikan dan dibalut dalam berbagai kriteria, nilai dan barang-barang dari gaya hidup ini. Maka tidak heran jika semua kemampuan, usaha dan kerja keras manusia diarahkan untuk memiliki uang dan mengonsumsi barang-barang gaya hidup ini. Prostitusi, perampokan dan bahkan korupsi semuanya dilakukan demi mendapatkan banyak uang secara mudah dan cepat yang akhirnya akan mengalir kepada barang-barang gaya hidup modern yang telah membuat mereka sedemikian haus dan ketagihan tersebut, (Hal. 19).

Hasrat untuk selalu memamerkan kekayaan yang dimilikinya, tampaknya memang telah begitu mendarah daging dalam diri manusia. Semua orang ingin terlihat kaya dan memamerkan kekayaan mereka. Gaya hidup modern yang tengah kita gandrungi itu, sebenarnya bukan lagi terbatas sebagai sebuah kebetulan, tetapi sebenarnya telah menjadi sebuah industri yang digerakkan dengan tujuan-tujuan spesifik. Kapitalisme menggerakkan gaya hidup ini sebagai tambang uang mereka.

Dalam industri gaya hidup modern, difrensiasi adalah sebuah ide sakral yang terus-menerus dipuja seperti dewa. Berbeda memang harus berarti lebih keren, lebih mewah, lebih sehat, lebih… lebih dan lebih…. Dan akhirnya dalam pengejaran untuk menjadi lebih inilah kemudian egoisme dan ketidakpedulian terhadap sesama menjadi tumbuh semakin subur dalam diri banyak individu dalam masyarakat kita saat ini.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Gaya Hidup Yesus Dalam Kitab-Kitab Injil

Dalam penulisan Injil maupun dalam khobah di gereja serta di tempat-tempat terbuka, masalah gaya hidup Yesus dianggap tidak begitu penting. Dibahas dan dibicarakan hanya seputar ajaran dan mujizat-Nya. Mungkin mereka lupa atau mungkin sengaja tidak dibahas karena dianggap tidak penting. Padahal, gaya hidup-Nya itu yang justru memiliki pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup manusia. Yesus hadir di tengah kondisi umat yang begitu menderita dan ditindas oleh kekuasaan Romawi dan mewartakan firman Tuhan tentang Kerajaan Allah, keselamatan dan penebusan dosa.

Gaya hidup Yesus dalam hubungannya dengan gaya hidup modern, ada dua pernyataan Yesus yang sangat penting untuk diperhatikan. Pada bagian ini, Harmaji menguraikan dua pokok pembahasan, yakni: 1). Sebagai anak manusia yang tidak mempunyai tempat tinggal (Mat. 8:20); dan 2). Pernyataan-Nya tentang makanan yang secukupnya dalam Doa Bapa Kami (Mat. 6:11).

Kedua pernyataan ini jelas menunjukkan suatu keadaan sederhana. Tetapi perdebatan mengenai apakah Yesus hidup dalam kemiskinan atau kemewahan, sebenarnya telah lama terjadi di kalangan penganut Teologi Pembebasan di satu sisi dan penganut Teologi Kemakmuran di sisi lain.

Penganut Teologi Pembebasan dengan tegas mengatakan bahwa Yesus historis adalah seorang manusia miskin. Berseberangan dengan itu, para penganut Teologi Kemakmuran dengan penuh keyakinan berkata bahwa Yesus adalah seorang manusia yang kaya raya. Kedua pandangan ini, menurut Harmaji, mengandung kebenaran juga sekaligus kesalahan.

Gaya hidup bukanlah persoalan mengenai apa yang dimiliki oleh seseorang, tetapi bagaimana seseorang menggunakan apa yang ia miliki itu. Jadi, kalau kita berbicara mengenai gaya hidup Yesus, maka kita bukan berbicara mengenai apa yang dimiliki oleh Yesus sebagai seorang guru terkenal, tetapi bagaimana Yesus menjalani hidupnya di tengah keterkenalan dan kesuksesan-Nya itu, yaitu bagaimana Ia menggunakan keuntungan sosial dan ekonomi dari pekerjaan-Nya yang sangat berhasil itu.

Sambil mewartakan firman Tuhan dan membuat mujizat, Yesus memilih untuk menjalani hidup-Nya yang disebut sebagai Gaya Hidup Sederhana. Seperti yang diketahui, Yesus menjalani hidup-Nya sebagai seorang guru Yahudi. Yesus sangat terkenal dan berhasil meraih banyak pengikut dan pendengar. Bahkan seorang raja, seperti Herodes sangat ingin bertemu dengan Dia.

Dari gambaran semacam itu, tentu saja tidak dapat disangkal kalau Yesus sebenarnya bisa saja hidup dengan kemewahan jika Ia mau. Ia bisa saja kaya raya karena pelayanan-Nya yang sungguh berhasil itu. Namun, kenyataannya, Yesus memang tidak melakukan itu dan memilih gaya hidup sederhana.

Nilai-nilai yang Menjadi Sumber Dari Gaya Hidup Yesus

  1. Memiliki Secara Tak Berlebihan: “Orang Kaya yang Bodoh” (Luk. 12:13-21)

Harmaji berpandangan bahwa dalam perumpamaan mengenai orang kaya yang bodoh, Yesus bersikap pada dua macam manusia berikut ini: (1) mereka yang merasa bahwa seakan-akan hidup mereka tidak akan pernah berakhir, karena itu, mereka terus saja berusaha untuk menumpuk sebanyak-banyaknya kekayaan; dan (2) mereka yang tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada kebangkitan, di mana mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang telah mereka lakukan.

Bila di satu sisi, orang-orang dengan pandangan seperti ini akan menjalani hidup mereka dengan penuh semangat, maka di sisi lain mereka juga akan menjalani hidup mereka dengan ketidakpedulian terhadap orang lain. Apakah yang mereka lakukan itu menyakiti atau membuat orang lain menderita, tidak menjadi soal. Bagi mereka, yang penting adalah kerja keras, mengumpulkan sebanyak mungkin kekayaan dan kemudian secara egoistis menikmatinya.

Kata bodoh dalam perumpamaan ini bukanlah bodoh dalam arti terbelakang secara intelektual. Kebodohan yang dimaksud Yesus adalah suatu kebodohan yang diakibatkan oleh pandangan mereka yang salah tentang realitas kehidupan. Kalaupun secara intelektual mereka kurang, tetapi secara emosional dan spiritual biasanya mereka cukup “superior” bila dibandingkan dengan orang-orang lain ketika harus menghadapi persoalan berbagai persoalan moralitas atau persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya. Sebagai para pengejar kekayaan, mereka selalu bisa memenangkan uang dan mengalahkan moralitas atau kemanusiaan.

Yang dianggap bodoh oleh Yesus adalah “ketololan” yang membuat orang berpikir bahwa hidupnya tidak akan pernah berakhir, atau kalau dia masih percaya pada kematian, mereka tidak percaya bahwa setelah kematiannya itu dia akan diadili untuk semua yang pernah dia lakukan.

  1. Mengonsumsi Secukupnya “Doa Bapa Kami” (Mat. 6:11)

Doa ini adalah sebuah sikap yang pada kenyataannya Yesus ambil di tengah-tengah dunia yang begitu mengagung-agungkan kekayaan duniawi. Dengan meminta makanan yang secukupnya, Yesus ingin mengingatkan kepada orang-orang yang tidak pernah puas dengan kekayaan yang mereka dapat, bahwa sesungguhnya mereka telah mendapatkan lebih banyak hal yang jauh lebih banyak dari apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Oleh karena itu, sudah seharusnya juga bila mereka bersyukur dan kemudian berbagi dengan sesama yang berkekurangan.

  1. Solidaritas dengan Orang-orang Miskin “Semua yang Dilakukan untuk Orang-orang Hina Ini, Dilakukan Juga Untuk-Ku” (Mat. 25:31-45)
Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Yesus selalu peduli dengan mereka yang menderita, mereka yang termarjinalkan dari masyarakat dan mereka yang miskin. Yesus benar-benar tahu bagaimana sulit dan menderitanya orang-orang ini. Dan itulah sebabnya, dalam pelayanan-Nya yang singkat itu, dengan sangat jelas Dia mempertontonkan rasa kasih dan solidaritas-Nya yang dalam terhadap orang-orang ini.

Solidaritas adalah jalan dan sikap yang Yesus ambil untuk menunjukkan kasih dan kepedulian-Nya terhadap orang-orang miskin. Yesus selalu mendorong orang-orang kaya untuk membantu mereka yang miskin. Karena kasihnya kepada orang-orang ini, bahkan sering kali Ia juga memberikan perintah yang terasa begitu ekstrim dan realistis bagi banyak orang. “Apabila engkau melihat seorang telanjang sementara engkau memiliki dua jubah, maka berikanlah satu jubahmu itu kepada dia”.

Inilah bentuk solidaritas ala Yesus. Dan karena solidaritas-Nya ini, Ia pun memilih untuk tidak hidup bermewah-mewah selama di sekitarnya masih banyak orang yang menderita kelaparan. Ia menolak untuk menjadi kaya (konsumtif) di tengah-tengah kemiskinan.

  1. Spiritualitas Orang Biasa: “Menjadi yang Terkecil” (Mat. 20:20-28)

Hasrat dari kebanyakan orang adalah untuk menjadi besar dan terkemuka. Dengan adanya hasrat ini, sudah pasti bila semua orang sangat menghindari untuk menjadi biasa-biasa saja. Menjadi orang biasa dianggap sebagai sebuah kegagalan. Semua orang ingin masuk dalam golongan ini, dan tentu saja keinginan seperti ini merupakan suatu keinginan yang wajar-wajar saja. Walaupun benar ada banyak tokoh yang sangat rendah hati, tetapi tahukah kita kalau posisi sebagai orang besar akan sangat menyulitkan bagi pengembangan kualitas moral dan spritualitas yang dikehendaki Yesus?

Menjadi rendah hati berarti melepaskan semua atribut sosial dan melihat manusia dalam keasliannya sebagai ciptaan. Perlombaan dan pertempuran sosial telah membuat manusia mengenakan berbagai atribut yang akhirnya membuat mereka tampak sebagai pribadi yang jauh berbeda dengan karakter asli mereka sebagai ciptaan. Berbagai atribut inilah yang dalam dunia sosial kemudian menjadi pembeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Atribut itu bisa berupa gelar, jabatan, kekayaan, prestasi, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain.

Dalam balutan berbagai atribut seperti itulah manusia kemudian menjadi mudah sekali jatuh ke dalam berbagai cacat moral dan spiritual. Mereka menjadi sombong, congkak, tinggi hati, sok tahu, sewenang-wenang, dan sebagainya. Itulah bahaya dari kebesaran duniawi. Tetapi ketika orang dengan sukarela menjadi orang biasa, maka dia pun lebih aman dari bahaya ini. Secara sukarela juga orang akan melepaskan semua atribut yang dipakainya, maka dia akan melihat dirinya sendiri dalam keasliannya sebagai seorang manusia. Dan dia pun akan memandang manusia lain dalam keasliannya juga.

Dan ketika seseorang dapat memandang, baik dirinya maupun orang lain dalam keasliannya sebagai manusia, maka dia tidak akan lagi membeda-bedakan orang berdasarkan atribut-atribut sosial yang melekat pada diri mereka. Inilah yang dimaksud sebagai kerendahan hati, yaitu sebuah karakter yang Yesus ingin murid-murid-Nya capai melalui menjadi orang-orang biasa.

Menjadi orang biasa berarti juga bertahan untuk melihat dunia ini bukan dari perspektif inderawi, tetapi dari perspektif hati. Orang biasa yang bisa mensyukuri keberadaannya sebagai orang biasa, akan selalu melihat orang dengan hati mereka.

Karena itulah Yesus meminta murid-murid-Nya untuk berbahagia dengan menjadi orang-orang biasa. “Anak manusia bukan datang untuk dilayani, tetapi untuk melayani”.

  1. Konsistensi dengan Misinya di Dunia Ini: “Memberitakan Kerajaan Allah” (Mrk. 1:15)

Yesus datang ke dunia untuk sebuah misi tertentu: memberitakan datangnya Kerajaan Allah (menyelamatkan manusia dari dosa). Ini adalah satu-satunya misi yang diemban-Nya di dunia ini. Ia memberikan hidup-Nya 100% untuk misi ini. Dalam Kitab-kitab Injil, kita mendapatkan kesan bagaimana Ia hampir tidak pernah istirahat, berlibur atau menolak orang-orang yang ingin datang kepada-Nya.

Ia memberitakan misi-Nya bukan dengan cara mengajarkan sistem ekonomi atau sistem politik untuk mengatasi berbagai ketidakadilan dan kesenjangan yang dialami manusia, tetapi mengajarkan sebuah gaya hidup; sebuah cara dan seni bagaimana menjalani hidup yang tidak saja membahagiakan diri sendiri, tetapi juga membahagiakan bagi orang lain.

Gaya hidup sederhana yang diajarkan Yesus kepada kita akan membuat kita bukan saja hidup secara sederhana dan terbatas, tetapi juga akan mengajar kita untuk lebih mudah dalam hal bersyukur dan memberi. Rasa syukur untuk apapun yang kita punya, jelas akan membangkitkan kebahagiaan.

Sementara tindakan memberi yang murni, entah sekecil apapun itu, sudah pasti selain akan membuat kita sendiri bahagia, juga akan membuat orang lain bersyukur dan bahagia seperti kita. Dan kalau itu yang terjadi, maka sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah pun secara otomatis akan benar-benar dinyatakan.

Kisah-Kisah Seputar Gaya Hidup Sederhana, Sikap Bersyukur dan Tindakan Memberi

Memberi, dalam kehidupan sehari-hari kita, tampaknya sudah menjadi tindakan biasa yang sering kali kehilangan makna. Tindakan memberi seringkali dilandasi oleh berbagai motif yang justru tidak semulia dan sejalan dengan tindakan itu sendiri.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dalam dunia politik misalnya, tindakan memberi seringkali tidak bisa lagi dikaitkan dengan nilai-nilai ketulusan dan kasih karena tindakan itu biasanya selalu dilandasi oleh berbagai kepentingan untuk mendapatkan imbal balik berupa dukungan politik dan suara dalam Pemilu.

Bukan hanya dalam dunia politik, dalam kehidupan sehari-hari pun tindakan memberi yang tidak murni seperti ini juga bermunculan. Memberi selalu dilandasi oleh motivasi untuk mendapatkan simpati atau nama baik, yang kesemuanya itu pada akhirnya berujung pada keuntungan diri sendiri.

Dalam perspektif ajaran dan gaya hidup sederhana Yesus, tindakan-tindakan memberi seperti itu merupakan tindakan-tindakan memberi yang salah, hampa akan makna, dan bahkan menyesatkan. Dalam ajaran Yesus, memberi adalah sebuah tindakan pengorbanan yang murni dan tidak terbatas. Artinya, tindakan itu harus dilakukan tanpa pamrih sekecil apapun.

  1. Memberi sebagai Tindakan Cinta dan Pengorbanan

Pemberian yang murni adalah pemberian tanpa imbalan yang tidak bermotif kepentingan diri sendiri, pemberian yang tidak egois. Pemberian yang murni itu sebenarnya adalah suatu tindakan memberi yang mengalir dari kemurahan hati tanpa bisa dipengaruhi oleh keadaan eksternal, (Hal. 211).

Orang yang tidak pernah merasa cukup, selamanya tidak akan bisa memberi dengan murni. Akan selalu ada seribu satu alasan untuk tidak memberi. Dalam tradisi Kristen (Katolik dan Protestan) kini, tindakan memberi tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Yesus sebagai panutan mereka. Kemurahan hati kini dibarengi dengan keinginan mendapatkan balasan dalam bentuk apapun, entah dari Tuhan maupun dari sesama yang diberi. Tindakan memberi semacam ini adalah palsu dan tak memiliki nilai di hadapan Tuhan.

Oleh karena itu, kita mesti belajar memberi sebagai sikap, menjadi sumber kebahagiaan, dan sebaliknya bukan menjadi sebuah cara untuk mendapatkan imbalan.

  1. Memberi Dalam Kelebihan

Memberi dalam kelebihan tentu terasa sulit dilakukan karena keinginan untuk selalu up to date gaya hidup modern yang mahal; kebanyakan orang kaya sengaja mengejar harta kekayaan sebagai identitas pembeda untuk menjauhkan diri dari orang-orang miskin.

Kemiskinan saat ini akan selalu bersama dan mewarnai dinamika kehidupan sosial di seantero dunia. Keberadaan mereka (orang miskin) sebenarnya untuk menyatakan kemuliaan Allah, yaitu untuk menyatakan kasih Allah melalui hamba-hamba-Nya yang saat ini tengah dianugerahi dengan kehidupan berlimpah, (Hal. 217). Memberi semacam ini seperti yang pernah dikatakan oleh Yesus kepada orang kaya untuk menjual kekayaan demi amal orang miskin secara tulus dan ikhlas.

  1. Memberi Dalam Kekurangan

Memberi dalam kekurangan memang sangat sulit dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya diiming-imingi dengan harta kekayaan produk kapitalis. Barang-barang/kekayaan itu merupakan tolok ukur kebahagiaan hidup mereka. Tetapi berbeda dengan mereka yang memberi dalam kekurangan. Merasa bahagia karena memberi, itulah kebahagiaan mereka yang melakukan tindakan memberi dalam kekurangan.

  1. Gaya Hidup Sederhana Sebagai Sebuah Perlawanan

Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa bumi ini bisa menghidupi semua manusia yang hidup di atasnya, tetapi dia tidak bisa menghidupi bahkan satu manusia saja yang serakah dan tidak pernah puas, (Hal. 245). Perkataan semacam ini menggambarkan konteks hidup manusia dewasa ini yang selalu berlomba dengan melibatkan segala kekuatan dan kemampuan yang dimiliki untuk meraih kekayaan tanpa rasa puas sedikitpun. Situasi semacam ini hanya dapat dilawan dengan gaya hidup sederhana.

Jalan Tengah-Teologi Jalan Tengah

Bila Teologi Pembebasan dan Teologi Kemakmuran ini lebih fokus pada persoalan produksi, yaitu bagaimana memperoleh kekayaan materi, maka Teologi Jalan Tengah lebih berfokus pada persoalan konsumsi, yaitu persoalan bagaimana menggunakan kekayaan yang diperolehnya. Karena produksi didasarkan pada kemampuan manusia yang berbeda-beda, pasti akan menimbulkan kesenjangan, maka konsumsi yang didasarkan pada kebutuhan sudah pasti akan lebih efektif dalam menghapus kesenjangan karena pada dasarnya semua manusia memang memiliki kebutuhan yang sama.

Orang boleh menghasilkan banyak yang dia bisa, karena itu merupakan pengembangan dan pemanfaatan talenta yang Tuhan beri. Tetapi orang harus tetap mengonsumsi berdasarkan kebutuhannya, bukan keinginan (Hal. 282).

Sebagaimana diajarkan Yesus bahwa kesederhanaan merupakan jalan terbaik untuk mempertemukan kemiskinan yang mengerikan dan kekayaan tak terbatas yang egois. Melalui kesederhanaan, orang kaya akan memiliki kemampuan untuk berbagi di satu sisi, sementara orang miskin juga tidak akan semakin menderita oleh inferioritas dan impian-impiannya akan kekayaan di sisi lain, (Hal. 283). Esensinya, Teologi Jalan Tengah merupakan teologi yang berfokus pada gaya hidup Yesus.

Penutup

Gaya hidup sederhana mesti disertai dengan memiliki kemurahan hati yang murni dan kemampuan untuk melakukan tindakan memberi yang tak terbatas. Berkaca dan belajarlah dari mereka pernah mempraktikkan gaya hidup sederhana dan bersahaja, selain Yesus yang telah diambil sebagai teladan atau contoh dalam buku ini, seperti Buffet, Gates, Bai Fang Li, Hong Zhong Hai, Chen Shu-chu, dan Vessantara. Melalui mereka, kita akan paham bagaimana kemurahan hati tak terbatas bisa berdampak positif bagi dunia ini yang ternyata bisa dilakukan oleh setiap manusia.

)* Peresensi adalah salah satu penulis buku “Anomali Negara, Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih” (2015)

Artikel sebelumnya6 Cara Liburan Hemat ke Yogyakarta
Artikel berikutnyaFestival Reggae Papua ke-6 Diharapkan Berjalan Aman