Prinsip FPIC Dalam Pemakaian Tanah di Tanah Papua

0
2431

Oleh: John NR Gobai)*

Pengantar

Kelompok orang yang disebut Suku atau Fam dalam adat yang terlebih dahulu menempati satu daerah atau wilayah disebut Pemilik Hak Datuk atau Ulayat, Hak Penggarap adalah orang yang kemudian datang atau dibawah sebagai tawanan perang oleh orang yang terlebih dahulu menempati sebuah wilayah adat.

Dalam pengalaman hari ini, kelompok masyarakat yang adalah tawanan perang atau datang mencari perlindungan atau datang kepada keluarga tertentu di sebuah wilayah adat merasa dirinya lebih berhak dan menyebut dirinya pemilik hak adat atau hak ulayat disebuah wilayah adat. Ada juga kelompok masyarakat yang adalah turunan perempuan yang ingin menguasai sebuah wilayah adat padahal sesungguhya dia hanya akan memperoleh hak dari pemilik hak yang adalah turunan laki-laki. Dalam pembebasan lahan kadang kala juga kedua kelompok ini yang sering melakukan pelepasan, kadangkala juga tanah seluas ribuan hektar dilepaskan oleh satu atau dua orang tanpa persetujuan bersama.

Pemilik Tanah dan Organisasi Adat

ads
Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pembentukan organisasi adat baik itu LMA, Dewan Adat dan BMA juga telah membawa suasana yang lain, hal itu ditandai dengan kadangkala sebuah lahan dilepaskan oleh organisasi adat ini, dengan surat pelepasan tanah adat, seakan-akan tanah ini adalah milik organisasi adat. Kenyataan inilah yang menjadi tugas kita untuk membetulkan pada yang sesungguhnya, mulai dengan membuat peta wilayah adat atau menetapkan wilayah adat suku; misalnya suku Mee, mulai dari Makataka sampai Kegata. Suku-suku juga harus melakukan itu supaya jelas kekuasaan atas tanah dan SDA dari semua suku yang ada di Papua, agar kita tidak gampang mengklaim wilayahnya suku yang lain. Kami tahu siapa yang lebih berhak atas kompensasi hak atas tanah dan SDA dari pihak pengguna tanah dan pengelola SDA.

Pengguna tanah baik itu pemerintah dan swasta juga seringkali tidak memperhatikan kepemilikan yang sesungguhnya atas sebuah tanah, tetapi lebih menginginkan sesuatu yang cepat, sehingga lebih berurusan dengan pengurus-pengurus organisasi atau elit yang mengatasnamakan masyarakat adat, seakan-akan merekalah yang adalah tuan tanah, padahal bukan mereka tetapi sesungguhnya komunitas yang terdiri dari marga, fam dan keluarga.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Prinsip FPIC

Dalam melakukan musyawarah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent)” dimana keputusan seharusnya dicapai dengan proses-proses yang saling meghormati kepentingan masing-masing pihak tanpa ada intimidasi, ancaman, penyuapan, dan pemaksaan. Tidak boleh ada hasil yang bersifat pura-pura atau tipuan, “Mendahului” setiap negosiasi harus berlangsung sebelum pemerintah, investor dan perusahaan memutuskan apa yang akan mereka laksanakan kegiatan, “Menginformasikan” informasih yang mereka miliki tentang rencana investasi atau proyek kepada masyarakat. Hal ini berarti memberikan waktu untuk membaca dan mempelajari, nilai dan mendiskusikan tentang rencana pihak luar tersebut, “Persetujuan” berarti setiap keputusan atau kesepekatan yang dicapai semestinya dilakukan melalui sebuah proses yang terbuka dan bertahap yang menghormati hukum adat dan otoritas-otoritas masyarakat yang dipilih.

Penutup

Pasal 43 ayat 4 UU No. 21 Tahun 2001; surat izin perolehan dan pemberian hak, diterbitkan sesudah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah dengan masyarakat adat. Dengan perkataan lain, masyarakat dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan tanah termasuk sumber daya alamnya. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dalam skala besar oleh pihak swasta, bentuk-bentuk manfaat yang diberikan dapat berupa: pajak (diberikan pada Pemda), royalty (diberikan kepada masyarakat adat yang terkait), sewa tanah (diberikan kepada masyarakat adat sekitar dan masyarakat yang terkena dampak), kompensasi (bagi masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak), saham (diberikan kepada masyarakat adat dan juga Pemda Propinsi/Kabupaten), Gaji (diberikan kepada masyarakat sekitar), Kontrak bisnis (diberikan bagi masyarakat sekitar) dan donasi Bentuk kompensasi lainnya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Penentuan atas bentuk dan besarnya kompensasi dan masa kontrak (lamanya kontrak) ini harus didiskusikan dalam musyawarah dan harus diputuskan berdasarkan kesepakatan dengan Prinsip FPIC.

)* Penulis, John NR Gobai, Aggota DPR Provinsi Papua.

Artikel sebelumnya15 Anggota JW Noken Ikut Pelatihan Jurnalistik
Artikel berikutnyaRalat: Kontrakan Belum Dibayar, Mahasiswa Yahukimo di Bali Numpang di Kontrakan Lanny Jaya