Resensi dan Rekomendasi Film Karl Marx Muda

0
9412

Oleh: Yason Ngelia)*

The Young Karl Marx adalah  film biografi  tentang filsuf dan Ideolog bernama lengkap Karl Hendrik Marx. Film ini baru saja ditonton dan didiskusikan di Asrama Tunas Harapan – Padang Bulan, pada Minggu sore, 21 Oktober 2018 di Jayapura. Peserta diskusi tidak banyak, hanya berkisar tiga puluhan orang mahasiswa dan Pemuda. Jumlah yang telah melampaui ekspetasi penyelenggara, apalagi Karl Marx bukan tokoh ideologis yang akrab ditelinga mahasiswa dan pemuda Papua sampai sekarang. Hanya beberapa  mahasiswa dan kelompok yang tahu, itupun hanya secara umum mengenai siapa itu Marx.

Namun hal tersebut bukanlah suatu masalah, karena di Papua literasi-literasi ideologis, peredarannya sangatlah terbatas. Dalam hemat saya baru lima tahun terakhir ini, cetakan buku-buku “kiri”  (offline) mulai marak di jayapura setelah hadirnya tokoh kecil milik Lamadi de Lamato dan Istrinya di Perumnasi III Waena, diikuti dengan penjualan secara online mengunakan media sosial (medsos). Saat ini Gramedia sebagai penyuplai buku utama di Papua sudah melihat kebutuhan pasar, bahwa buku “kiri” justru diminati, lebih khusus Jayapura sehingga buku-buku yang sulit ditemukan dahulu telah ada disana. Itupun bukan dengan harga yang murah.

Sehingga diskusi film ini menjadi awal yang baik untuk mendorong kesadaran pemuda-mahasiswa tentang literasi-literasi ideologis. Memaksa kita semua untuk membaca tidak terbatas pada fenomena sosial, sejarah politik, sejarah budaya, bahkan renungan rohani (keagamaan), tetapi mulai melirik aliran-aliran ideologis besar yang mempengaruhi dunia dari dahulu hingga sekarang. Tujuan dari  ‘nonton rame-rame’ (bersama) film The Young Karl Marx, bukan untuk memaksa generasi muda menganut pemikiran ideologis Karl Marx yang dikenal dengan sebutan marxisme, tetapi berusaha memaksa generasi muda hari ini agar punya alternatif bacaan; tidak melulu membaca bacaan formal yang cenderung liberal,  dan yang di format oleh negara saja.

The Young Karl Marx, dengan judul aslinya La Juene Karl Marx adalah sebuah film garapan sutradara Raol Peck yang dikeluarkan pada 2017, dengan berbahasa Jerman dan Perancis. Film ini beredar terbatas di Indonesia dikarenakan subtilte Indonesia yang terlambat,  penyebab lain yaitu fobia marxisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kuat di Indonesia. Sebab telah dimuat dalam ketetapan MPRS XXV Tahun 1966, tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan larangan penyebaran atau mengembangkan Paham atau ajaran Komunisme/marxisme-komunisme. Paling tidak seperti yang kita ketahui selama ini.

ads

Namun kita berharap apapun yang sedang dipropagandakan  dan dikuatirkan di Indonesia tidak penting diikuti oleh Papua. Sebab literasi kita dan intelektualitas kita harus sudah berada ditataran ideologis, kita tidak bisa selalu berputar hanya pada politik nasionalisme atau di politik identitas semata. Generasi muda Papua tidak perlu menjadi “katak dibawah tempurung” tanpa melihat dan menilai suatu gagasan intelektual karena telah dibatasi secara langsung maupun tidak.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Keseluruhan Film ini berkisah bukan hanya tentang pemikiran Karl Marx di Usia muda, tetapi juga mengisahkan Fredrick Engels sahabat Intelektualnya, Jenny Isterinya, Merry Buns aktivis buruh perempuan yang menjadi Istri Frederik Engels, ada juga Arnol Ruge redaktur majalah yang menyuplai tulisan-tulisan kritis mereka, Pierre Josep Proudhon bapak pemikiran ideologis anarkisme (anarco) asal Perancis, Mikhail Bakunin juga seorang anarco, Wilhelm Weitling pemimpin gerakan besar dimassa itu. Film ini mampu menggambarkan peran-peran strategis para tokoh ini sehingga muda dipahami. Lebih lagi, bagi yang telah membaca pemikiran-pemikiran mereka dari berbagai sumber.

Film ini menampilkan karakter Karl Marx yang sangat kritis bukan hanya melalui tulisan-tulisanya di media massa, tetapi juga berani mengambil setiap resiko dari pemikiran-pemikiran yang disebarkan. Sehingga pada awal film ini, harus mengisahkan pembredelan surat kabar dimana Marx bekerja dan harus mendekam dipenjarah untuk beberapa saat. Pesan awal dari peristiwa itu adalah tentang pentingnya penyebarluasan informasi melalui media massa, yang dilakukan tanpa henti oleh Karl Marx dengan tekun menulis, dan mengabaikan kebutuhan keluarganya, Istrinya, anaknya, dan seorang pembantu yang berbulan-bulan tidak dibayar oleh mereka.

Pada sisi lain, kerja keras Karl Marx mengantarkan dia  mengenal Prouhdon, seorang akademisi dan pemikiran anarkis saat itu. Proudhon juga mengakui telah mengenal Karl Marx muda dari tulisan-tulisannya, dan mengenal dia bukan sebagai seorang anarco melainan seorang hegelian yang sangat materialisme. Dengan tulisan pula Karl Marx dan Ferederik Engels saling mengagumi dan akhirnya saling bersahabat seumur hidup mereka. Dari persahabatan itu pula, akan hadir karya sepanjang massa mereka bernama Das Kapital dan telah diterjemakan keberbagai bahasa di dunia sejak itu hingga sekarang. Kuatnya pemikiran Karl Marx dalam setiap tulisannya itu pernah kisahkan Tan Malaka, seorang pemimpin besar Marxis asal Indonesia, bahwa tahun 1920an untuk memasuki Eropa dan Cina dia harus memusnahkan buku-buku Karl Marx entah itu diperbatasan negara maupun ditengelamkan dilautan sebelum kapal bersandar di dermaga.

Sebagai seorang intekletual Karl Marx dan Engels menyadari betapa pentingnya perlawanan rakyat yang sadar dan terorganisir dalam organisasi antar kota dan antar negara-negara di Eropa, sehingga kritik-kritik ideologis mereka tidak ditujuhkan hanya kepada pemerintahan mornaki dan para borjuis pemilik perusahaan, tetapi juga kepada pemikir-pemekir revolusioner lain seperti Proudhon, Bakunin, Para Hegelian Muda, bahkan kepada Wilhemi Weitlling pemimpin gerakan yang menurut Marx tidak memilki gambaran teorititis dalam mempin perjuangan saat itu. Sebagai pemimimpin gerakan yang dipercaya oleh mayoritas kaum pekerja saat itu Wilhem Witlling dinilai  “idiot” pembodohan terhadap rakyat karena orientasi politiknya semu (utopis). Film ini juga menampilkan perdebatan keduanya dikediaman Karl Marx, di Brussel, Belgia.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Karl Marx  dan Engels dibantu oleh kedua isteri mereka, yang berupaya untuk mempengaruhi organisasi perjuangan terbesar saat itu, Liga Keadian. Dengan mengkosolidasikan pemikiran-pemikiran, mempegaruhi para anggota organisasi untuk melihat perjuangan secara tepat. Bagi mereka liga keadilan dengan moto semua manusia adalah setara adalah bentuk kompromi terhadap borjuis dan mornarki sebagai penindas sehingga proletrariat tidak akan pernah mencapai tujuannya. Menurut Karl Marx sejarah umat manusia adalah sejarah pertetangan kelas, yaitu kelas yang menindas dan kelas yang tertindas. Puncaknya didalam kongres Liga keadilan, Engels mengusulkan perombakan Liga keadilan menjadi liga komunis dan perjuangan kaum proletariat dilakukan tidak dengan kompromi tetapi sebuah tindakan revolusi berdarah. Diterima oleh mayoritas anggota organisasi. Dengan motoh baru adalah “kaum buruh sedunia bersatulah”.

Selanjutnya, diakhiri dengan perumusan sebuah manifesto organisasi liga komunis oleh Marx, Engelss, Jenny, dan Marry Buns. Tercetuslah ide tentang kalimat pertama manifesto partai liga komunis “Ada hantu yang berkeliaran di Eropa hantu Komunisme namanya”. Sejak itu gerakan ideologis yang menerapkan pemikiran Karl Marx diberbagai belahan dunia, dikenal dengan istilah marxisme. Marxisme semakin kokoh menjadi ideologi revolusioner kaum tetindas (proletariat), adalah ketika pergerakan Vladimir Ilyinic Ulyanov atau Lenin di Rusia dan berhasil mendirikan sebuah negara Uni Soviet  degan ideologi bernama Marxisme-leninisme.

Sebagai sebuah negara pertama yang menerapkan marxisme secara utuh, Uni Soviet juga menjadi negara pertama yang terus mendorong propaganda dan penyebarluasan marxisme ke berbagai belahan dunia dengan mendirikan Komunisme Internasional (kominter). Sehingga negara-negara selanjutnya yang juga mengadobsi ideologi revolusioner merata diberbagai benua di dunia, Amerika Latin seperti Kuba, Bolivia, Argentina. Benua Asia seperti Cina, Vietnam, juga Indonesia. Bahkan Amerika yang kita kenal sangat liberal, para pejuang buruh menerapkan marxisme sebagai teladan pergerakan mereka. Sedang marxisme juga diadopsi sebagai pemikiran tokoh bukan politisi, seperti ilmuan sekelas Albert Enstain, hingga para seniman yang sering menjadikan wajah Che Guevara sebagai icon dan gaya hidup sehari-hari mereka.

Diskusi dan Rekomendasi

Seperti seruan bahwa nonton bareng ini akan berakhir dengan diskusi, dan saling memboboti setiap pengetahuan peserta yang hadir. Sehingga tiga puluhan mahasiswa dan pemuda yang hadir diharapkan memberikan masukan dan pendapat terkait film The Young Karl Marx ini. Beberapa yang berbicara Diketahui sebagai mahaisswa baru, sedang lainya mengatakan mantan pemimpinan organisasi kepemudaan (OKP) di Jayapura yang tertartik dengan undangan yang dikelurkan, namun belum memahami sendiri Karl Marx sehingga mengharapkan pemikiran seperti ini dapat dikontekstualisasikan, ada beberapa yang memang memang aktivis organisasi perlawanan mahasiswa di Jawa, sehingga telah terbiasa (mungkin) mendiskusikan pemikiran-pemikiran sosialisme termasuk Karl Marx.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pemuda yang mengaku baru tiba dari kampungnya bernama Philemon Keiya misalnya, mengatakan secara pribadi belum banyak membaca buku-buku Karl Marx, tetapi menyambut baik pemikiran-pemikiran seperti ini. Dia mengarisbawahi bahwa peran jurnalisme terhadap perjuangan masyarakat sejak dahulu sangat penting. Dia juga merekomendasikan pentingnya diskusi-diskusi film seperti ini, sehingga pemikiran-pemikiran yang besar dari para tokoh ideologi menjadi konsumsi generasi muda sekarang ini.

Aktivis Perempuan yang hadir Rut Ohoiwutun membenarkan tentang minimnya literasi dan pengenalan akan sosok Karl Marx dan pemikiran-pemikirannya itu di kampus. Padahal disaat bersamaan mahasiwa di luar Papua telah mempelajari bahkan menjadikan marxisme sebagai sebuah identitas intelektual mereka, Rut mengisahkan bahwa pertemuan mahasiswa antroplogi se Indonesia pada tahun 2012 dalam saresahan antropologi di Universitas Padjajaran yang diikuti oleh lebih dari 15 Universitas di Indonesia dengan banyaknya mahasiswa antropologi yang ikut. Sering memperdebatkan marxisme, sedang dirinya sendiri baru mengetahui, bahkan tidak banyak senior dari Papua yang mampu memberikan penjelasan tentang Marxisme ketika dia bertanya.

Aktivis perempuan lainnya Norris Griappon yang hadir saat itu, menjelaskan bahwa film ini sebuah bentuk “bunuh diri kelas” menurutnya itu disebabkan para Tokohnya seperti Karl Marx, Isterinya, maupun Engels bukan berasal dari proletariat itu sendiri melainkan keluarga bangsawan (menengah) untuk melakukan perjuangan bersama kaum tertindas, mereka memiskinkan diri untuk dapat memahami realitas yang diperjuangkan. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa keberhasilan Karl Marx adalah gagasanya tentang alienasi produksi, penjabaran tentang sebuah hasil produksi yang tidak sebanding dengan upah buruh yang murah. Sehingga memicu kesadaran buruh sebagai kelompok tertindas karena sistem ekonomi ini.

Menutup diskusi singkat yang tidak lebih dari tiga pulu menit itu, kordinator pemutaran film Alex Giay mengatakan pemikiran karl marx walaupun ada sejak pertengahan tahun 18an, tetapi masih sangat relevan hingga sekarang. Bahkan negara-negara yang merdeka seperti Indonesia  masih relevan untuk mengadobsi pemikiran Karl Marx. Salah satu karya yang diharapkan dapat didiskusikan oleh peserta pada minggu-minggu selanjutya adalah buku Das Capital. Sehingga Alex mengharapkan peserta yang hadir, atau siapun aktivis senior Papua yang telah membaca maupun memahami Das Kapital dapat meyuplai pemikiran-pemikiran revolusioner dari buku tersebut.

)* Penulis adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR)

Artikel sebelumnyaProvinsi Papua dan Madang Tandatangani LoI Sister City
Artikel berikutnyaPapua Merdeka: Jalan Pemberontakan Rakyat yang Sadar