Pater Nikodemus: Tanah dan Hutan Dieksploitasi, Martabat Masyarakat Tidak Dihargai

0
9911

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Pater Nikodemus Rumbayan, MSC dari Boven Digoel yang selama beberapa tahun terakhir mendampingi masyarakat korban perkebunan kelapa sawit di perbatasan antara kabupaten Boven Digoel dan Merauke yang menjadi wilayah pelayanannya, mengatakan, masyarakat adat Papua, martabat dan kulitnya tidak pernah dihargai saat hutan dan tanah masyarakat adat dieksploitasi dan dieksplorasi oleh investor lingkungan.

Pater Nikodemus menjelaskan, kurang lebih empat sampai lima tahun belakangan dirinya mendampingi masyarakat adat yang ada di Boven Digoel. Katanya, menyesal sekali untuk mendampingi masyarakat yang menjadi korban dari investor sawit yang mengambil hak-hak masyarakat.

“Apa yang masyarakat adat ungkapkan itu menjadi tangisan Gereja juga. Karena indikasi yang jelas dari kehadiran perusahaan-perusahaan ini adalah terciptanya konflik antar marga dan antar etnis,” tuturnya dalam pertemuan antara masyarakat enam suku korban sawit dan perkebunan bersama PGI di Jakarta, Senin (12/11/2018).

Baca Juga:  Penolakan Memori Banding, Gobay: Majelis Hakim PTTUN Manado Tidak Mengerti Konteks Papua

Pater Nikodemus mengatakan, peranan Gereja sangat jelas, tetapi di dalam mempengaruhi kebijakan nasional pemerintah perlu dialog yang serius. Karena yang mengalami dan menjadi korban adalah masyarakat dan mereka adalah warga negara Indonesia.

“Tetapi selama mendampingi mereka saya juga dituduh sebagai OPM. Saya banyak mengalami intimidasi karena bicara dengan mereka masyarakat adat di wilayah pelayanan saya. Saya bukan orang Papua, saya tidak punya tanah di Papua, tetapi saya punya manusia di sana yang diciptakan oleh Allah,” ungkapnya.

ads

Maka, kata Pater Nikodemus, dalam pertemuan tersebut, dia harus terus melakukan dialog lintas agama dan budaya untuk bertemu pada sisi yang paling jelas adalah kehidupan masyarakat adat.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

“Karena mereka punya budaya ini tidak ada di Jakarta. Mereka ini dieksplorasi dan dieksploitasikan dengan berbagai hal yang akhirnya martabat dan kulit mereka tidak dihargai,” tegasnya.

Dalam pertemuan ini, ia menambahkan, sangat penting bicara tentang masa depan tanah Papua.

“Kalau mereka tuntut hak mereka dan tanah mereka dikembalikan, kembalikanlah sesuai dengan hati nurani,” kata Pater Nikodemus.

Sementara itu, Pastor Anselmus Amo, MSC dari SKP Keuskupan Agung Merauke mengatakan, perusahaan-perusahaan yang merampas tanah di Papua yang punya adalah orang-orang yang beragama dan ada di Jakarta.

“Mereka orang beragama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu yang barangkali menyumbang juga untuk kepentingan agama dan kebutuhan lain. Jangan sampai uang-uang itu hasil dari tangisan dari masyarakat adat Papua yang menjadi korban dari perampasan tanah di Papua. Jangan-jangan tangisan mereka ini menghasilkan uang untuk bangun gereja, masjid, panti asuhan dan lainnya,” ungkap Pater Amo.

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

Menurutnya, pendekatan tokoh agama maupun organisasi keagamaan ini juga sangat penting pewartaan dan dalam bentuk apa pun.

“Kadang-kadang kami di lapangan ini stres dan kerja setengah mati, tetapi di sini senyum-senyum saja. Macam tidak ada masalah. Mungkin tujuan juga salah satu untuk bawa mereka (masyarakat enam suku dari Tanah Papua) untuk datang dan berbicara di sini. Bukan kami yang bicara, tapi mereka yang alami, sehingga mereka yang bicara. Kami hanya mendampingi,” jelasnya.

Kiranya, kata dia, peran organisasi saling mendukung dan menopang untuk memperhatikan saudara-saudara kami yang sedang menjadi korban perampasan tanah di Papua.

 Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaSikap GSBI Terhadap Perjuangan Masyarakat Adat Lawan Perampasan Tanah di Papua
Artikel berikutnyaTNI-Polri Didesak Tidak Menakut-nakuti Rakyat Sipil di Papua