Wawancara Ketua PWI Papua Tentang Kebebasan Pers di Papua 

0
26917

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pada bulan Oktober 2018, Suara Papua melakukan wawancara dengan Abdul Munib, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Papua tentang kebebasan pers di Papua.

Wawancara ini dilakukan untuk melihat lebih jauh tentang kebebasan pers di tanah Papua dilihat dari tiga hal. Antara lain, pertama soal kebebasan pers di tahun 2018, kedua tentang pertumbuhan media online yang terus berkembang pesat di tanah Papua dan ketiga tentang akses bagi wartawan asing untuk meliput di Papua pasca presiden Jokowi menyatakan Papua terbuka bagi wartawan asing di tanah Papua pada tanggal 9 Mei 2015 di Kota Jayapura.

Berikut petikan wawancara antara Suara Papua dan Abdul Munib (selanjutnya baca Munib):

Suara Papua       : Menurut PWI bagaimana kebebasan pers selama tahuan 2018 di banding tahun 2017, 2016 dan 2015 ?

Munib                  : Makna kebebasan secara umum,  adalah bebas tapi bertanggung jawab. Demikian halnya dalam makna kebebasan pers,  termasuk di Papua. Demikian juga makna pers, ini memiliki definisi khusus,  dimana dalam kekhususannya membutuhkan beberapa ketentuan syarat seperti adanya badan hukum media, teruji kompetensi wartawan dan terverifikasinya perusahaan media di dewan pers. Disamping substansi utamanya berupa karya jurnalistik dengan kaidah khusus dan etika khusus jurnalistik. Diluar itu semua tidak bisa masuk dalam definisi pers yang dimaksud.

ads

Artinya makna kebebasan pers bertanggung jawab dimulai dari mempersiapkan diri dari dalam sedemikian hingga memenuhi ketentuan diatas tadi. Sedangkan makna kebebasan itu bisa diartikan ancaman terhadap nilai tadi yang datang bisa dari,  kekuasaan,  ketidaktahuan hukum,  pemodal, kelompok masyarakat,  ketidakprofesionalan pers itu sendiri bisa berupa framing maupun kesalahan prosedur jurnalistik. Saya menilai kebebasan pers di Papua memang tidak sama dengan provinsi lain,  itu Karen kondisi umumnya Papua memang berbeda.

Suara Papua       : Untuk akses bagi wartawan asing, setelah Jokowi mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 2015 untuk membuka akses bagi peneliti dan wartawan asing, apakah sudah terlaksana dengan baik?

Munib                  : Saya kira persoalan wartawan asing itu selalu ada dimana-mana,  termasuk Papua. Terlebih khusus kebanyakan materi berita yang mereka cari kebanyakan yang kategori investigasi. Sedangkan dalam metode jenis kategori ini kebanyakan wartawan menanggalkan identitasnya untuk bisa menerima input yang lebih luas. Kalau berita seremonial ya tidak ada wartawan asing liput disini. Kadang-kadang seremonial bidang wisata.

Suara Papua       : Berikan penjelasan menurut hemat PWI. Dalam catatan PWI bagaimana pelaksanaan pers yang bebas di tanah Papua?

Munib                  : Tidak ada bebas yang sebebas-bebasnya. Pers di negeri ini diatur UU 40 tahun 1999. Lembaga turunannya Dewan Pers. Ada ketentuan khusus karya jurnalistik berupa kaidah dan etik. Kalau ini dijaga kita bisa meminimalisasi celah tekanan.

Suara Papua       : Dengan melihat pertumbuhan media yang sangat pesat, terutama media online di Papua, apa yang harus dilakukan masyarakat dengan berbagai informasi yang diproduksi setiap hari di Papua?

Munib                  : Era booming informasi itu terjadi secara global,  di sudut-sudut bumi yang selama ini tak tersentuh. Intensitasnya juga bukan lagi harian,  tapi setiap detik informasi terus terupdate. Limpahan atau curahan informasi itu bisa jadi berkat juga bisa jadi sumber malapetaka. Misalnya maraknya informasi yang berguna maupun HOAX. Tentu masyarakat harus menyiapkan diri agar tak kena dampak buruknya.

Suara Papua       : Berkaitan dengan pertumbuhan media online di tanah Papua. Bagaimana hemat PWI, apakah memberikan dampak dalam keterbukaan informasi di tanah Papua atau seperti apa?

Munib                  : Kalau media online dalam perspektif pers nasional,  itu hanya persoalan modernisasi teknologi media. Dari cetak dan audio visual ke ranah maya yang tanpa batas. Ini soal kecepatan dan konten berita tanpa batas. Lain halnya Medsos. Medsos tidak masuk dalam pers nasional yang diatur UU Pers. Medsos diatur UU ITE. Di medsos tidak terikat kaidah jurnalistik dan etika. Disana setiap delik hukumnya adalah delik umum. Beda dengan Pers Nasional,  yang delik hukumnya adalah delik khusus. Disini kita perlu terus taat aturan yang ada dari sisi perusahaan dan tenaga profesi wartawannya.

Suara Papua       : Dalam catatan dan hemat PWI, sudah berapa banyak kasus yang berkaitan dengan media dan pers di tanah Papua dalam tahun 2018 ?

Munib                  : Kasus hukum yang sampai ke pengadilan baru saya sendiri yang ampai di persidangan. Dan waktu itu menang,  karena berita dinilai memenuhi kaidah jurnalistik dan etika jurnalistik. Inilah pentingnya kita taat kaidah,  kalau ada tekanan hukum kita bisa aman. Kuncinya profesionalisme dijaga. Hindari framing. Kalau kasus-kasus kekerasan banyak dalam tingkatan yang berbeda-beda. Tujuannya untuk menakut-nakuti. Dalam menghadapi masalah seperti ini wartawan harus memiliki kepekaan tingkat tinggi. Karena diatas berita ada nilai yang lebih tinggi ya itu keselamatan.

Suara Papua       : Kembali lagi soal pertumbuhan media. Dampak apa yang muncul dengan hadirnya berbagai media online di tanah Papua?

Munib                  : Media dalam pengertian pers nasional sebenarnya tidak terlalu masalah. Karena medianya jelas,  alamatnya jelas, penulisnya jelas. Jadi ada yang bertanggung jawab. Yang masalah besar itu Medsos. Disamping penulisannya tanpa kaidah dan etika,  penulisnya banyak akun palsu. Di Medsos ini HOAX mendapat tempatnya yang leluasa. Karena pengguna Medsos sudah seratus juta orang lebih. Bagaimana polisi mau tangkap mereka sedangkan jumlahnya banyak. Setiap orang bisa menyebar informasi.

Suara Papua       : Berapa banyak media yang bekerja dengan taat pada UU Pers dan KEJ Papua ?

Munib                  : Dalam soal praktik berdasarkan kaidah dan jurnalistik di Papua tidak banyak. Karena pelakunya kita bisa saling tahu semua baik cetak,  televisi, radio maupun yang online. Masalah ketentuan UU Pers dan Dewan pers,  kita terus adakan uji kompetensi. Yang verifikasi perusahaan medianya itu urusan SPS atau organisasi perusahaannya. Itu masih terus disempurnakan agar setiap masalah pers harus diselesaikan dengan pertama hak jawab,  kedua delik pers. Ini persoalan besar kita.

* Wawancara antara Suara Papua dan ketua PWI Papua ini dilakukan oleh pimpinan redaksi Suara Papua, Arnold Belau.

 

Artikel sebelumnyaMahasiswa Papua di Surabaya Sudah Kembali ke Kota Masing-Masing
Artikel berikutnyaLMND: Hentikan Kekerasan dan Kriminalisasi terhadap Perjuangan Demokratis Rakyat Papua