Dari Kribo Sampai Rebonding

1
6421

Oleh: Andy Tagihuma)*

Rambut kribo di tahun 1970-1980 menjadi sebuah tren bagi masyarakat di Papua, termasuk juga para pemain sepak bola.

Ada sebuah cerita mop di Malang tentang salah satu pemain bola yang seangkatan dengan Mecky Tata, Panus Korwa dan Dominggus Nowenik, sebut saja namanya Mikael. Setiap main bola, Mikael selalu membawa sisir bambu. Sebelum turun lapangan, ia menyisir rambutnya menjadi kribo, saat akan turun lapangan sisir ini diselipkan di kaos kaki. Dalam pertandingan, setelah mengheading bola, dia berhenti dan memperbaiki rambutnya. Tentu saja hal itu (menyisipkan sisir di kaos kaki) tidak mungkin, tetapi dimungkinkan dalam cerita mop.

Kribo menjadi salah satu identitas yang dibangun pada waktu itu, selain kampanye sweet is beautiful yang dilakukan Grup Mambesak untuk menguatkan rasa percaya diri dari berbagai pandangan negatif tentang kulit hitam. Bahkan secara khusus grup musik legendaris Papua, Black Brothers menciptakan lagu tentang rambut kribo, “Dewi Kribo”. Lagu ini bercerita tentang gadis-gadis di pinggiran Danau Sentani yang berambut kribo, hitam manis dan menawan hati dan walaupun senja membawanya berlalu, ada harapan untuk berjumpa dengan sang dewi pada esok hari.

Rambut menjadi sebuah identitas sendiri, menjadi mode. Tak heran ada istilah, rambut adalah mahkota. Berbagai macam mode penataan rambut muncul, ada yang mengikuti tren aktris, aktor, pemain sepak bola, misalnya muncul potongan rambut ala Andy Lau, speed mengikuti potongan rambut Keanu Reeves setelah film Speed tayang di bioskop. Atau muncul potongan rambut “kuncung” milik Ronaldo Luís Nazário de Lima, Mohawk ala Balotelli, atau mengikuti mode rambut artis Lady Gaga, Katy Perrym, Kristen Stewart, atau Lisa Bonet, Meagan Good, Halle Berry, dan Pam Grier.

ads
Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Rambut Rasta mulai tren di Papua di awal tahun 2000. Dalam sebuah diskusi kecil, dari lima orang yang hadir saat itu, hanya satu orang yang mengatakan bahwa ia membuat rambut gimbal mengikuti tradisi di kampungnya di Lembah Balim, empat orang lainnya mengatakan tren rambut gimbal mengikuti mode rambut Bob Marley dari tradisi rasta di Jamaika.

Sebelum tahun 2000, sangat jarang sekali menemukan anak Papua yang berambut gimbal. Hanya satu, dua orang saja yang berambut gimbal. Di Jayapura tahun 1997, Serly cewek Tobati membuat rambutnya gimbal hingga sebahu, mungkin ia mengikuti tradisi suku Tobati.

Pertengahan 2000 muncul Komunitas Rasta Kribo (KORK) yang mengusung konsep rambut kribo dan rasta dengan juga musik reggae. Komunitas ini telah melakukan beberapa kali festival musik reggae. KORK awalnya dimotori oleh alm. Mathen “Dorei” Agapa, Yedi Awom, Teddy Pekey dkk, yang sampai saat ini masih eksis dengan konsep mereka.

Rambut gimbal selain tren juga menjadi sebuah identitas baru. Rossa menyebutnya sebagai identitas perlawanan, layaknya rambut gondrong di masa pemerintahan Soeharto. Tidak mengherankan bila dalam beberapa penangkapan aktivis Papua, rambut gimbal mereka yang ditangkap dipotong oleh aparat, seperti yang pernah dialami oleh Yason Ngelia.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Selain rambut gimbal, di Papua juga muncul tren menyambung rambut dengan rambut yang terbuat dari bahan sintetik dan tren meluruskan rambut. Akronim komputer (Komen Pun Terurai) sering dipakai untuk menyindir mereka yang meluruskan rambut, bahkan dari Serui muncul lagu: “ …. dari belakang lihat rambut lurus seperti mayang terurai, dari depan lihat gadis, pakai makariso,  rambut di rebonding.”

Dan yang paling parah, seorang laki-laki memposting foto seorang perempuan yang dipukulnya di sosmed, dan dengan bangga dia menjelaskan bahwa perempuan itu dipukul karena mengikuti mode menyambung rambut.

Beberapa orang Papua yang melihat potensi mode ini kemudian membuat salon, dan ini memang peluang yang bagus bagi perekonomian.

Di Amerika, masyarakat Afro memiliki salon (pernah muncul sebagai narasi film komedi misalnya Barbershop) yang dikerjakan dengan serius. Berbagai bentuk pola anyaman rambut salon ini bisa kita lihat bertebaran di dunia maya. Bahkan mereka memiliki perusahaan yang khusus menyediakan kosmetik yang sesuai dengan kulit hitam.

Perusahaan kosmetik orang Afro ini jika ada di Papua, tentunya bisa menjawab keluhan orang Papua, tentang tidak adanya kosmetik di Indonesia yang sesuai dengan kulit orang Papua, sehingga dalam iklan-iklan televisi hanya mengagungkan kulit putih. “Mengapa tidak ada kosmetik untuk kulit hitam, dan hanya tentang putih, halus, mulus?” begitulah isi sebuah surat elektonik yang pernah ditulis oleh seorang perempuan Papua.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Ketidakberdayaan menghadapi derasnya perubahan juga muncul dalam kalimat “Cenderawasih bisa apa, atau Mambruk bisa apa?”. Sebuah kenyataan yang seharusnya dilawan, bukan tenggelam kepasrahan.

Mode anyam, sambung rambut, menghias kepala bukan hal yang baru dalam kebudayaan di Papua. Dalam sket gambar di tahun 1700-an dan foto di tahun 1800-1900, dapat menceritakan dunia mode rambut dan aksesori di kepala.

Di Papua pada masa itu bukan hanya rambut kribo, tetapi ada juga yang dianyam, misalnya di Teluk Saireri, di Kamoro, rambut “gimbal halus” di pegunungan tengah, Tobati dan Sentani, rambut sambung di Selatan Papua misalnya di suku Marind, Asmat, atau di pegunungan Tengah Bagian Selatan Papua. Bahkan ada salah satu foto yang menceritakan seorang anak di Sentani sedang dicukur rambutnya dibuat menjadi replika patung di museum di Belanda.

Dari foto dan sket gambar masa lalu, kita belajar bahwa betapa kayanya kreativitas “mengolah” rambut yang saat ini menjadi tren di berbagai kota di Papua, dan untuk itu kekerasan dan penolakan hanya menunjukkan ketidaktahuan kita tentang kehidupan di Papua yang luas ini.

)* Penulis adalah pengelola rubrik Jendela Papua di Suara Papua

Artikel sebelumnyaPasukan Gabungan TNI/Polri Berhasil Evakuasi 12 Masyarakat Sipil
Artikel berikutnyaJelang Natal, Bupati Paniai Minta Masyarakat Hindari Hal Negatif