Ia sudah mengantongi gelar sarjana (S1) Jurusan Administrasi Negara dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cendrawasih (UNCEN). Dengan bekal ijazahnya ini memungkinkan dia untuk bekerja di sektor formal. Tetapi Selvi, 32 tahun, seorang transpuan, memilih untuk mengelola salon miliknya sendiri.
Ia merasa peluangnya kecil bekerjaĀ di sektor formal seperti menjadi PNSĀ karena ekspresinya. āTapi aku yakin saat tes CPNS tidak akan diterima, karena keadaanku seperti ini,ā ujarnya saat ditemuiĀ suarapapua.com pada Selasa, 6 November 2018.Ā Ia merasa lebih baik mengembangkan kemampuan dan bakatnya di salon, merias orang yang akan menikah dan sebagainya.
Memilih hidup sebagai transpuan bukan hal yang mudah. Ia mengalami lika liku selama ini. Ia pernah mendapatkan diskriminasiĀ dengan banyaknya ucapan, cibiran dari orang-orang di sekelilingnya. Ia mengabaikan ucapan-ucapan itu dan menganggapnya sebagai lelucon saja. Beberapa anggota keluarganya pun melakukan diskriminasi. Ia sempat dimarahi karena ia dinilai membuat malu keluarga dengan melanggar norma dan adat budaya.
āBahkan om saya pun memukulku, di luar saya itu pernah dikataiĀ bencong, banci dan lain sebagainya,ā ujarnya.
Tak mau larut dalam cemoohan orang, Selvi memilih mengelola salonnya di Kabupaten Jayapura Kota Sentani, Pasar Lama. Jl Komba, Provinsi Papua. Sebelum memiliki salon sendiri, dia pernah menjadi karyawan di beberapa salon. Saat di tempat kerja ia tak mendapat perlakukan diskriminatif, tetapi begitu keluar dari salon, ia mendapatkan cibiran dan ejekan.āSaya pernah disapa dengan kata-kata yang tidak etis. Walaupun terjadi begitu sayaĀ biarin aja,ā katanya.
Ia menamai salonnya Salon Selvia.Ā Lokasinya tak jauh dari jantung ibu kota Jayapura. Salonnya mudah dikenali, sebuah rumah yang bercat kuning. Rumah berlantai dua di komplek perumahan BTN Jayapura. Di sinilah dia melakukan aktivitasnya dan mencari penghidupan. āYah intinya saya bisa hidup dan bisa membantu keluarga sayaā.
Selama ini dia mengacuhkanĀ ejekan, cibiran, cemoohan dan beragam diskriminasi yang dialami. Namun ia menginginkan hal ini tak disangkutpautkan dengan kedua orang tuanya. Menurutnya kedua orang tuanyaĀ cukup mengerti kondisinya. āMasalah hidup saya,Ā jangan sekali-kali kaitkan dengan orang tua saya, yang tidak tau apa-apa.ā
Ia mengatakan tak menerima jika ada yang mengutak atik kehidupannya dan menyangkutkannya dengan orang tuanya. Jika hal itu terjadi, kata dia, dia akan membalasnya. Selain itu dia juga akan melaporkan kepada pihak berwajib.
Menurutnya, saat ini tak kurang dari 100 orang transpuan di Jayapura sudah bergabung dalam sebuah komunitas. Ia sendiri sebagai ketua komunitasnya. Namun begitu ia mengatakan tak mau kehidupan merekaĀ disampaikan kepada orang tuanya.
Selain Selvi,Ā ada pula Bert, 30 tahun Ā juga menjalani kehidupan yang sama. DiaĀ memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah lantaran berpikir tidak ada tempat untuk dirinya kerja di PNS bahkanĀ swasta untuk dirinya. Saat itu ia pernah melamar bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah toko. Tetapi ia tidak diterima. āSebelum saya keluar saya mendegar ada bisikan mengatakan. Banci tidak pantas untuk kerja,ā katanya kepada suarapapua.comĀ pada Sabtu 26 November 2018.
MelihatĀ kondisi Lesbian Gay Biseksual dan Trangender (LGBT) yangĀ mulai marak di perbicangkan,Ā ia merasa prihatin dan bersyukur. āKalau melihat dengan daerah di luar Papua saya merasa sedih. Karena mereka ciptaan Tuhan juga,ā ujar Bert.
Bert lahir dari kedua orang tua yang sederhana di Pedalaman Provinsi Papua. Sejak kecil dirinya suka bergaul dan bermain sama perempuan, meski pun dia ditentukan sebagai seorang laki-laki. Ia terbiasa bermain hinggaĀ dirinya beranjak dewasa. Ia menjalani hidupnya dengan semangat dan tak mempedulikan omongan orang lain. āYang penting Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk bernafas hidup di dunia ini. Tetap saya jalani,ā ujar transperempuan yang berusia 30 tahun itu
LBGT di Provinsi Papua
Selvi menyebutkan keberadaan transpuan di daerahnya namun tak mengetahui jumlahnya secara detail. Banyak di antara merekaĀ berada di daerah-daerah lain di Provinsi Papua dan Papua Barat. Mereka juga berpindah tempat karena banyaknya tekanan. āSaya akui karena ada tekanan dari masyarakat, pemerintah bahkan dari keamanan,ā ujarnya. Tetapi yang bekerja di salon, ia mendata jumlahnya sekitar 100 orang.
Menurutnya, datanya ini tidak termasuk mereka komunitas LGBT yang mencari hidup dengan caranya sendiri. Meski demikian, ia tetap menjalin komunikasi dengan beberapa temannya di daerah yang masih aktif. Biasanya mereka berkomunikasi dan saling menyemangati. ā Ada yang telpon, dia bilang semangat dan tidak berkurang jumlahnya ada yang ditekan, dicemooh,ā ujarnya.
Dari data Perkumpulan Keluarga Brencana Indonesia (PKBI) Kota Jayapura, komunitas Lesbian Biseksual Gay dan Transgender Ā (LGBT) di Provinsi Papua secara umum mulai nampak sejak tahun 2016 ke atas. Hal tersebut Ketua PKBI Agus Fauzi seperti dilansir dari salah satu media di Papua. Ia enggan menyebutkan angkanya namun terlihat sering berkumpul di sebuah tempat.
Untuk urusan layanan publik, Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura cukup terbuka untuk melayani mereka. Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Jayapura, Syamsudin megatakan, dalam pelayanan mengimbau seluruh stafnya di kantor untuk lebih hormat dan melayani kepadaĀ komunitasĀ LGBT.
āBerikan hak mereka, berikan LGBT ruang dan kami harus menghormati mereka juga,ā kata Syamsuddin di Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura, Distrik Abepura, Jumat, 9 Maret 2018.
Penulis: Ardi Bayage
Liputan ini bagian dari fellowship āKeberagaman Gender dalam Perspektif HAMā (2018) yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Ardhanary Institute