MALANG, SUARAPAPUA.com — Sebanyak 64 orang mahasiswa Papua dibawah koordinasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Malang dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) sempat ditahan oleh Polresta kota Malang, Rabu (19/12/2018) pagi, sekitar pukul 09:30 WIB. Massa aksi yang ditahan dibebaskan baru pada pukul 11:06 WIB.
AMP mengorganisir mahasiswa Papua di Malang dan sekitarnya untuk berdemonstrasi damai hari ini, tepat 57 tahun lalu Trikora dicetuskan di Yogyakarta. Sejarahnya, pada 19 Desember 1961, di Yogyakarta, ada tiga tuntutan rakyat (Trikora) yang dipropagandakan Soekarno.
“Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang. Jam 07: 55 pagi dihadang oleh aparat militer dan Ormas reaksioner di depan titik kumpul Stadion Gajayana. Massa aksi dibubarkan paksa dan brutal dengan alasan surat pemberitahuan tidak sesuai prosedural formal,” kata Yohanes Giyai, kepada suarapapua.com pagi tadi.
Giyai menjelaskan, mereka dihadapkan dengan Ormas reaksioner yang sangat brutal, sehingga menyebabkan beberapa massa aksi mengalami luka-luka.
“Mereka sangat brutal. Akibatnya 16 orang kena pukul, 3 diantaranya luka memar dan 4 orang luka berdarah. Selain itu, mereka juga merampas, mencuri HP 1 unit dan Headset,” lanjut Giyai.
Pukul 08:30 WIB massa aksi ditahan dan dibawa ke Polresta Malang. Di halaman Polresta Malang, masa aksi melakukan orasi-orasi politik.
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas tanah dan bangsa Papua harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan,” kata salah satu orator menarasikan pembukaan UUD 1945 negara Indonesia.
“Negara Indonesia mencap Organisasi Papua Merdeka sebagai gerakan kriminal dan teroris, mengapa begitu? Itu adalah cara negara untuk mengkambinghitamkan gerakan perlawanan rakyat Papua yang menentukan nasib sendiri. Apakah OPM itu teroris? Bukan! OPM adalah organisasi Papua merdeka yang berjuang untuk kemerdekaan Papua, bukan teroris,” kata seorang orator berorasi di halaman depan Polresta Malang.
“Kita tidak punya kesalahan apa-apa. Kita menggunakan hak asasi kita untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Soal kita dibungkam, kita ditahan, hak kita dibatasi polisi dan militer, itu adalah cara negara untuk membunuh suara perlawanan kita,” lanjut orator lainnya.
Massa aksi meneriakkan berkali-kali teriakan Papua merdeka. Dalam pernyataan sikap yang diterima suarapapua.com, AMP dan FRI WP mengutuk Trikora pada 1961 dan menyatakan bahwa rakyat bangsa Papua berhak untuk merdeka dan berdaulat.
“Indonesia dan PBB harus mengakui Trikora 19 Desember 1961 sebagai awal pemusnahan rakyat bangsa Papua,” tulis mereka.
Saat akan dibebaskan, polisi menawarkan angkutan untuk pulang, tetapi hal ini ditolak massa aksi.
“Sangat memalukan, polisi sendiri membungkam suara kami, hak kami menyampaikan pendapat. Polisi sudah memisahkan kami dari rakyat yang hendaknya mendengar pendapat kami,” lanjut koordinator lapangan aksi saat akan pulang.
“Tadi saat kita dipukul, kita tidak melawan balik. Kita mengajarkan mereka demokrasi yang sesungguhnya. Kita membuktikan kepada semua, siapa yang biadab dan siapa yang beradab. Padahal hari ini kami tidak melakukan kesalahan apa pun. Malah kami yang jadi sasaran kekerasan,” lanjutnya.
Setelah waita dan berorasi beberapa saat, massa aksi meninggalkan Polresta kota Malang. Polisi mendesak massa aksi menggunakan mobil yang disediakan, namun mahasiswa tetap menolak dan menggunakan angkutan lain sebagai bentuk penolakan atas sikap polisi yang selama ini konsisten membungkan ruang berpendapat mahasiswa Papua.
Pewarta: Bastian Tebai