Ini Surat Gembala Pimpinan Gereja-Gereja Papua tentang Perang di Nduga

0
14832

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua dengan pernyataan tertulis, menyikapi situasi perang dan pengeboman yang terjadi di Nduga, Papua, pada Minggu (23/12/2018) sore.

Dalam surat gembala yang ditandatangani oleh Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikmbo, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Pendeta Socratez Sofyan Yoman, dan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Papua Pendeta Benny Giay, memohon maaf atas keterlambatan respon, mendesak negara untuk menangani dahulu trauma kemanusiaan pada tahun 1996 lalu sebelum meneruskan pembangunan proyek jalan Trans Papua Wamena-Mbua, dan jalan-jalan lainnya di Tanah Papua.

Berikut adalah pernyataan tertulis Surat Gembala yang dikeluarkan oleh mereka.

FORUM KERJA OIKUMENIS GEREJA-GEREJA PAPUA

SURAT GEMBALA
Menyiasati Kondisi Nduga Terkini

ads

TANGANI DULU TRAUMA KEMANUSIAAN DAMPAK OPERASI JANUARI 1996 SEBELUM TERUSKAN PROYEK JALAN TRANS PAPUA WAMENA – MBUA, DLL.

Pertama, kami mohon maaf kepada warga dan pengerja Gereja kami di Nduga dan di mana saja atas keterlambatan kami menyiasati duka dan penderitaan kamu di situ; kami memang lambat menanggapi Tuhan walaupun Dia, Allah kita itu yang terus menyoroti jalan hidup kita sudah “berteriak dan ingatkan kami dari awal“ kondisi jemaat dan masyarakat di Nduga yang sedang digergaji oleh Jokowi dan kabinetnya yang disemangati oleh nasionalisme yang bercampur aduk dengan rasisme. Kami memohon maaf atas kelalaian kami. Tetapi penderitaan dan duka sedang kamu alami di sana telah membuat kami sendiri di posisi “di zona tidak nyaman” dan gelisah.

Kedua, kami meminta maaf juga bahwa keterlambatan tadi disebabkan juga narasi tentang penderitaan Nduga saat ini (dan Papua selama ini) yang lebih banyak dikuasai oleh “narasi negara yang totaliter dan militeristis yang punya hobi mempromosikan pandangan yang totaliter terhadap separatisme”. Artinya, kekerasan di Nduga hari ini kami melihatnya dalam hubungan dengan (a) Kebijakan dan pandangan destruktif yang telah Papua hadapi dan jalani pada masa lalu, dan (b) nasionalisme Papua yang sedang bersemi berhadapan dengan militer NKRI yang totaliter tadi, yang dicampur aduk dengan rasisme terhadap Papua yang bertumbuh subur di negara ini; (c) seperti yang terungkapkan lewat larangan dalam tekanan massa untuk membubarkan diskusi/pemutaran film di Asrama Mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya (1 Juli 2018) dan sebelumnya di (d) pembungkaman terhadap demokrasi, dll.

Ketiga, melihat “Nduga dalam gambar besar” ini, kami tegaskan bahwa Nduga yang ini, tidak terisolir dari “Tanah Papua yang sedang mendidih” atau dibuat “terus mendidih” oleh para pihak, sehingga kami sampaikan hal-hal berikut pada kesempatan ini.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

1. Operasi militer yang digelar besar-besaran di Ndugama (negeri orang Nduga sejak 3 Desember 2018, atas perintah Presiden Jokowi, Wakil Presiden Yusuf Kala/Ketua DPR RI) ini telah menyebabkan, warga dan pengerja Gereja Nduga sudah kembali, ditenggelamkan dalam suasana duka mengikuti jalan kematian dan pengungsian yang telah pernah dilalui generasi orang Nduga sejak Januari 1996; saat itu (Januari 1996, operasi militer digelar atas perintah Presiden Soeharto bersama anak mantunya Prabowo Subianto; saat OPM menyandera 20 orang Peneliti WWF: berkebangsaan Indonesia, Inggris, Belanda dan Jerman.

2. Operasi Militer terkini kalau operasi militer terkini digelar atas perintah Presiden Jokowi, Wakil Presiden, dan Ketua DPR RI akar persoalannya terletak pada: kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan Proyek Pembangunan Jalan Trans Papua melewati tanah orang Nduga tanpa menyelesaikan trauma masyarakat Nduga (lantaran Operasi Militer tahun 1996 yang kemudian yang dimanfaatkan petinggi Jakarta/naik jabatan). Operasi militer dalam rangka pembebasan para sandera ini meninggalkan trauma penderitaan yang tidak sedikit.

Dalam Operasi ini:
(a). Basis kegiatan OPM berpusat di Mapnduma, tetapi dipindahkan beberapa bulan kemudian bersama-sama para sandera ke tempat lain –yang ikut juga memperlus wilayah operasi kekerasan dan
(b). Petinggi negara militer dibalik operasi ini Prabowo dan mantunya/Presiden Soeharto.
(c). Operasi berlangsung selam 6 bulan pertama tahun 1996 (Januari hingga Juni 1996).
(d). Dalam pembebasan, pemerintah melibatkan pihak Asing (d1) Scotland yeard dan (d2) Palang Merah Internasional.
(e). OPM menolak pimpinan Gereja yang memediasi pembebasan para sandera ini lantaran terlalu berpihak ke TNI seperti: Pendeta Naftali Tabuni, Koordinator Gereja Kingmi di Nduga.
(f). Warga yang korban:
(f1). Yang meninggal: militer 5 orang anggota TNI ditembak OPM menembak Hely yang ditumpangi TNI dan 8 orang OPM.
(f2). Anggota sipil yang terdiri dari: 2 orang sandera, puluhan warga masyarakat sipil dan belasan anak-anak yang tewas yang disebutkan tadi adalah lantaran anak-anak bermain-main dengan granat yang mereka temukan di honai dan pos penjagaan pos TNI Polri.
(f3). Tidak ada laporan banyak warga yang mengungsi.
(g). Selain Pimpinan Gereja memediasi antara OPM dan TNI yang meminta Palang Merah Internasional. Dalam rangka memediasi kedua belah pihak Palang Merah Internasional mendatangi OPM:
• 26 – 27 Maret 1996;
• 17 April 1996,
• 5 Mei dan 8 Mei 1996.
(h). Dalam operasi ini, TNI melanggar etika dengan menggunakan pesawat Air Fast untuk menyerang masyarakat sipil di Nduga.

3. Penderitaan dan operasi militer terkini dalam pemerintahan Jokowi; orang Nduga terus mengalami penembakan, penyisiran dan pengejaran.

Masyarakat kita, yang warga negara Republik ini yang sedang menjadi lahan Operasi Militer hari-hari ini telah mengalami semua yang sudah kami sebutkan di atas. Kekerasan demikian terus berlanjut dalam pemerintahan Jokowi. Simak kejadian dan kekerasan berikut.

Baca Juga:  Perusahaan HTI PT Merauke RJ di Boven Digoel Diduga Melakukan Tindakan Melawan Hukum

(a). Sejak Oktober – Desember 2015, penyakit yang menyerang anak-anak dan orang dewasa menewas 60 anak lebih meninggal dunia.
(b). Antara September – Oktober 2017; penyakit yang serupa merenggut 90 nyawa anak lebih meninggal dunia.
(c). Akhir November 2017, OPM meminta Perusahaan/TNI yang mengerjakan jalan Lintas Wamena Papua dihentikan karena OPM mau kibarkan/rayakan tanggal 1 Desember 2017.
(d). Karena TNI dan Perusahaan tidak menghiraukan surat pihak OPM sebelumnya, pada tanggal 12 Desember 2017, OPM melakukan: penyerangan dan menembak mati 1 anggota TNI dan merampas 1 pucuk senjata yang ditanggapi dengan operasi militer terbatas.
(e). 2 Januari 2018, TNI menganiaya seorang warga Nduga yang berperan sebagai perantaran jual beli senjata amunisi antara TNI dan OPM.
(f). 3 Januari 2018 TNI melakukan 2 kali penganiayaan terhadap warga Nduga/anak-anak sekolah yang pulang libur Natal. Penganiayaan pertama terjadi Pos TNI di Batalyon 756/WMS, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya. Penganiayaan tahap kedua terjadi lapangan Makodim, alasannya pencurian senjata dan amunisi.

4. Kekerasan Negara di Alguru/Keneyam antara bulan Juni dan Juli 2018

(a). Dalam semangatnya untuk tolak pembangunan Juni 2018 OPM menembaki pesawat dan menewaskan sejumlah masyarakat sipil.
(b). Sebagai balasannya, dalam bulan Juli 2018 membom dan menembaki Alguru (dekat Keneyam) tempat yang dianggap basis OPM; akibatnya: Warga mengungsi besar-besaran, sebagian mengungsi ke Wamena Kota, Asmat dan Merauke, sejumlah warga sipil meninggal.

5. Operasi Militer Desember 2018 dan Agenda Negara

(a). Akar soal TNI operasi militer Desember tahun 2018 ini (dalam konteks Papua berhadapan dengan tembok rasisme): tidak lepas dari agenda Jokowi yang memberikan proyek jalan ke Wamena dan Nduga (Lintas Papua) ke pihak TNI.
(a1). Yang TNI tidak menghiraukan November 2017 OPM memperingatkan atau menyurati pimpinan perusahaan dan TNI agar menghentikan kegiatan dalam bulan Desember 2017 dan pihak OPM merayakan kemerdekaan Papua.
(a2). TNI yang pada tanggal 1 Desember 2018 Jemaat Klasis Jigi bergabung menyelenggarakan Ibadah Gerbang Natal dalam seorang menyusup menghadiri ibadah dan mulai ambil gambar warga yang sedang ibadah, masyarakat mendesak dia untuk menghapus foto, tetapi tetap dia menolak dan dia lari ke kem dan OPM mengejarnya karena melanggar kesepakatan atau tidak mengindakan suratnya untuk menghentikan pekerjaan selama bulan Desember, sehingga OPM terlibat baku tembak dengan pihak TNI.
(b). Korban dari insiden terbaru:
• (b1) 19 warga sipil buruh dari pihak perusahaan.
• (b2) dari pihak Papua: 2 orang tembak di Mbua di dalam Jemaat Yulius Tabuni dan Hopni Kogoya ditembak tanggal 4 Desember 2018.
• (b3) 4 orang di Lembah Yal: dua anak sekolah ditemukan tewas; membusuk lantaran pemboman dan 2 warga lainnya yang mati ditembak.
• Dua korban lainnya ditembak di Yigi tanggal 6 Desember, Rabu Nggwijangge dan Keri Gwijangge.
(c). Dalam operasi militer ini, TNI POLRI melepaskan 7 bom di Yigi dari udara dan 5 di Mbua/Lembah Yal sambil penembakan dari udara, setelah itu TNI POLRI melakukan penyisiran dari darat. Menghadapi semua ini masyarakat yang pernah mengalami trauma Operasi Militer sebelumnya (Januari 1996), Juni-Juli 2018 di Alguru) mengungsi ke hutan.

Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

6. Beban psikologis dan mental masyarakat kami dari generasi ke generasi: Kepunahan dan Rekomendasi

Membaca kekerasan ini dalam sejarah yang sudah kami sebutkan tadi, kami melihat:

(a). Kekerasan negara yang terus terjadi terutama dengan proyek Jalan Lintas yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi; yang mengindikasikan kehadiran TNI secara tetap/permanen di tanah orang Nduga untuk menjadikannya sebagai proyek.
(b). Keengganan pemerintah untuk membuka diri menyelesaikan trauma/penderitaan pada masa lalu (Januari 1996) dan
(c). “Pengungsian masyarakat secara besar-besaran dalam sejarah operasi militer yang belum kami teliti hingga dewasa ini (seperti berikut).
• Operasi militer/Mapnduma (Januari – Mei 1996);
• Operasi militer Alguru (Juni Juli 2018).
• Operasi Militer Mbua/Yigi/Mbul Mulyalma/Lembah Dal (Desember 2018)
• Dll, dll.

(d). Semua ini akan menjadi beban sosial/psikologis dan mental yang akan terus mengejar kami dan generasi anak-anak kami ke depan;
(e). Operasi-operasi militer ini juga kami menilai sebagai upaya untuk membunuh/menghabiskan masyarakat secara pelan, lambat, tetapi sistematis yang bisa mengarah kepada pemusnahan etnis.

Oleh karena itu, melalui Surat Gembala ini,

1. Kami meminta TNI POLRI untuk segera hentikan saling tembak agar warga jemaat kami di Nduga agar (a) mereka bisa kembali beribadah di Natal; (b) Tim Kemanusiaan untuk masuk ke Nduga dan mencari informasi terkait (c).

2. Kami, mendesak Presiden Jokowi agar segera menghentikan Proyek Jalan Lintas Papua dan bekerja sama dengan Prabowo Subianto menyelesaikan trauma psikologis masyarakat ini sebelum lanjutkan Proyek Jalan Lintas Papua ini atau Kampanye Pemiihan Presiden.

Tuhan kiranya memberi kekuatan kepada warga masyarakat Nduga dan masyarakat lainnya yang tengah mengalami duka dan kehilangan atau keterpecahan dan keterasingan dalam suasana Natal ini.

Selamat Hari Natal 2018. Semoga Tuhan membimbing kita ke depan mengikuti iramaNya Tuhan.

Jayapura, 16 Desember 2018

Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua

Pdt. Dorman Wandikmbo
Pdt. Socrates Sofyan Yoman
Pdt. Benny Giay

Artikel sebelumnyaAkademisi Uncen Minta Polisi Jangan Tahan Raga Kogoya
Artikel berikutnyaStatus Politik Papua Dalam NKRI Final?