Rencana Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Ibarat Menyuntik Darah HIV/AIDS Dalam Tubuh Manusia Papua

1
13177

Oleh: Marius Goo)*

Sejak Papua diintegrasikan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, Indonesia membuat aneka cara agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI, salah satunya dengan melakukan pemekaran wilayah pemerintahan, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pemekaran Provinsi juga Kabupaten merupakan perpanjangan kekuasaan pemerintah dalam wilayah kekuasaan.

Keputusan para Bupati Meepago pada beberapa hari lalu (6 Maret 2019), dapat dinilai sebagai satu perluasan kekuasaan dari Pemerintah Indonesia atas Papua. Para Bupati adalah alat negara untuk perluasan penguasaan pemerintah atas rakyat Papua, tidak lain adalah perluasan PEPERA yang telah dinilai cacat hukum dan HAM bagi masyarakat Papua.

Tulisan ini hendak menanggapi keputusan para Bupati Meepago pada point 14 tentang “pemekaran Provinsi Papua Tengah” yang dipersiapkan dan disosialisasikan. Apakah keputusan itu tepat? Bukankah keputusan itu semacam “menyuntik darah HIV/AIDS dalam tubuh manusia Papua?”

Berdasarkan pertanyaan ini, hendak menanggapi keputusan para Bupati Meepago pada point 14 sebagai warga masyarakat yang memiliki hak bersuara dan terlebih hak warisan atas Tanah Papua. Semoga tulisan ini menjadi diskusi lanjutan untuk menanggapi pernyataan para Bupati Meepago, sehingga tidak saling mengorbankan satu terhadap yang lain.

ads

Provinsi Papua Tengah

Isu tentang Provinsi Papua Tengah bukan sesuatu yang baru. Isu ini sudah dibangun bertahun-tahun yang silam. Isu itu mendarat di permukaan ketika para Bupati melakukan pertemuan dan secara bersama-sama memutuskan untuk menghadirkan Provinsi Papua Tengah di tengah rakyat Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Rakyat Papua membutuhkan pembangunan dan soal pembangunan itu harapan semua orang. Pembangunan tidak harus melalui “pemekaran”, baik pemekaran Kabupaten maupun Provinsi. Pembangunan dengan menghadirkan Provinsi dapat dipahami dalam dua pandangan yang paradoksal. Satu sisi benar demi pembangunan, pada sisi lainnya demi dan atas nama pembangunan rakyat kecil dengan segala kekayaan akan menjadi korban. Hal ini dikarenakan di mana pemerintah akan bermain dalam ranah sistem dan rakyat menjadi korban sistem dan struktur dalam ketidakberdayaan hukum.

Provinsi Papua Tengah untuk siapa? Pertanyaan ini menstimulasi rakyat sebagai yang berhak dan berulayat, juga Pemerintah yang bermimpi menghadirkan Provinsi ini berpikir lebih jauh dan lebih jernih lagi. Jangan sampai Provinsi untuk membangun rakyat, malah menjadi membunuh, atau memusnahkan rakyat. Jangan sampai bermimpi mendatangkan “Triliunan” bagi rakyat Papua melalui Provinsi, namun semua uang itu untuk membayar lunas nyawa manusia Papua dan manusia Papua menjadi musnah di tanah sendiri.

Yang mau dikatakan adalah “pemerintah jangan mengorbankan rakyat kecil yang tidak tahu dan tidak berdosa” dalam keputusan kerdil dan konyol, hanya karena ingin memiliki kekayaan: uang dan jabatan.

Menyuntikkan Darah HIV/AIDS

Kita telah tahu, HIV/AIDS merupakan penyakit yang paling ganas dan mamatikan. Di Papua, penyakit ini telah diketahui semua lapisan masyarakat. Anak kecil yang belum masuk sekolah pun mengetahui bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit paling berbahaya. Istilah yang dikembangkan adalah “3 huruf.”

Baca Juga:  Pelajar dan Mahasiswa Papua di Salatiga Sukses Hadirkan HIPMAPA

Penyakit 3 huruf ini telah menghabiskan manusia Papua. Karena itu, penyakit itu yang paling ditakuti dan dihindari oleh masyarakat Papua. Untuk menghindari, sekaligus mengeliminasi dan bahkan menghentikan penyakit ini, semua stakeholder bergerak mengatasinya dengan aneka cara dan gerakan.

Penyakit ini ternyata tidak takut untuk pemerintah (para Bupati) Meepago. Mereka berani dan senang kalau semua rakyatnya terjangkit HIV/AIDS dan habis-musnah di Tanah Papua. Alasan mereka tidak takut adalah di mana oleh rakyat Papua melihat “Provinsi Papua Tengah” adalah alat negara yang mematikan seperti HIV/AIDS, mereka hendak menghadirkannya untuk rakyat.

Pernyataan para Bupati Meepago mau menghadirkan Provinsi Papua Tengah dinilai sebagai “penyuntikan darah HIV/AIDS dalam tubuh manusia Papua.” Memang menghadirkan Provinsi Papua Tengah merupakan satu hal yang ditakuti rakyat Papua, yang serta-merta dan secara buta disepakati para Bupati Meepago tanpa mempertimbangkan keinginan rakyat.

Haruskah Provinsi Papua Tengah dimekarkan di Papua? Pertanyaan ini harus dijawab oleh dan bersama rakyat Papua, bukan dari para Bupati hanya karena nafsu kekuasaan dan ingin memiliki uang yang banyak.

Rakyat Papua

Rakyat Papua adalah pemilik hak atas manusia dan semua yang terkandung dalam pulau Papua. Mesti diingat bahwa rakyat Papua dan tanah Papua ada bukan karena para Bupati. Karena itu, pemerintah sebagai pionir pemerintah pusat memperhitungkan keinginan atau kemauan rakyat setempat. Semua keputusan, harus mengikuti keinginan rakyat, jika pemerintah sendiri memahami tentang “demokrasi” yang sesungguhnya.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Apa pun keputusan keselamatan dan kemerdekaan jiwa manusia menduduki posisi tertinggi. Adalah sangat keliru jika menghadirkan Provinsi Papua Tengah tanpa menghiraukan keselamatan dan kemerdekaan jiwa rakyat Papua, hanya karena nafsu uang dan jabatan. Menghadirkan Provinsi Papua Tengah hanya karena kekuasaan (uang dan jabatan), dapat dinilai sebagai anak durhaka dari ibu pertiwi, Tanah Papua.

Penutup

Tanggapan saya sebagai anak Papua yang prihatin dengan kehidupan rakyat Papua yang kian hari kian habis, menghadirkan Provinsi Papua Tengah semacam “menyuntik darah penyakit HIV/AIDS” dalam tubuh rakyat Papua.

Artinya, bagi saya, pemekaran Provinsi Papua Tengah merupakan satu perpanjangan penindasan terhadap rakyat Papua. Karena itu, isu ini tidak perlu diperpanjang dan diperbesarkan lagi. Pernyataan para Bupati Meepago pada point 14 dilihat saja sebagai mimpi yang tidak boleh terjadi dan rakyat harus mempunyai gerakan massa agar mimpi para bupati itu tidak terwujud, sehingga tanah dan kekayaan di Papua tidak dirampas habis demi kekuasaan dan keamanan negara.

)* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Widya Sasana” Malang, Jawa Timur

Artikel sebelumnyaAlumni Nusantara Galang Dana Bagi Korban Bencana di Sentani
Artikel berikutnyaKapitalisme-kolonialis Penyebab Utama Bencana di Sentani