BeritaInvestigasi SKPKC Fransiskan, Soal Penyerahan Tanah ke TNI Berpotensi Konflik

Investigasi SKPKC Fransiskan, Soal Penyerahan Tanah ke TNI Berpotensi Konflik

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Direktur Sekertariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Pastor Wilhelmus I.Gonsalit Saur mengatakan, masyarakat adat Kimbim Jayawijaya adalah masyarakat adat komunal (milik bersama), baik itu kepemilikan atas tanah, hutan, air maupun kekayaan alam lainnya, sehingga mereka tidak setuju jika hak kesulungan mereka diberikan kepada orang dari suku lain atas nama pribadi, apalagi suku di luar dari Papua.

Hal ini disampaikan pastor Wilhelmus berdasarkan hasil investigasi pihaknya terkait penyerahan tanah 90 hektar kepada pihak TNI dan pengukuhan Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI George Elnadus Supit (Ketika menjabat Pangdam) sebagai kepala suku besar Papua di kampung Wuluwaga, Kimbim distrik Asologaima, Jayawijaya, Papua pada 26 September 2018.

“Pelepasan tanah mutlak perlu dibicarakan secara bersama karena konsep kepemilikan tanah di daerah ini adalah komunal. Sejumlah unsur latar belakang tambahan yang ditonjolkan dalam protes masyarakat adalah mengenai pengangkatan seorang kepala suku. Mestinya kepala suku bukan diangkat atau ditentukan, tetapi berdasarkan seleksi alam dan turun-temurun,” kata Pastor ketika memberikan keterangan persnya bersama Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja di Papua, di aula Susteran Maranatha Waena, Kamis (11/4/2019).

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

(Baca juga: Pengukuhan Kepala Suku dan Penyerahan Tanah di Kimbim Gugur Demi Hukum Adat

Menurutnya merespon tindakan sepihak ini, sejumlah tokoh masyarakat menyampaikan keberatan bukan saja dilingkungan mereka sendiri, melainkan hingga ke Kodim 1702 Jayawijaya. Selain itu, aksi protes menjadi lebih massal dan lebih terorganisir hingga muncul penolakan pengukuhan kepala suku besar dan penyerahan tanah yang direncanakan membangun fasiltas milter.

“Sepanjang September – November 2018, masyarakat adat di Wuluwaga, Kimbim didukung oleh mahasiswa di Jayawijaya gelar aksi di Kantor DPRD Jayawijaya, Kantor MRP, Manokwari, Jawa, Bali dan Manado. Namun aksi penolakan ini dihiraukan sama sekali oleh Alex Doga (yang mengukuhkan kepala suku dan tanah) dan kelompoknya serta TNI. Dampaknya bisa berpotensi menciptakan konflik horisontal antara masyarakat dan menguntungkan pihak tertentu,” tuturnya.

Oleh sebab itu katanya, pihak di Sekretariat KPKC Fransiskan membentuk tim investigasi untuk mendalami protes ini. Berdasarkan hasil investigasi katanya jelas bahwa penolakan ini dilakukan karena keputusan diambil sepihak tanpa koordinasi dengan masyarakat adat lainnya.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Dan tanah yang diberikan kepada pihak TNI adalah tanah sakral yang turun temurun tidak perna digunakan untuk berkebun. Jabatan kepala suku juga tidak bisa ditentukan, tetapi berdasarkan seleksi alam dan turun temurun.

“Penolakan akan pengukuhan serta penyerahan tanah ini sudah dimulai sejak awal perencanaannya, yakni awal September 2018.”

Pdt.Dr.Socrates Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua mengatakan, penolakan atau protes yang dilakukan masyarakat adat ini wajar, karena mereka menganggap tanah adalah mama yang selalu memberikan kehidupan.

“Berdasarkan pergumulan serta penolakan masyarakat adat di Wuluwaga, Kimbim Jayawijaya, maka kami pimpinan-pimpinan Gereja di Tanah Papua harus bersuara keras untuk persoalan masyarakat Papua.

Pencaplokan tanah adat harus dikembalikan kepada masyarakat, dan cabut kembali pemberian kepala suku tertinggi kepada mantan Pangdam. Acara pemberian nama adat dan mahkota adat tidak ada dalam mekanisme adat orang asli Papua dari Sorong sampai Sota,” tukasnya.

Secara terpisah Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi sebagaimana dikutib dari jubi.co.id justru mempertanyakan dasar Forum Kerja Oikumenis Gereja di Papua meminta pembatalan hibah 90 hektar tanah untuk TNI itu.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

“Kelompok yang menolak itu bukan kepala suku, dan juga bukan pemilik tanah. Kalau mau protes harusnya jangan protes ke TNI tetapi protes kepada siapa yang memberi,” kata Aidi dalam pesan singkatnya kepada Jubi.

Aidi menyatakan posisi TNI dalam hibah 90 hektar tanah ulayat itu hanya sebagai obyek penerima hibah. “TNI kan hanya objek. Lahan yang diberikan oleh kepala suku pemilik hak ulayat, bukan mengambil dari hak milik para kelompol yang protes,” ujar Aidi.

Pengukuhan dan penyerahan tanah

Sebelumnya, pada 26 September 2018 di kampung Wuluwaga, Kimbim, Distrik Asologaima Kabupaten Jayawijaya terjadi peristiwa pengukuhan Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI George Elnadus Supit sebagai Kepala Suku Besar Papua oleh Kepala Suku Alex Doga dan Habo Holago.

Selain acara pengukuhan, Kepala Suku Alex Doga mengatasnamakan sukunya menyerahkan tanah seluas 90 hektar kepada pihak TNI.

Alex Doga adalah putra dari Kepala suku besar Silo Karno Doga di Jayawijaya. Ia yang memimpin sejumlah masyarakat untuk menyerahkan tanah kepada pihak TNI dan mengukuhkan Pangdam sebagai kepala suku besar.

Pewarta : Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pacific Churches Urge MSG to Expel Indonesia if it Does Not...

0
"Are the countries supporting Indonesia's candidacy as a member of the UN Human Rights Council saying that they are comfortable with human rights violations?"

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.