PAPUA: Tungku Api Kehidupan Orang Asli Papua

0
8110

Oleh: Santon Tekege)*

PAPUA adalah sebuah pulau yang paling besar di dunia. Papua daerah yang luas dan luasnya adalah 421 ribu km. Pulau itu didiami oleh Orang Asli Papua (OAP). Mereka menyebut Papua sebagai sebuah tungku Api kehidupan. Pemilik tungku api kehidupan adalah ORANG ASLI PAPUA. Papua bukan orang Non Papua punya tungku api kehidupan. Tetapi Papua adalah tungku apinya OAP, atau Papua punya tungku api kehidupan adalah OAP sendiri.

Orang sadar atau tidak sadar sering diungkapkan OAP adalah tuan tanah, anak negeri, anak adat, dan tuan di negerinya sendiri. Artinya OAP adalah pemilik tungku api kehidupan. Tetapi dalam kenyataan hidupnya, OAP tidak merasakan keamanan, kenyamanan, dan damai di tungku apinya. Makanya itu, kita diharapkan untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, dan perdamaian sambil kita melindungi dan menjaga tungku api kehidupan di Tanah Papua.

Tungku Api Orang Papua

Papua penuh sumber daya alam. Sumber daya alam yang melimpah itu, bukan ada di Jawa, bukan ada di Flores, bukan juga ada di Sumatera, bukan pula ada di Sulawesi dan Ambon. Tetapi ada di tungku apinya OAP. Tungku api OAP itu selalu saja disediakan kehidupan. Dalam tungku api itu terjamin kebutuhan ekonomi. Dalam tungku api itu juga, selalu disediakan semua kebutuhan keluarga.

ads

Dalam ketersediaannya itu, Tungku Api OAP sudah menyala sah dan benar sejak 1 Desember 1961. Tetapi Indonesia sudah padamkan tungku api OAP melalui PEPERA 1969 yang penuh cacat hukum dan tidak melibatkan orang asli Papua saat itu. Sepertinya Indonesia harus mempertanggungjawabkan PEPERA 1969.

Bukan lagi rahasia soal Papua ingin keluar dari Indonesia. Orang Papua sadar betul bahwa mereka sudah berdiri sendiri sebagai sebuah tungku api sendiri sebagai sebuah bangsa. Tetapi bangsa Papua itu dimasukkan dalam NKRI melalui pidato populer Presiden I Indonesia yaitu Presiden Soekarno Hatta pada 1963. Dan OAP ingin merebut kembali tungku api yang sudah menyala itu. Menghadapi yang semacam ini, Pemerintah Indonesia selalu melakukan upaya defensive dengan melakukan berbagai pendekatan pembangunan, kesejahteraan ekonomi, dan pendekatan bidang lain. Namun Pemerintah Indonesia tak mampu meredam gejolak menentukan nasib sendiri yaitu merebut kembali kemerdekaan, 1 Desember 1961 itu.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Lebih parah lagi Indonesia untuk pertahankan tungku api OAP itu, Indonesia melakukan berbagai sikap refresif militernya. Militer Indonesia mendekati tungku api OAP melalui aparat militernya sehingga banyak warga Papua menjadi korban disiksa, dipukul, dipenjarakan, dan ditembak mati. Orang asli Papua merasa bahwa tungku apinya telah dipadamkan terus menerus selama ini.

Pemerintah Indonesia Akan Kehilangan Tungku Api

Tentu Indonesia tak berharap Tungku Apinya menyala kembali. Sebagian warga Indonesia (migran) datang di tungku api OAP. Tanpa malu dan takut, seenaknya warga Indonesia lain (Non Papua) datang mencari hidup dan damai di tungku api. Mereka (Non Papua) juga datang di tungku api karena adanya kemudahan menjadi PNS, ada yang datang untuk mencari nafkah hidup karena perputaran uang sangat cepat dikalangan masyarakat. Tetapi, kalau tungku api OAP benar menyala kembali: Apakah Pemerintah Indonesia akan dirasa kehilangan Tungku Api OAP itu? Jadi seandainya tungku api OAP menyala kembali dan benar putus dari Indonesia, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah

Pertama, Pemerintah Indonesia kehilangan aset terbesar negara. Indonesia bakal kehilangan salah satu pemasukan konsisten paling terbesar yaitu Tambang Freeport. Tambang Freeport memberikan persentase hasil yang sangat besar. Dana yang masuk dari pengolahan tambang oleh Freeport bisa dibilang besar, yakni ratusan triliunan rupiah.

Nah, kalau Papua menyala kembali tungku apinya dan merdeka, maka otomatis negara Indonesia akan kehilangan pemasukan sebanyak itu. Lantaran sudah berbeda negara, tentunya pemerintah tak berhak lagi ikut campur untuk masalah tambang tersebut. Intinya, ketika Papua hilang maka pemerintah tak berhak untuk melakukan apa pun lagi di sana.

Kedua, Kehilangan Obyek Wisata Kelas Dunia. Tak hanya tambang emas melimpah, Papua juga memiliki spot-spot kelas dunia yang begitu termasyhur namanya. Misalnya salah satunya adalah Raja Ampat. Obyek wisata ini bisa dibilang sangat mahal bahkan untuk ukuran para touris. Makanya, Raja Ampat pun menyumbang banyak pemasukan untuk negara.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sama seperti tambang Grassberg yang penuh emas itu, ketika Papua lepas negara juga tak lagi punya kepemilikan atas aset-aset wisata tersebut. Bukan hanya kehilangan pendapatannya, tapi juga wisatanya secara utuh. Julukan kepingan surga yang didapatkan Indonesia pun cacat karena hilang sudah salah satu penyokong terbaiknya.

Tungku Api Orang Papua Penuh Konflik dan Penderitaan

Realita sejak dari dulu 1963 hingga sekarang 2019, orang Papua mengalami banyak Konflik dan penderitaan di tungku apinya sendiri. Mereka masih terekam memori kehidupan seluk beluk derita dan tangisan di tungku apinya itu. Sambil duduk di tungku apinya, mereka uraikan deraian air mata dan tangisan di atas negeri ini. Sementara mereka mau menyembuhkan konflik dan kekerasan yang dialaminya itu, muncul lagi masalah yang satu dan baru di daerah lain atau di daerah tersebut.

Dan kita dikagetkan dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Nduga Papua. Konflik dan kekerasan itu terjadi di antara TPN-PB (Tentara Pembebasan Nasional-Papua Barat) pimpinan Egianus Kogoya dan Penme Kogoya versus TNI dan POLRI yang terjadi pada 1 Desember 2018 hingga April 2019. Dalam peristiwa itu, aparat militer lebih agresif melancarkan represif militer Indonesia.

Peristiwa represif militer yang terjadi di Nduga itu, menarik banyak pihak baik dalam negeri maupun di luar negeri. Media massa nasional Indonesia dan Internasional memuat dan menyebarkan tindakan miiter yang sangat represif tidak manusiawi itu. Bahkan militer Indonesia telah menjadikan kabupaten Nduga sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya banyak warga Indonesia entah TNI dan POLRI maupun masyarakat sipil dan OPM mati ditembak. Keduanya masih pertahankan dan tidak mau menyerah. Kalau seperti ini, kapan penyelesaian masalah?

Akibat konflik antara kedua belah pihak ini, banyak masyarakat menjadi korban. Masyarakat sebanyak 32.386 orang mengungsi di 10 distrik. Anak-anak sekolah mengungsi di Wamena sebanyak 697 siswa di 13 kelas mulai dari sekolah dasar (SD), SMP, dan SMA. Ribuan masyarakat lain yaitu (anak-anak, ibu-ibu, dan para lansia) mengungsi di hutan dan tinggal di gua-gua. Beberapa ibu-ibu melahirkan anak tanpa bantuan medis di hutan dan di gua. Banyak anak-anak dan ibu diperkosa dan dibunuh lalu dibuang di kali yang terdekat, atau kubur diam-diam. Akses pendidikan untuk para siswa menjadi tidak beraktivitas proses belajar mengajar akibat represif militer TNI dan POLRI. Aspek lain yang menarik juga adalah 34 Gereja ditutup dan dirusak aparat militer Indonesia. Salah satu gedung Gereja telah dijadikan markas TNI untuk operasi di wilayah kabupaten Nduga. Jadi Semua aspek kemasyarakatan macet total di Kabupaten tersebut (baca juga: laporan Tim Investigasi Kasus Nduga Papua pada 29 Maret 2019).

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Solusi Akhir tentang Tanah Papua

Akhirnya Orang Asli Papua tidak merasakan kehidupan yang nyaman, aman, dan penuh damai dari tungku apinya sendiri.  Mereka ingin kembali awal kehidupan di tungku api. Mereka merasa bahwa hidup dengan Indonesia ditungku apinya itu terasa tidak aman dan damai. Lebih tidak rasa aman dan damai bila semua kehidupan entah manusia atau sumber daya alam pun dirongrong dan dirusak dan dihabisi oleh tindakan represif militer Indonesia dan para kapitalis yang merusak hutan dan lingkungan hidup selama ini.

Maka itu, saya menyuarakan antara TPN-PB dan TNI dan POLRI bahwa pentingnya untuk gencatan senjata untuk terwujudnya perdamaian diantara kedua belah pihak. Daripada konflik dan kekerasan terus menerus di tungku api OAP, maka perlunya dialog antara Papua dan Indonesia demi terciptanya Perdamaian di Tanah Papua.  Jika Indonesia tidak mau dialog atau entah Indonesia takut dialog dengan Papua, maka OAP pasti menyuarakan REPERENDUM PAPUA baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kalau sampai aparat militer Indonesia tidak mau gencatan senjata, atau Indonesia takut dialog dengan Papua, atau Indonesia tidak mau orang Papua REPERENDUM, maka Orang asli Papua minta pengakuan Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda bahwa Orang Asli Papua sudah Merdeka sejak 1 Desember 1961.

Yagai, 1 April 2019

 )* Penulis adalah  Pastor asal Keuskupan Timika-Papua

Artikel sebelumnyaPencoblosan di Kota Dekai Berjalan Aman
Artikel berikutnyaOPM: Kemenangan Manasseh Sogavare Adalah Bukti Doa Kami