Gerakan Pemuda Adat Klaben: Minghiyem Nafai Eges Lhegho

0
4995

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Awal tahun 2019, kampung pedalaman Suku Moi meriah. Pemuda pelajar dan sanak saudara dari berbagai kota kembali pulang kampung berkumpul, silaturahmi dan sharingberbagai pengalaman di kota.

Selain cerita keberhasilan dan kesenangan, kami juga merefleksikan situasi masyarakat adat Moi di kampung dan kota kini sedang berubah. Hal itu ditandai dengan banyak pengetahuan dan gagasan baru datang. Tawaran praktis berbagai kebutuhan untuk hidup modern dipaksa merubah cara pandang, norma dan kebiasaan masyarakat.

Tanah atau egesdan kekayaan alam lainnya yang merupakan sumber kehidupan dan diwariskan para leluhur masyarakat adat Moi berubah menjadi komoditi komersial. Pemerintah dan pemodal datang ke kampung menawarkan pembangunan, tanah dan hutan hilang dalam skala luas untuk kepentingan proyek komersial, seperti perkebunan kelapa sawit, pembalakan kayu, pertambangan dan proyek infrastruktur. Perubahan ini mahal, budaya dan hukum-hukum adat terkoyak, terjadi pertentangan antara kelompok dan keluarga, kriminalisasi dan kekerasan dialami masyarakat.

Bagaimana pemuda adat Moi  menghadapi situasi dan tekanan yang sedang berubah, maupun keinginan untuk mempertahankan pengetahuan kehidupan sosial dan lingkungan alam berdasarkan kebiasaan dan hukum-hukum adat.

Minghiyem Nafai Eges Lhegho, istilah dalam bahasa Moi, artinya bangkit mengurus tanah adat. Ini komitmen kami Pemuda Adat Moi di wilayah adat Klaben, Sorong, pada tahun 2019. Komitmen ini merupakan konsensus dan gerakan pemuda untuk menghadapi perubahan, ancaman krisis dan konflik, yang sedang dialami masyarakat adat Moi diwilayah adat Klaben.

ads

Mega Mustika di Hutan Klaben

Wilayah Adat Klaben terletak disebelah utara Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Secara administratif wilayah adat Klaben berada di Distrik Klasou. Terdapat tujuh kampung di Distrik Klasou, yakni Kampung Miskum atau Klabasi; Kalasow atau Kalaglom; Siwis atau Kalaben; Sabaga; Kalalik dan Malabili. Terakhir Kampung Kalamugun atau Malasamuk, namun kampung tersebut berada diluar wilayah adat Klaben.

Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

Sebagian besar wilayah adat Klaben adalah lembah dataran luas yang dinamakan lembah Klasow ( Wen-Klasow) dan merupakan kawasan hutan dataran rendah. Batas-batasnya secara tradisional yakni bagian barat dimuara sungai Kalado di Kalasow (kaladola), bagian timur  di Kali Pecek (kalaegba) muara sungai klamans (Klamans lal), bagian selatan tepatnya di punggung gunung besar (mili bele/bikala)” dengan sebutan bahasa “moi abun jii (mili maraik) dan utara di Kali Klasou.

Kampung-kampung tersebut tempat berdiam Suku Moi, yang disebut Moi Klaben, berdasarkan sebutan wilayah adat tempat asal dan leluhur. Tanah dan kekayaan alam sudah sejak lama menjadi sasaran proyek eksploitasi sumber daya alam. Tahun 1990 an, perusahaan kayu PT. Intimpura Timber mempunyai konsesi di Klaben dan tidak berlanjut. Pada bagian selatan Klaben sudah ada perusahaan kayu PT. Mancaraya Agro Mandiri dan PT. Multi Wahana Wijaya, yang mengancam daerah Klasou.

Tahun 2014, Bupati Sorong menerbitkan Izin Usaha Perkebunan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mega Mustika Plantation seluas 9.835 ha. Sebagian besar areal perkebunan Mega Mustika tersebut berada diwilayah adat Klaben, termasuk dalam hutan adat ‘kofok’ yang dikeramatkan Suku Moi, yang tempatnya dinamakan Kalalin dan Klagomos. Yang berfungsi sebagai sekolah adat (kambik) dan fungsi sosial ekologis lainnya.

Seja tahun 2015, pemerintah daerah dan Mega Mustika terus memaksakan kehendak dan merayu masyarakat untuk melepaskan tanah dan hutan adat. Pemuda Moi Klaben menjadi garda terdepan menghadang Mega Mustika. Beberapa kali Pemuda Moi Klaben menghadang kendaraan perusahaan, melakukan aksi protes di DPRD Kabupaten Sorong, mengirimkan surat protes penolakan kepada pemerintah dan perusahaan di kabupaten, hingga ke Jakarta.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Baca Juga: Tantangan dan Aksi untuk Percepatan Pengakuan Keberadaan dan Hak Masyarakat Adat

Mega Mustika merupakan anak perusahaan Group Ciptana (asal Semarang) yang dimiliki keluarga Sudarsono Chandarawijaya (Alm). Grup Ciptana mempunyai bisnis utama sebagai perusahaan pengolahan kayu, produksi plywood, veneer dan kayu gergajian. Beberapa anak perusahaan Grup Ciptana, yakni UD. Wijaya Pratama, PT. Cipta Wijaya Mandiri, PT. Daya Cipta Karya Sempurna. Salah satu pengurus Mega Mustika, Direktur Utama adalah Tommy Treider Jacobus, mantan Kapolda Papua pada tahunn 2005 – 2007. Posisi kepengurusan dan kepentingan bukan hanya tanah, melainkan kekayaan kayu, membuat Mega Mustika masih berkeras untuk mengoperasikan proyeknya.

Berdasarakan Peta PIPIB (Peta Idikatif Penundaan Izin Baru) teridentifikasi areal Mega Mustika berada pada tutupan hutan primer. Namun, perkembangannya (2013) Kadis Kehutanan Provinsi Papua Barat mengeluarkan surat mengatakan bahwa areal Mega Mustika bukan hutan primer. Kepala Seksi Perubahan dan Peruntukkan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Elisabeth Mangopang, (April 2019), mengkonfirmasikan belum ada SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk Mega Mustika dan akan menjadi bagian evaluasi berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2018, tentang Moratorium Kebun Kelapa Sawit.

Rumah Belajar Adat

Kamis pagi (9 Mei 2019), puluhan Pemuda Moi Klaben, perempuan dan laki-laki, berkumpul di Kampung Siwis. Orang tua-tua kampung dari kampung sekitar juga hadir untuk ritual dan aksi tutup atap rumah belajar.

Membangun rumah belajar merupakan wujud komitmen dan gerakan pemuda adat di tahun 2019. Sejak pendirian rumah belajar telah menjadi tempat belajar generasi muda. Arsitektur rumah belajar berdasarkan kebiasaan adat Suku Moi dan bahan bangunan berasal dari alam, seperti kayu, tali pengikat, lantai bangunan, dinding dan atap. Hampir tidak ada bahan-bahan dari toko. Orang tua menjadi pemandu dan kepala tukang yang mengtransfer pengetahuan dan nilai dalam arsitek Suku Moi.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Rumah belajar dibangun untuk tempat pusat pembelajaran generasi muda, sebagai media gerakan yang menyatukan pemuda bergerak mengurus wilayah adatnya, meningkatkan solidaritas rasa senasib sepenanggungan diantara pemuda adat, media untuk menelusuri kembali cerita leluhur yang hilang dan adat istiadat Suku Moi.

Baca Juga: Pemuda Adat Klaben Menolak PT. Mega Mustika Plantation

Kepala Kampung Siwis dan Pengurus Dewan Adat Klaben, David Ulimpa, yang memimpin ritual penutupan rumah belajar, menyampaikan “Pemuda adat Klaben harus bangkit bersatu untuk mengurus wilayah adat dan menjaga tanah untuk kelangsungan hidup. Saya bangga atas usaha kreaktifitas Pemuda Adat Klaben untuk membangun rumah belajar”, kata Danci Ulimpa.

Orang tua-tua Suku Moi mengharapakan, ketika rumah belajar ini sudah jadi banyak hal yang harus anak-anak muda pelajari tentang adat dari orang tua. Misalnya perempuan harus belajar menjahit tikar, menganyam noken dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan keterapilan perempuan. Untuk laki-laki harus pintar membuat rumah, berburu, bikir perahu, mencari ikan di sungai, menokok sagu dan hal- hal lain yang berhubungan dengan pekerjaan laki-laki. Dahulu pengetahuan seperti ini diajarakan dalam sekolah adat kambik.

Tokoh Pemuda Adat Klaben, Sem Vani Ulimpa, mengungkapkan, “Perjuangan kami pemuda adat Klaben menentang investasi di wilayah adat Kalaben sudah kurang lebih lima tahun. Pembuatan rumah belajar adalah rumah perjuangan Pemuda Adat Klaben, melalui pendidikan non formal berbasis pada pengetahuan lokal Suku Moi Kelim”.

Gerakan pemuda ini diharapkan dapat menjadi motor gerakan menyelamatkan tanah dan hutan untuk masa depan generasi mendatang.

Achel Ulimpa dan Sem Vani Ulimpa, Mei 2019

Sumber: Pusaka.or.id

Artikel sebelumnyaPemuda Adat Klaben Menolak PT. Mega Mustika Plantation
Artikel berikutnyaPawai Kelulusan Siswa SMA di Nabire Diwarnai Dengan Bintang Kejora