Cerita Ciko di Bumi Cenderawasih

0
9553

Oleh: Lisa Suroso)*

Seperti banyaknya kisah terabaikan tentang Indonesia Timur, kehidupan etnis Tionghoa di timur Indonesia pun jarang ditelusuri. Padahal, kehadiran dan interaksi etnis Tionghoa di wilayah ini sudah berlangsung sejak zaman perdagangan rempah-rempah. Sebuah penelitian dari negeri Paman Sam bahkan menyebut etnis Tionghoa di Papua cenderung berasimilasi jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Orang Papua akrab dengan istilah “perancis” yang merupakan akronim dari Peranakan Cina Serui. Mereka termasuk dalam keluarga besar “Papua putih” atau “Papua rambut lurus”, generasi blasteran unik yang mewarisi perpaduan ciri genetika ras mongoloid dan ras melanesia. Generasi perancis sendiri tak canggung menyebut diri mereka “Ciko”, kependekan dari “Cina Komin” atau Cina Papua. Keunikan para “perancis” ini ternyata tidak terbatas hanya pada penampilan fisik mereka saja, tapi juga pada akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Papua – sebuah kisah lain tentang kehidupan etnis Tionghoa yang tidak banyak terungkap.

Berawal Dari Bumbu Dapur

ads

Wilayah Papua mulai muncul di peta dunia sejak abad ketujuh. Para pedagang Sriwijaya sampai ke pulau ini melalui jalur perdagangan rempah-rempah seperti pala dan lada. Buku tahunan Tiongkok menyebut Raja Sriwijaya yang bernama Maharaja Sri Indrawarman telah mengirimkan utusannya ke Kaisar Tiongkok untuk mempersembahkan bulu-bulu burung dan seorang gadis sengk’i sebagai tanda persahabatan. Sengk’i atau Jangge adalah sebutan untuk ras negrito di Nusantara saat itu. Sumber tertulis pada zaman Dinasti Tang (618-906) sudah menyebut Miliku untuk kepulauan di wilayah Maluku. Namun potensi rempah-rempah baru muncul dalam catatan zaman Dinasti Ming (1368-1643). Dalam periode Kaisar Wan-Li (1573-1619), catatan Tiongkok menyebutkan perang antara Portugis dan Belanda yang berusaha merebut pulau-pulau ini, dan pada 1618 terdapat catatan yang menyarankan untuk mendekati Sultan Tidore sebagai penguasa yang paling berpengaruh di wilayah Papua.

Sumber tertulis di atas terdukung dengan ditemukannya jejak kapak neolitik dengan teknik penggurdian yang hanya dikembangkan di Tiongkok (Kebudayaan Yang Shao), tersebarnya perunggu dongson, manik-manik, gelang kaca, serta keramik di beberapa penjuru Papua yang disinyalir berumur hampir 2000 tahun yang lalu. Masa ini akhirnya dicatat para arkeolog sebagai masa permulaan perdagangan rempah dunia.

Selain mencari rempah sebagai bumbu dapur dan obat-obatan, para pedagang Tiongkok datang ke kepulauan Maluku dan Papua untuk mendapatkan teripang, mutiara, kerang, kulit kayu masoi, cendana, gaharu dan lain-lain. Sebagai gantinya, mereka memperkenalkan besi, perunggu, keramik, pisau dan kain.

Duarte Barbosa, seorang pelaut Portugis mencatat bahwa pada tahun 1381 perdagangan di Papua tidak hanya meliputi hasil bumi, tapi juga budak. Orang-orang Jawa mengirimkan 300 budak hitam sebagai upeti ke Tiongkok. Tahun berikutnya mereka mengirim lagi 100 budak laki-laki dan perempuan bersama dengan 75.000 peti lada dan delapan mutiara berukuran besar.

Hal lain yang menjadi daya tarik Papua di abad 17 dan 18 adalah perdangangan bulu-bulu burung. Umumnya yang paling dicari adalah burung kuning alias cendrawasih dan burung kasuari.

Bangsawan Eropa dan Amerika saat itu amat senang memakai topi yang berhias bulu burung-burung eksotis. Tren ini dilanggengkan oleh Putri Marie Antoinette yang kerap menjadi trend setter fesyen kaum elit saat itu. Tak hanya pakaian bangsawan, seragam militer kala itu pun menggunakan bulu burung sebagai hiasan. Pada tahun 1904-1908 terdata 155.000 burung cendrawasih terjual pada lelang di London saja, belum termasuk perdagangan di tempat dan tahun yang lain. Tak heran, spesies burung-burung ini menjadi sangat langka sekarang.

Kampung Ansus, sebuah desa di atas laut. Wilayah ini sempat menjadi pusat lumbung padi sebelum dihancurkan Jepang pada tahun 1942. Penduduk Ansus mengenal teknologi menanam padi di darat dan merangkai manik-manik dari para pedangang Tionghoa.

Pada 1828, Belanda secara resmi mengklaim Papua sebagai wilayah Hindia Belanda melalui perjanjian dengan Kesultanan Tidore. Namun menjelang akhir abad ke-18, pengaruh monopoli perdagangan rempah VOC menurun seiring kekalahan Belanda oleh Perancis di Eropa. Pedagang Tiongkok dan Bugis mengambil kesempatan ini untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah kepala burung. Thomas Forrest, seorang Inggris yang tinggal di Dorei Bay (sekarang Manokwari) mengatakan bahwa Kesultanan Tidore dan Ternate memberikan izin khusus bagi pedagang Tiongkok ini untuk berlayar di perairan Papua. Mereka datang dengan perahu super kargo dari Batavia untuk mengambil hasil bumi yang akan diperdagangkan di Singapura.

Sebuah catatan menarik lainnya ditulis oleh Albert Wallace dalam buku hariannya yang bertanggal 8 Januari 1857. Wallace yang terkenal karena menciptakan garis yang membagi spesies flora dan fauna Indonesia dalam wilayah geografi Asia dan Australasia, menuliskan apa yang dialaminya di Dobo, Kepulauan Aru, yang terletak di selatan Papua, “Saya berani berkata bahwa dalam komunitas 500 penduduk yang tinggal di Kepulauan Aru, adalah mereka yang mempunyai ‘reputasi paling buruk’ dalam hal moral: pedagang Tionghoa, Bugis, Seram, peranakan budak Jawa-Papua. Populasi heterogen yang acuh, haus darah dan bermental pencuri ini anehnya hidup bersama dengan damai tanpa struktur pemerintahan. Tak ada polisi, tak ada pengadilan, tanpa pengacara; namun demikian mereka tidak saling memotong leher… sangat luar biasa! Saya melihat mereka amat santun. Saya bahkan bisa berjalan-jalan di hutan tanpa senjata. Saya tidur di pondok daun kelapa tanpa khawatir akan ada pencuri dan pembunuh seperti yang saya rasakan di bawah tekanan polisi metropolitan… Para pedagang ini, mengerti bahwa suasana damai diperlukan untuk mendukung perdagangan… Bandingkan dengan ratusan keputusan parlemen yang kita -orang Inggris- keluarkan setiap tahunnya untuk mencegah sesama kita saling membunuh!”

Serui, Potret sebuah Kuali Peleburan

Ketertarikan saya terhadap kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia Timur makin besar ketika saya mendapatkan kesempatan menjejakkan kaki di Serui. Sebuah kota kecil yang terletak di Pulau Yapen, terletak di sebelah utara wilayah Papua Barat. Disinilah saya melihat Papua sebagai sebuah melting pot besar, amat jauh seperti yang digambarkan orang-orang di Jawa dan Jakarta: Papua yang hitam keriting, Papua yang identik dengan koteka dan Papua yang berarti kehidupan liar tak terjamah.

Kenyataannya pulau Papua sangat luas dan terlalu heterogen. Tercatat ada 255 suku asli dengan bahasa yang amat berbeda-beda. “Beda teluk saja, sudah sangat beda bahasa,” kata Ricky The yang menemani saya menyusuri wilayah Serui Laut – hanya berjarak 2 km dari kota Serui. Tempat kelahiran Menteri Perhubungan Fredy Numberi ini mempunyai bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa orang Serui. Kami melewati sebuah pasar yang bukan saja warna-warni dengan berbagai macam barang plastik, pakaian dengan model terbaru, makanan instan, sayur, buah dan ikan, tapi juga beraneka ragam warna dan bentuk orang-orangnya. Jauh dari kesan “hitam-keriting” dan terasing.

Suku-suku pendatang yang kini menetap di Papua, banyak berasal dari Buton, Bugis, Makasar, Pulau Kei dan Jawa, membuat laju perdagangan berdetak cepat. Sebuah paradoks yang membuka Papua terhadap modernitas, sekaligus memicu konflik horisontal.

Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

Sebuah penelitian yang diterbitkan East-West Center -sebuah lembaga riset dan pendidikan yang bertujuan mendukung kestabilan dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik- mencatat bahwa gesekan antara penduduk asli Papua dengan kaum pendatang dimulai saat gelombang migrasi besar-besaran terjadi di tahun 1970. Papua memang sudah makin sering disinggahi sejak zaman perdagangan rempah. Namun penemuan lokasi tambang di awal tahun 1930-an dan kebijakan transmigrasi telah membuat Papua menjadi magnet bagi para pendatang yang mengharap kehidupan baru. Sensus etnis pertama di Papua yang dilakukan pada tahun 2000 mencatat penduduk Papua terdiri dari 38% suku Jawa, 25% suku-suku dari Sulawesi, dan 7% dari Ambon. 30% sisanya campuran dari penduduk asli dan suku-suku minoritas lainnya, termasuk suku Tionghoa yang walaupun kecil jumlahnya, mempunyai pengaruh signifikan selama berabad-abad sebagai middleman minority (minoritas perantara) antara jaringan perdagangan eksternal dengan penduduk asli. Posisi ini masih terjaga sampai saat ini, dimana etnis Tionghoa di Papua umumnya menjadi distributor dan mempunyai toko dan kapal yang membawa barang dari Jawa dan Makasar.

Di tahun 1980-an tokoh-tokoh adat Papua menaruh perhatian serius pada pendatang yang mereka juluki BBM (Buton-Bugis-Makasar). Suku-suku yang berasal dari selatan Sulawesi ini di-stereotip-kan sebagai pedagang agresif yang tidak mau beradaptasi dengan budaya lokal dan kerap menipu dalam berdagang. Mirip dengan stereotip yang dilabelkan kepada etnis Tionghoa di wilayah lain Indonesia.

Gesekan ini pun berujung pada kerusuhan dan pembakaran pasar. Sebut saja peristiwa Abepura 1996, Entrop 1999-2000 dan Sentani di tahun 2000. Pada peristiwa di bulan Oktober 2000, dipicu oleh kemarahan penduduk asli kepada tentara, mereka melampiaskan kemarahan kepada para pendatang asal Sulawesi ini. Akibatnya 30 orang meninggal dan ratusan pendatang mengungsi dari Wamena. Menariknya, Papua tidak pernah mempunyai sejarah kerusuhan anti-Tionghoa.

Fakta-fakta ini melompat-lompat dalam benak saya sepanjang perjalanan. Mengapa terjadi perbedaan pola hubungan antara etnis Tionghoa di Papua dengan etnis Tionghoa di wilayah lain dimana telah menoreh rentetan kerusuhan anti-Tionghoa.

“Wah saya sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu,” ungkap Ricky ketika saya mencoba melemparkan fakta itu. “Masyarakat Papua dan etnis Tionghoa di sini sudah seperti saudara. Itu sudah.”

Dari Satu Tumbuh Seribu

Hari itu, di bawah panasnya mentari bulan September, Ricky membawa saya menemui keluarga besar Toroa, sebuah keluarga generasi “perancis” terbanyak di kota Serui. Bermarga Tan, keluarga ini mencapai 500 KK dengan anggota yang tersebar di Serui, Biak, Jayapura, Yobi, Sorong dan Raja Ampat. Cucu-cicit mereka juga banyak yang merantau di Jakarta, bahkan sampai ke luar negeri. Selain Tan, marga lain yang terbanyak di pulau adalah The, Oei, Soe, Yo, Sie, Goan, Thung, Chung, Cheng, Chi dan Bong.

Ricky adalah generasi ketiga “perancis” dari Keluarga Toroa. Tubuhnya gempal dibalut kulit coklat merata. Rambutnya ikal dan matanya sipit. Ia tidak tampak Tionghoa, tapi juga tidak seperti orang Papua. Ricky bermarga The, karena ikut marga ayahnya The Tian Ho, pedagang Tionghoa asal Sangir Talaud, yang tinggal di sebuah pulau wilayah Ansus. The Tian Ho menikah dengan perempuan keluarga Toroa.

Setiap minggu, keluarga yang sudah berlipat-ganda menjadi enam generasi ini berkumpul untuk mengadakan kebaktian keluarga. Mereka semua beragama Kristen Protestan. Hal ini tidak mengherankan karena faktor pengaruh sejarah misionaris Kristen yang mendominasi wilayah utara pulau Papua, sementara misionaris Katholik memusatkan kegiatannya di selatan Papua.

Kebaktian keluarga dipimpin oleh Frans Tan, seorang pendeta yang juga aktif di pemerintahan. Ia pernah menjadi Sekretaris Wilayah Daerah Wamena, dan pejabat Bupati sementara di Tolikara dan Biak. Frans juga menjadi Ketua Perkumpulan Keluarga Besar Toroa. Awalnya perkumpulan ini dibuat supaya mereka bisa mendata silsilah keluarga untuk mencegah baku kawin di antara cucu-cicit mereka. Belakangan, mereka ingin membuat organisasi yang lebih resmi dengan AD/ART dan berpayung hukum. “Supaya diakui,” kata Frans.

Menurut Frans, Toroa adalah nama yang diberikan kakek mereka untuk sebuah pulau di wilayah Ambai. Artinya “di sini kami berdiri untuk maju”. Di pulau inilah, Tan Kai Tjok, leluhur dari mereka semua, datang dari provinsi Fujian di Tiongkok untuk mencari hasil bumi. Ia datang berdua dengan keponakan laki-lakinya, Tan Siu Liu.

Kedatangan etnis Tionghoa di Papua memang dipicu oleh perdagangan hasil bumi dan burung kuning. Mereka datang seorang diri atau dalam kelompok-kelompok kecil. Ada juga yang bolak-balik datang dan pergi dengan kapal-kapal laut. Agak berbeda dengan di Batavia atau bahkan wilayah tetangga Papua Nugini yang dikuasai Inggris dan Jerman di mana sempat merasakan gelombang masal migrasi etnis Tionghoa sebagai pekerja pabrik dan tambang.

Tak semua pedagang Tionghoa yang berlabuh di bumi cendrawasih beruntung. Banyak juga yang menjadi tawanan penduduk asli, dibunuh, diterkam binatang buas, atau meninggal karena malaria. Beragamnya suku asli di Papua dengan karakter yang berbeda-beda juga berpengaruh pada keberadaan etnis Tionghoa saat ini. “Banyaknya etnis Tionghoa di Pulau Yapen dan pesisir Papua adalah karena suku-suku yang tinggal di pesisir cenderung lebih terbuka pada orang asing,” jelas Frans. Faktor alam Papua yang sangat menantang juga membuat kehidupan pesisir jauh lebih bergairah daripada di pedalaman.

Kondisi ini membuat para perantau Tionghoa yang bertekad tetap mencari peruntungan di tanah Papua harus melakukan ekstra usaha. Mereka belajar bahasa dan adat setempat, memperkenalkan teknologi baru, sampai memikat suku-suku asli melalui perka¬winan. Termasuk Tan Kai Tjok.

Setelah meminang Moibin Mabonai, anak salah seorang tetua adat Desa Manawi bermarga Mabonai yang cukup berpengaruh, Kai Tjok memboyong Moibin ke pulau Toroa yang masih tak berpenghuni. Di pulau kecil berjarak sekitar satu kilometer dari pantai itu, Kai Tjok mendirikan toko yang menjual macam-macam barang dengan cara barter.

Selain memberi nama Mandarin, ia juga memberi nama anak-anak mereka dengan nama marga istrinya. Misalnya, Tan Kui Hoa, salah satu anaknya yang masih hidup sampai saat ini, punya nama ‘lokal’ Yemima Mabonai. Hal ini untuk membuat keturunan mereka masih diakui dan memiliki hak tanah adat atas nama Mabonai, karena suku Papua mengakui anak-anak perempuan sebagai ahli waris. Belakangan, saat keturunan menjadi makin banyak, generasi ketiga memakai nama keluarga Tan Bonai, perpaduan antara marga Tan dan marga Mabonai.

Penggunaan nama marga ibu dilakukan oleh semua anak-anak keturunan Tionghoa di Serui dan Biak. Misalnya keluarga Thung yang memakai nama Raweyai dan keluarga Chung yang memakai marga Erari. Marga Papua lain yang dipakai adalah Imbiri, Wairara, Abba, Sengkui, Ayorbaba, dan lain-lain. Biasanya generasi kedua dan ketiga masih mempunyai nama Mandarin selain nama lokal. Namun kini, cucu-cicit mereka sudah memakai nama lokal atau nama barat diimbuh marga ibu.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Tetua masyarakat Ambai sampai saat ini masih mengingat sepak terjang Kai Tjok di pulau Toroa. Ketika saya menyebut nama nenek Moibin, mereka langsung ingat dengan Kai Tjok. Mereka menyebutnya tete kepala kosong, karena penampilannya yang khas penduduk Tiongkok Dinasti Qing: botak dengan kuncir panjang dan celana panjang kain yang diikat tali. Tete adalah panggilan masyarakat Papua bagi kakek.

Kai Tjok memilih tinggal di pulau karena lebih mudah baginya untuk berdagang di laut. Kapal besar tidak bisa masuk sampai ke darat. Masyarakat datang ke pulau Toroa dengan sampan membawa berbagai macam hasil laut dan hutan: bulu burung, bia (kerang), tripang, kayu masoi, damar, dan lain sebagainya. Di toko itu Kai Tjok menukarnya dengan keramik, piring, dan guci dari Tiongkok, juga kain-kain, sembako dan pisau yang datang dengan kapal besar dari Singapura.

Kai Tjok juga mengajarkan teknologi menanam padi, menumbuhkan dan mengasinkan kol, membuat mie, membuat garam, kecap, dan pengobatan tradisional Tiongkok kepada istri dan sembilan anaknya. Ia bahkan mengajarkan kungfu pada anak laki-laki. Mereka semua hidup mandiri dan berkecukupan dengan mengusahakan kebutuhan keluarga sendiri. Semua anak harus bekerja dengan disiplin. Kai Tjok juga mengajarkan merangkai kerang menjadi rompi pada penduduk Ambai. “Inilah masa dimana kampung Ambai mulai mengenal orang-orang dan budaya asing,” kata Frans.

Transfer teknologi seperti menanam padi dan merangkai manik-manik juga terjadi di Ansus. Sebelum Jepang menghancurkan wilayah ini, penduduk Ansus mempunyai cukup banyak lumbung padi.

Keluarga Toroa masih mewarisi beberapa ajaran Kai Tjok. Seusai kebaktian keluarga, saya disuguhi hidangan bernama Mie Ke. Rasanya memang seperti mie, karena terbuat dari terigu dan telur. Tapi penampakannya tidak sama dengan mie yang kita kenal. Mie-nya lebih mirip dengan potongan otak-otak. “Adonan terigunya dicubit kecil-kecil. Memang caranya begitu. Mungkin karena dulu tidak ada gilingan mie,” kata Linda Tanbonai yang menjadi juru masak. Mie ini dicampur de¬ngan sayur dan kari ikan, lalu disantap dengan sagu. Hampir semua penduduk Serui dan Ambai tahu resep hidangan Mie Ke.

Uniknya, sehabis makan mie, seluruh keluarga menikmati makan pinang yang dikunyah bersama kapur dan buah sirih, membuat bibir dan gigi mereka merah oranye. Cara mereka makan cukup lahap dan terlihat sangat menikmati. Ini adalah pemandangan umum yang akan kita jumpai di seluruh daratan Papua. Para penduduk asli Papua sangat menikmati makan pinang sampai-sampai banyak himbauan “dilarang meludah pinang di tempat umum”.

Ilmu lain yang masih diwarisi keluarga adalah ilmu mengobati dengan tulisan Mandarin. Engkong Kai Tjok memang kerap bertindak sebagai tabib bagi orang-orang kampung dengan ‘ilmu’ yang dimilikinya. Konon, hanya keturunan ‘berbakat’ yang bisa mewarisi talenta ini, termasuk Ricky. Walaupun sudah beragama Kristen, keturunan Toroa percaya “ilmu” ini sangat manjur untuk mengobati sakit demam, pendarahan dan saat tertelak tulang ikan. Caranya, segelas air disiapkan untuk diminum, ‘mantra’ lalu disebutkan sambil menuliskan huruf Mandarin di atas air dalam gelas itu. Tak seorang pun keturunan Kai Tjok bisa berbahasa dan membaca huruf Mandarin itu. Namun Ricky dengan piawai menuliskannya sambil menyebut kata-kata Ci Tiu En Bau Sen Si Go Bi Yu So Se Ai. “Tapi saya tidak tahu artinya apa, yang penting manjur!” Ia tergelak.

Para Perintis di Selatan

Di tepi pantai sebuah teluk besar yang tenang, berderet bangunan toko berhadap-hadapan sepanjang satu kilometer. Tersanggah dengan tiang-tiang beton beratapkan seng, halaman belakang bangunan langsung terhubung dengan laut. Dari pantai terlihat jajaran kapal parkir di tepi tiap rumah. Menjelang sore, kawasan ini mendadak ramai, penuh dengan pedagang asongan, penjual makanan dan pengunjung yang menghabiskan malam. Inilah “china town” kota Kaimana, terletak di wilayah kota tua Kabupaten Kaimana, Papua.

Di tempat inilah, Ang Kim Hie (78) lahir dan menjadi tua. Ia adalah salah satu dari generasi kedua etnis Tionghoa yang menetap di pesisir selatan Papua. Ayahnya datang dari Fujian untuk mencari burung cendrawasih, kulit buaya dan membuat minyak lawang. “Dulu tempat ini masih hutan, tidak ada kota atau penduduknya. Ayah dan teman-temannya datang lalu membangun kota,” tutur nenek berkulit putih ini sambil menerawang. Kota dibangun untuk menjadi sentra perdagangan atas hasil hutan yang dikumpulkan dari penduduk asli di pedalaman untuk dibawa dengan kapal-kapal.

Di wilayah pesisir selatan Papua, para pedagang Tionghoa ini menjadi perintis yang membuka jalur komunikasi, perdagangan dan peradaban. Drabbe, ilmuwan Inggris yang menetap di Mimika pada 1935 mengumpulkan data dari suku Kamoro melalui amoko-kwere, penterjemah dan penghubung suku Kamoro terhadap dunia luar. Mereka mengatakan bahwa para pedagang Tionghoa adalah orang asing pertama yang mereka lihat, sepuluh tahun lebih awal dari orang-orang Eropa. Bahkan setelah pemerintahan Belanda mengukuhkan kantor administrasi di Mimika, hubungan antara Belanda dan suku Kamoro dilakukan melalui perantara Tionghoa.

Sebuah legenda juga dikisahkan oleh suku Kamoro. “Pada masa Nati Atana (periode waktu yang dipakai suku Kamoro sebelum 1920), Atokoaripiti dari Amarapia suatu hari pergi memancing di pantai. Ia melihat sebuah kapal mendekat. Ternyata mereka adalah pedagang Tionghoa dari Kaimana. Orang Tionghoa itu berlabuh dan menggelar berbagai macam barang, seperti kain merah, kapak, golok, pisau, tembakau dan buah pinang. Dengan bahasa isyarat orang Tionghoa itu menunjukkan bahwa kami bisa memiliki semua barang itu bila kami mengumpulkan damar, kayu kuning, kulit masoi, dan sagu. Hampir setiap bulan orang Tionghoa ini datang untuk mengumpulkan hasil hutan. Ia bahkan membuat pondok. Sejak saat itu, tiga warga suku dari pedalaman pindah dan tinggal di pantai, lalu beranak-cucu menjadi orang Amaparia sampai saat ini.” Suku Kamoro kemudian menyebut orang Tionghoa “tena-we” (berasal dari kata tina, sina atau cina) dan menyebut kapal mereka “tena-ku”.

Drabbe juga mencatat bahwa pada 1917, 16 etnis Tionghoa utusan Ong Kie Hong dari Kaimana pergi ke Mimika untuk mencari burung cendrawasih, burung kasuari, kulit buaya dan damar. Kedatangan mereka membuat komunitas suku pedalaman mulai berpindah ke pantai untuk mendapatkan akses lebih mudah akan barang-barang asing. Suku Kamoro amat tertarik dengan barang-barang besi terutama pisau dan golok yang sering mereka asosiasikan dengan kejantanan dan kepahlawanan.

Kegiatan barter dan perdagangan yang makin bergairah ini juga menguntungkan pemerintahan Belanda yang kemudian membentuk kantor administrasi di Mimika dan Kaimana. Vink, administrator Belanda untuk Papua Barat mulai mencatat penerimaan pajak di tahun 1924. Ia juga mencatat bahwa masyarakat Tionghoa datang dari teluk Aguni dan Kaimana untuk bekerja sebagai pengumpul damar. Mereka menerima uang muka dari pengepul besar seperti Ong Kie Hong. Secara administratif menurut aturan Belanda, peng¬usaha Tionghoa harus membayarkan pajak bagi pegawai mereka, yang diperhitungkan sebagai hutang si pegawai oleh bosnya. Pendatang baru yang menjejakkan kaki di Mimika secara otomatis berhutang pajak sebanyak sepuluh sampai lima belas guilder. Jumlah ini lumayan banyak, karena bila tidak cukup be¬kerja keras, mereka akan terjebak dalam lilitan hutang. Makanan, beras dan sagu mereka beli dari toko-toko milik sesama Tionghoa. Banyak yang datang dengan istri dan anak mereka dari Tiongkok. Perkawinan dengan perempuan lokal juga kerap terjadi.

Baca Juga:  Dari Hasil Jual Daun Singkong Hingga Raih Magister Pendidikan di UKSW

“Ibu saya masih asli dari Tiongkok,” jelas Kim Hie seakan menjawab mengapa perawakannya sangat mongoloid. Setelah ayahnya sukses di Kaimana, ia pulang ke Tiongkok untuk menjemput istri. “Saya kemudian lahir dan besar di sini.” Kim Hie lalu menjelaskan bahwa ibunya punya kaki sangat kecil karena masih terkena tradisi lilit kaki yang awam terjadi pada masa Dinasti Qing. Orang setempat memanggilnya “mama kaki kecil”.

Punya dua istri atau lebih, dinilai wajar pada masa itu. Para pedagang Tionghoa ini bisa punya istri asli dari Tiongkok dan lalu memperistri perempuan lokal. “Kawin dengan penduduk setempat disebut kawin hasil,” kata John Ang, generasi kedua yang ayahnya punya keahlian fotografi. Sambil memperlihatkan foto-foto kota Kaimana saat pertama dibangun hasil jepretan ayahnya, ia menjelaskan bahwa melalui kawin hasil, para pendatang ini akan lebih diakui oleh penduduk setempat dan ikut berhak dalam pembagian tanah warisan keluarga.

Detak gairah perdagangan membuat kota Kaimana dan pesisir Mimika tumbuh menjadi sebuah komunitas yang plural. Melalui pajak yang diterima, Belanda kemudian membangun sekolah-sekolah di wilayah Kokonao dan Migiwia. Dengan bantuan gereja Katholik yang mendatangkan guru-guru suku Ambon dari pulau Kei, sekolah dengan nafas misi penyebaran agama Katholik menjamur di Atuka, Keakwa, Paripia dan Timuka. Keha¬diran sekolah kemudian menjadi faktor utama berpindahnya suku Kamoro dari pedalaman ke pesisir, di mana awalnya dipicu oleh barter barang de¬ngan orang Tionghoa. Suku Kamoro menikmati akses mudah akan barang-barang asing terutama pisau dan golok sebagai kompensasi atas tuntutan para guru yang mulai mensosialisasikan agama Katholik melalui sekolah. Suku-suku asli lain dan pendatang suku Nusantara pun tertarik dan mulai berdatang¬an ke wilayah ini. Sensus Belanda tahun 1920 mencatat ada lebih dari 30.000 orang hidup di pesisir selatan wilayah kepala burung, Fak-fak, Kaimana, sampai Mimika. Terdiri atas 42 orang Eropa, 375 orang Tionghoa, 91 orang Arab, 1448 orang macam-macam suku Nusantara dan 28.056 penduduk asli.

Politik Dagang yang Membedakan

Toko kelontong Merpati di Serui selalu ramai dikunjungi pembeli. Selain lengkap, toko ini juga cukup besar. Yang membuatnya unik adalah meja dupa kecil terlihat di pojok toko, satu-satunya meja dupa yang bisa saya temukan di Serui. Keluarga Merpati -demikian masyarakat Serui menamakan mereka- termasuk sukses. Selain punya dua toko besar, mereka juga memiliki hotel dan restoran. Semua itu berawal dari jerih payah Chi Hoy Sam, perantau yang datang bersama isteri berkaki kecil dari Tiongkok.

Tak banyak yang ingat kegiatan Hoy Sam sebagai kapiten Tionghoa. Goan Piabon Mai, salah seorang sesepuh Tionghoa di Serui mengatakan bahwa Hoy Sam ditunjuk oleh komunitas Tionghoa untuk mengurus komunitas Tionghoa dan mewakili mereka di hadapan pemerintah Belanda. “Macam kapiten Tionghoa di Jawa… tapi kami yang mengusulkan, Belanda nurut saja,” katanya.

Piabon May juga tidak merasakan adanya perbedaan yang dibuat Belanda kepada etnis Tionghoa maupun etnis asli Papua seperti di Jawa. “Tidak ada kawasan khusus yang memisahkan kami dengan penduduk lokal. Dulu waktu zaman mencari damar justru kami tinggal di kampung-kampung.” Belanda juga tidak pernah menerapkan pajak khusus untuk perjalanan atau pajak konde. Di Batavia, sejak 1740 kebijakan passenstelsel diterapkan bagi etnis Tionghoa yang hendak berpergian ke luar distrik tempat tinggalnya. VOC juga menerapkan wijkenstelsel yang mengharuskan etnis Tionghoa tinggal di kawasan-kawasan khusus Tionghoa. Kebijakan inilah yang sering dituduh menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi etnis Tionghoa dengan suku lainnya.

Belanda tampaknya memang menerapkan sistem politik dagang yang berbeda di tanah Papua. Pada daerah jajahan lain, Belanda menguasai masyarakat melalui kepala adat atau kaum bangsawan. Di Papua, Belanda memakai guru sekolah dan pekerja gereja yang didatangkan dari Pulau Kei dan Manado untuk mengontrol masyarakat lokal.

Sejak pertama kali Belanda mendapat izin Kesultanan Tidore untuk menjejakkan kaki di Papua, mereka berharap dapat menemukan sumber kekayaan baru, seperti emas. Namun tak seorang pun penjelajah Belanda mampu memberikan laporan positif. Willem Jansz, tidak mampu menemukan keberadaan emas ketika pada 1605, selama satu tahun ia menyusuri pantai-pantai Papua de¬ngan hasil nihil. Ekpedisi kedua Belanda pada 1623 mengutus Jan Carstensz yang juga kecewa terhadap tanah dan penduduk asli Papua. Bukannya menemukan ‘harta karun’ yang mereka cari, ia malah bertemu dengan sekelompok suku pemakan manusia.

VOC yang tak punya minat sama sekali untuk membangun tanah ini kemudian membuat kesepakatan dengan Tidore sepanjang abad 17 dan 18 bahwa wilayah Papua tetap menjadi benteng Belanda untuk mencegah pengaruh Spanyol dan Inggris makin besar di timur Nusantara. Selain karena kebijakan pusat kolonial Belanda mengharuskan biaya serendah mungkin bagi penjelajahan Papua, para pejabat kolonial menganggap Papua sebagai wilayah yang tidak bisa diakses. Kontrol minimum dilakukan di beberapa wilayah pantai hanya untuk mengawasi saingan dagang dari negara Eropa lain. Tak seperti wilayah lain dimana Belanda berhasil mengeruk sebanyak mungkin hasil alam berkat politik devide et impera-nya, kehadiran orang Belanda di Papua cenderung bisa diterima baik oleh suku asli maupun suku pendatang lainnya dan tidak dianggap mengancam.

Usaha Belanda untuk membuka potensi pedalaman Papua terus-menerus gagal karena wabah penyakit dan sulitnya berkomunikasi dengan suku-suku asli. Baru di tahun 1930, ekspedisi Belanda baru berhasil menembus lembah Baliem. Namun sampai 1950, wilayah pedalaman tetap belum banyak terjamah. Laporan peme¬rintah Belanda pada 1951 bahkan masih mencatat Papua sebagai “tanah tandus, yang potensi pembangunannya terkendala oleh iklim tidak sehat, area-area buntu, dan kurangnya tenaga kerja”.

Berbeda dengan Belanda, para perintis Tionghoa di Papua melabuhkan cinta dan dunianya pada tanah yang ternyata kini sangat menjanjikan. Mereka hidup dan beranak-cicit, menciptakan generasi baru yang menyentuh perpaduan sosial dan budaya.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di blog penulis. Atas izin penulis, artikel ini diterbitkan di situs Suara Papua.

)* Penulis adalah Co-Founder Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE) bersama dr. Lie Darmawan dan aktivis lainnya melayani masyarakat yang tidak memiliki akses kepada fasilitas kesehatan.

Artikel sebelumnyaLagu ‘Mama Pasifika’, Ajakan Perempuan Harus Bangkit
Artikel berikutnyaTaman Eden Papua yang Sedang Menjerit Kesakitan