Makna Perdamaian Bagi Orang Asli Papua

Sebuah refleksi

0
4668

Oleh: Yohanes Kayame)*

Perdamaian selalu bermakna positif. Adanya perdamaian membangkitkan kesejahteraan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan yang dicari oleh manusia.

Menurut seorang filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, tujuan manusia hidup adalah kebahagiaan. Orang bekerja dan menyelesaikan segala sesuatu hanya untuk mendapat kebahagiaan. Kebahagiaan itulah menjadi motivasi dasar yang memacu adanya usaha, kerja keras, perjuangan hingga meneteskan air mata dan darah.

Setiap manusia menjalankan hidupnya untuk sebuah kebahagiaan. Orang Asli Papua (OAP) adalah manusia yang juga berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan dalam menata hidup secara harmonis, dalam konteks ini dikaitkan dengan usaha OAP dalam menjaga perdamaian dengan tiga pilar penting yakni Tuhan, alam dan sesama.

Penulis merefleksikan bahwa kebahagiaan dapat diperjuangkan melalui perdamaian manusia dengan tiga pilar. Yakni perdamaian dengan Tuhan, perdamaian dengan alam dan perdamaian dengan sesama. Ketiga pilar ini dianggap sangat mempengaruhi dalam segala aspek kehidupan OAP.

ads

Damai dengan Tuhan

OAP pada umumnya telah mengenal Allah sejak dahulu kala. Allah yang telah menciptakan bumi dan segala isinya. Misalnya, Allah dalam bahasa Mee adalah Ugatame yang artinya pencipta, atau Emoo dalam bahasa Migani, atau Walowa dalam bahasa Hubula.

Allah yang telah menciptakan langit, bumi dan semua manusia termasuk OAP yang hitam kulit dan keriting rambutnya. Para misionaris mengenalkan Allah Israel (Yahwe) kepada bangsa Papua yang pada saat itu masih kental dengan agama suku. Agama yang dianut oleh setiap suku di pelosok Papua. Agama yang dimaksud di sini adalah kontruksi kepercayaan akan realitas tertinggi dalam kebudayaan suku masing-masing. Kepercayaan akan adanya realitas metafisis yang ikut campur tangan dalam setiap aspek kehidupan orang Papua. Seringkali kita kenal dengan nama Animisme dan Dinamisme.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Sejak tanggal 5 Februari 1855, Injil masuk di Tanah Papua melalui Pulau Mansinam, Manokwari. Dua misionaris yang membawa Injil adalah Ottow dan Geissler. Kedua pendeta ini berusaha memperkenalkan Injil kepada Orang Papua yang sudah kental dengan agama-agama suku. Mereka mengenalkan Allah Israel (Yahwe) sebagai Allah yang senantiasa dipuji dan disembah yang akan membebaskan manusia dari segala perbudakan dosa.

Persatuan manusia dengan realitas yang tertinggi amat nampak dalam segala aspek kehidupan OAP. Sebelum Injil masuk pun mereka telah memiliki konsep Allah dalam sukunya masing-masing. Allah yang mereka kenal itu sama dengan apa yang diwartakan oleh para misionaris. Sehingga keintiman relasi antara Allah dengan OAP telah ada. Untuk itulah OAP mesti memperhatikan hubungan yang telah terjalin sejak lama dengan Allah. Apakah Allah masih mencintai orang Papua ataukah Allah sudah murka karena OAP sudah tidak menjalankan perintah-Nya.

Damai dengan Alam

OAP sangat dekat dengan alam. Alam ikut berperan aktif dalam eksistensi OAP. Alam telah ada bersama mereka. Alam menyediakan segala hal. Khususnya dalam hal ini tanah yang menjadi hak ulayat.

Baca Juga:  Tolak PSN, Transmigrasi dan Semua Kebijakan Kolonial Bergema di Sulawesi Utara

Menurut sejarah, tidak ada orang yang pernah ada sebelum OAP. Maka itu tanah Papua adalah tanah OAP yang sudah ada sejak dahulu kala. Para leluhur OAP juga telah menikmati alam Papua. Alam yang sama diwariskan kepada generasi ke generasi hingga pada generasi saat ini. Warisan leluhur ini merupakan harta yang tak sebanding dengan nilai rupiah, dollar dan jenis lainnya.

Masa depan dan identitas OAP akan ditentukan berdasarkan (alam) tanah yang adalah warisan para leluhur. Apa yang terjadi jika semua tanah dan kekayaan alam dijual? Mau injak kaki dimana, mau tinggal dimana, mau tidur dimana, mau dikuburkan dimana. Ketika tanah sudah dikuasai orang lain, dampaknya adalah orang Papua akan menderita di atas tanahnya sendiri. Maka mulai sekarang mesti sadar bahwa tanah dan segala isinya adalah warisan leluhur yang berharga. Nyatanya, orang Papua sudah mempraktekan jual tanah. Masyarakat asli setempat telah mengungsi ke tempat-tempat yang jauh dari kota. Hidup melarat dan susah untuk berproduktif, memanfaatkan alam demi hidup.

Penulis meyakini hal ini sebagai sebuah pelecehan hubungan manusia dengan alam yang sudah terjadi. Untuk itu, OAP mesti berdamai dengan alam, mencintai alam sebagai warisan leluhur yang ‘harga mati’ (tak bisa ditawar-tawar lagi).

Damai dengan Sesama

Manusia pada umumnya adalah makhluk sosial. Artinya manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam kehidupan bersama. Manusia pada hakikatnya tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Manusia juga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Makassar Mendesak Aparat Bebaskan Dua Massa Aksi dan Pendamping Hukum

Seseorang butuh orang lain untuk melengkapi setiap kelemahan yang dimilikinya. Kehadiran manusia lain memungkinkan adanya sebuah keharmonisan hidup. Misalnya pada zaman dulu, para nenek moyang Orang Papua hidup secara kelompok suku atau marga. Mereka bekerja sama mengumpulkan makanan, mencari kuskus, membuka lahan, menanam tanaman, membuat pagar, mencari ikan, dan lain-lain.

Komunitas yang mereka bangun berdasarkan pada nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Maka apa yang mereka lakukan adalah warisan para leluhur.

Nilai kebersamaan antar sesama di Papua patut dijaga keluhurannya. OAP mesti berdamai dengan sesama marga, suku dan ras. Ketika hal itu terjadi sebenarnya mereka melaksanakan budaya yang diwariskan oleh para leluhur sejak dulu. Kebersamaan ini mengandaikan adanya sebuah kedamaian. Ketika kebersamaan itu tercipta, di situlah mereka akan mendapat kebahagiaan.

Dengan demikian, penulis meyakini bahwa kebahagiaan bagi orang asli Papua akan tercipta ketika orang memperhatikan hubungan dengan Tuhan, alam dan sesama. Mereka harus berdamai dengan Tuhan, alam dan sesama. Tiga pilar ini membentuk identitas dan martabat. Ketika mereka sudah tidak memperhatikan tiga pilar ini, hancurlah identitas dan martabatnya. Untuk itulah, mereka mesti membangun relasi yang baik dengan tiga pilar diatas.

)* Penulis adalah Mahasiswa Semester VI pada STFT “Fajar Timur” Jayapura.

Artikel sebelumnyaMengenal Ikan Aneh yang Bisa “Berjalan”
Artikel berikutnyaAsrama Katolik Tauboria; Kandang Domba Tak Bergembala