Oleh: Hari Suroto)*
Sama seperti umumnya masyarakat adat di Tanah Papua, suku Mee juga memiliki busana tradisional yang sudah terkenal di dunia, yaitu Koteka. Busana tradisional ini dibuat dari bobe, sejenis buah labu.
Kita lihat saat ini generasi muda suku Mee yang tinggal di Nabire atau Kota Jayapura, sudah tidak mengenakan Koteka lagi.
Koteka adalah busana, sama halnya dengan batik.
Koteka dan Noken telah menjadi identitas suku Mee. Nasib Noken lebih bagus, karena sejak tanggal 4 Desember 2012 di Paris, Perancis, telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia yang diperjuangkan Titus Pekei.
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) adalah organisasi PBB yang mengurusi pelbagai hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Badan khusus PBB ini didirikan tahun 1945.
Setelah Noken, kini giliran Koteka saja yang perlu diperjuangkan lagi sebagai warisan dunia.
Namun perjuangan ini harus didukung oleh semua pihak, yaitu tetap mengenakan Koteka dalam kehidupan sehari-hari, baik pada saat ke kebun, pasar atau ke ibadah pada hari Minggu.
Tidak hanya oleh generasi tua saja, tetapi generasi milenial suku Mee juga sebagai bukti cinta budayanya.
Baca juga: Pakai Koteka ke Kampus, Mahasiswa Uncen Merasa Lebih Merdeka
Penggunaan Koteka ini berlaku untuk di wilayah Paniai, Deiyai, dan Dogiyai, tanpa kecuali.
Hal ini juga berlaku untuk wisatawan atau peneliti yang berkunjung ke kampung adat suku Mee.
Sebagai pengajar Arkeologi di jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, saya memperbolehkan mahasiswa suku Mee untuk mengenakan Koteka di ruang kelas.
Bagi saya, Koteka itu sama dengan batik.
)* Penulis adalah peneliti Balai Arkeologi Jayapura.