Oleh: Agustinus Kadepa)*
Catatan ini adalah lanjutan dari tulisan saya beberapa waktu lalu, dengan judul Literasi, Sekolah dan Bahan Bacaan.
Saya melakukan sebuah percakapan dengan seorang Dosen di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Uncen setelah lihat sebuah postingan foto kapak batu pada dinding Facebooknya, membuat penasaran untuk mengetahui fungsi lain, selain dijadikan sebagai kampak pada waktu lampau, tetapi hingga saat ini masyarakat Sentani masih menggunakannya.
Menurut ibu ini, kapak batu dulu dijadikan sebagai alat maskawin dan masih berlaku hingga kini. Kapak batu sebagai sebuah fungsi (nilai) yang tersisa dari semua alat tukar yang sudah punah dan tinggal kenangan.
Di daerah Meepago, sudah lupa akan alat tukar (Mege) hingga sekarang sudah melewati dua generasi dan Mege tinggal kenangan. Belum ada yang menuliskan cerita tentang Mege (kulit bia) yang pada saat itu difungsikan, sejarah kulit bia dijadikan sebagai alat tukar, nilai dari beberapa jenis Mege, dan lain sebagainya.
Setelah mengajukan pertanyaan: “Apakah alat (alat tukar, dan lain-lain) dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat bisa dimodifikasi dalam materi belajar di sekolah?. Menurutnya, dari pandang pribadi dan bagi pemerhati budaya justru perlu ada dalam bahan ajar.
Ada dua hal yang perlu disampaikan pada catatan ini, yakni apa bahan belajar di sekolah dan di Taman Baca sedang menjamur di Papua dan produk pengetahuan lokal yang sudah diajarkan secara lisan oleh orang tua adalah landasan literasi yang harus dikembangkan.
Kedua hal ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan dan berjalan masing-masing. Mengapa demikian?. Soal literasi lebih dikenal dengan baca tulis dan hitung. Setelah kenal huruf dan angka, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang mau dibaca, apa yang mau ditulis dan apa yang mau dihitung?.
Bahan Ajar Sekolah dan Taman Baca: Materi Kontekstual
Akhir-akhir ini, dengan dijadikannya program literasi di Nusantara, begitu banyak buku yang dikirim dari luar Papua, mulai dari buku cerita, novel, buku mata pelajaran, dan buku-buku lainnya melalui paket kiriman gratis setiap tanggal 17 tiap bulan. Padahal negara melalui Kementerian Pendidikan menyarankan agar bahan ajar untuk pendidikan dasar harus sesuai dengan daerah setempat (kontekstual).
Saat ini hampir semua sekolah sedang terpaku pada bahan ajar sesuai dengan silabus dari kurikulum tahun 2013 –bagi sekolah yang sudah menerapkannya– termasuk materi ajar di buku paket yang telah dicetak di sana (Kementerian Pendidikan). Sebenarnya esensi dari kurikulum 2013 telah memberi kewenangan kepada guru untuk menyusun sendiri bahan ajar dan memberikan buku paket sebagai contoh, tetapi guru tidak ambil pusing tentang inovasi guru dalam menyusun materi belajar siswa sesuai dengan kebutuhan anak-anak.
Padahal, “fungsi sekolah untuk mengajar anak didik untuk menghargai dan menghormati sistem sosial agar kelak bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat” (Anita Lie, Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan, 2005: hal. 17) ada di tangan guru yang mengajar atau relawan taman baca yang melakukan aktivitas belajar.
Materi ajar berkontekstual menjadi menjadi solusi dalam mengajar baca tulis dan hitung agar materi yang diajarkan tidak abstrak. Materi “kini dan di sini” akan membuat anak mengenal huruf dan angka sesuai dengan yang saat ini anak didik ketahui tentang semua yang telah diketahuinya sebelum anak diajar (membaca, menulis dan menghitung) yakni di lingkungan sekitar –di rumah dan di tempat bermain anak-anak.
Agar tidak melempar kesalahan atas temuan guru guru di sekolah atas pengakuan bahwa begitu banyak anak sekolah SMA yang belum bisa baca. Dan supaya tidak terjadi hal yang aneh, tetapi nyata ini di Tanah Papua, setiap sekolah dan taman baca masyarakat yang ada berkewajiban untuk ajar anak didik tentang baca, tulis dan hitung sampai memastikan bahwa anak didik mampu baca tulis dan hitung.
Tetapi dengan apa pendekatannya adalah tantangan selanjutnya yang harus diperdebatkan, dibicarakan, dan ajak para guru, aktivis dan pemerhati pendidikan untuk berinovasi dalam menemukan bentuk (baca, tulis dan hitung) yang tepat bagi anak-anak Papua saat ini.
Menjadi Guru: Inovator Konteks
Orang Papua hidup dari generasi ke generasi adalah akibat dari pendidikan alami yang orang Papua lakukan melalui lisan dan praktik (role model) kepada anaknya. Hanya melalui lisan dan guru (orang tua) menjadi model dalam melakukan semuanya dapat menghidupi diri orang Papua dari waktu ke waktu.
Sejak sekolah formal dibuka melalui Gereja GKI, Izaac Samuel Kijne mengembangkan pola belajar “Itu Dia” sebagai bahan ajar yang telah dikontekstualisasi sesuai dengan kebutuhan daerah, dan mempersiapkan anak Papua waktu itu (1925) menjadi pemimpin, guru, tukang, dan lain-lain. Pengetahuan yang dimodifikasi telah berhasil mencetak manusia Papua.
Sekarang dengan disediakannya buku paket dapat memanjakan guru untuk menginovasi bahan ajar dalam pengajarannya. Juga pengetahuan masyarakat telah dianggap muatan lokal dalam sistem pendidikan nasional, sehingga terhimpit dalam membangun pendidikan kontekstual di Tanah Papua.
Dalam himpitan itu, Yayasan Kristen Wamena (YKW) telah menginisiasi membuat Buku Paket Kontekstual Papua (BPKP) dan menyiapkan Guru melalui Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen Wamena (STKIP KW) untuk melakukan pengajaran di sekolah formal dengan menggunakan BPKP tersebut. Ini memberikan jalan untuk dapat melihat dan menjadi contoh yang baik untuk ditiru dan dimodifikasi dalam proses pembelajaran baik di sekolah maupun di taman baca yang dikembangkan.
Sekarang bukan saatnya mencari yang sempurna dengan berharap kepada pemerintah atau dinas terkait, tetapi justru mengumpulkan yang tersesak, melengkapi dari yang tersisa, dan menuliskan semua yang telah disalurkan kepada kita agar tidak hilang ditelan oleh modernisasi yang terjadi saat ini dan mulai mengajarkannya.
Akankah kita mendapat guru yang berinovasi dalam mengembangkan pendidikan kontekstual Papua? Apakah Uncen telah melakukan pembaharuan sistem dalam mendidik calon guru yang handal, yang siap menghadapi tantangan sosial dan membuat inovasi belajar kontekstual Papua?. Sejauhmana materi Papua diajarkan kepada calon guru?.
Kawan, bagaimanapun kerumitannya, kita harus memasyarakatkan literasi ke-Papua-an bersama.
Kita yang pernah tinggal di para-para adat, kita yang pergi ikut bapak ke hutan untuk bikin jerat, cincang pagar, ambil kayu bakar, kita yang pergi ke kebun bersama orang tua, dan kita yang pernah ada di honai laki-laki dan perempuan, emaage, kita yang pernah mendengar dongeng sebagai pengantar tidur malam, kita yang pernah dan sedang mendengar cerita tokoh-tokoh yang muncul dari setiap daerah di Papua dan kita yang sedang menggunakan bahasa daerah kita sendiri, berkewajiban untuk menuliskan cerita-cerita kita itu sebagai bahan yang sangat berharga dan di sana pasti muncul ke-Papua-an dalam dunia literasi yang tadinya adalah lisan menjadi tertulis.
Koyaoo….
)* Penulis adalah aktivis pendidikan Papua, pendiri Gerakan Papua Mengajar (GPM) dan pendiri Kelompok Belajar Ayago di kampung Tuguwai, distrik Aweida, kabupaten Paniai