Beternak Babi dan Jual Pinang Untuk Biayai Kuliah Anak

0
5569

DEKAI, SUARAPAPUA.com — Hasil dari kerja keras tak pernah sia-sia karena sudah pasti berhasil dan tentu merasa bahagia. Itulah yang dirasakan Habel Kabak, seorang peternak babi di Dekai, kabupaten Yahukimo.

Hasil peliharaan babi yang dilakukan Habel selama belasan tahun sudah membuahkan hasil dengan membiayai dua anaknya mengenyam pendidikan tinggi di Semarang, Jawa Tengah.

“Saya pelihara babi supaya hasilnya bisa membiayai anak-anak saya,” kata Habel Kabak pekan lalu saat ditemui di kediamannya di kota Dekai.

Pelihara babi, menurut dia, sebenarnya bukan hal baru karena ini budaya orang Papua terutama di kawasan pegunungan. “Beternak babi memang sudah menjadi kebiasaan kami di daerah ini,” ujarnya.

Habel mengaku beternak babi sudah dimulainya sejak tahun 2010 lalu.

ads

“Uang dari jual babi, saya kirim untuk uang kuliah dan uang makan bagi anak saya di Semarang,” ucapnya sambil memelas keringat di wajahnya.

Bukan tanpa masalah selama ia mencoba memelihara babi.

Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

“Banyak kendala yang saya hadapinya terutama soal makanan untuk babi,” lanjut Habel, “Setiap hari harus kami ambil di kebun, lalu bawa ke rumah dan dimasak sebelum dikasih makan.”

Dalam satu hari, menurut dia, makanan babi yang dibutuhkan sebanyak tiga sampai lima noken.

“Untuk mengantarnya dari kebun ke rumah, saya selalu pakai ojek dan biaya ojeknya sebesar 50 sampai 60 ribu rupiah,” Habel mengisahkan pekerjaan setiap hari.

Dari usaha yang dilakukan, saat ini jumlah induk babi ada lima ekor. Tiga ekor diantaranya berumur sembilan tahun. Jika dijual harganya bisa mencapai Rp50 juta per ekor. Sedangkan dua ekor lagi baru lima tahun.

Dari hasil ternak babi, Habel berhasil menyekolahkan anaknya yang kedua di perguruan tinggi ternama di Papua, yaitu Universitas Cenderawasih (Uncen). Bahkan telah menyelesaikan proses pendidikan Pascasarjana pada jurusan Auditor, dan berhasil wisuda pada tahun 2013 lalu.

Habel juga menceritakan kendala lain yang dihadapi, selain soal makanan babi. “Kendala besar itu ketika babi-babi sudah sakit. Kami biasa kewalahan,” ucapnya.

Baca Juga:  Ini Alasan Lampu PLTD Lanny Jaya Tidak Menyala Selama Lima Bulan

Apalagi, lanjut dia, hingga kini tak ada dokter hewan di Yahukimo. Akibatnya, hewan peliharaannya sakit hingga mati.

Karena itu, ia minta kepada pemerintah daerah untuk mendatangkan dokter hewan di Yahukimo agar hewan-hewan peliharaannya bisa diobati.

Harapan lain, pemerintah perlu perhatikan orang asli Papua yang ingin beternak babi, terutama yang kesulitan modal usaha.

Selama ini Habel tak sendirian dalam mengurus babi-babi terutama untuk potong hingga masak makanan babi, juga membersihkan kandang babi. Ia bekerja dibantu istrinya bersama kedua anaknya. Saat ini dua anak itu masih di bangku SD dan SMP.

Sebagai orang tua, ia berharap kepada anaknya yang kuliah di Semarang supaya bisa selesaikan kuliah tepat waktu. “Selesaikan sesuai target yang sudah ditentukan. Dan dengan hasil kerja keras ini anak bisa wisuda dan pulang membawa gelar. Itu saya senang sekali,” tuturnya.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Sementara itu, Nerien Payage, istri dari Habel Kabak, mengatakan, selain pelihara babi, untuk membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan sehari-hari keluarga, ia berjualan pinang di depan rumah.

Biasanya pinang dijual di para-para kecil yang dibuat dengan lima lembar papan dan ditutupi sehelai seng agar terlindung dari hujan dan terik panas matahari.

Pinang yang dijual, kata dia, didatangkan dari Jayapura. Biasa dikirim oleh anak perempuan yang ketiga. Dibeli dengan Rp1 Juta dan diisi di karung besar, lalu dikirim ke Dekai.

“Ongkos kirimnya tergantung berat kilo di cargo. Rata-rata 980 ribu rupiah,” katanya.

“Satu tumpuk pinang buah yang besar seharga 20 ribu, terus ada yang kecil seharga 10 ribu rupiah.”

Untuk keuntungannya, kata Nerien, tergantung jumlah pembeli. “Selama satu minggu biasanya dua juta, paling banyak empat juta,” urainya.

Pewarta: Ruland Kabak
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaSMK Agrowisata di Koya Perlu Diperhatikan
Artikel berikutnyaGempaR Launching Buku Tentang Sejarah Perlawanan Mahasiswa Papua