BeritaPepera 1969 Melanggar HAM OAP Atas Tindakan Amerika dan Indonesia Yang Melibatkan...

Pepera 1969 Melanggar HAM OAP Atas Tindakan Amerika dan Indonesia Yang Melibatkan PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari merekomendasikan penyelesaian masalah Papua perlu dilakukan melalui dialog yang didukung pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilias (KKR) sesuai amanat Pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.

Sehingga mekanisme penyelesaian masalah harus dimulai dengan cara-cara yang bermartabat menurut hukum dan demokrasi di dunia.

Peryataan ini berkaitan dengan terjadinya Act of Free Choice yang berubah menjadi Act of No Choice 50 tahun lalu di Manokwari yang dilaksanakan pada 29 Juli 1969-29 Juli 2019.

“Hari Senin 29 Juli 2019 diperingati sebagai hari dimana 50 tahun lalu (Selasa 29 Juli 1969) telah berlangsung Act of Free Choice atau Pepera bertempat di Gedung Wilhelmina (kini Kantor DPR Papua Barat) di Jalan Siliwangi-Manokwari,” kata Yan Christian Warinusi, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari melalui release yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Senin (29/7/2019).

Menurutnya, ketika itu rupanya di Manokwari terdapat 75 oang wakil yang terpilih dan sebelumnya hampir lebih dari sebulan di “karantina” di kompleks Fasharkan TNI Angkatan Laut yang kala itu disebut Konatal, Sanggeng-Manokwari.

Mereka dipisahkan dari keluarganya dan tidak bebas bertemu keluarga dan sanak familinya serta di “indoktrinasi” dan ditunjuk sekitar 7 orang diantaranya untuk membacakan pernyataan sikap atas nama orang Papua untuk memilih tetap bersama Negara Republik Indonesia.

Penduduk di Manokwari saat itu berjumlah 49.874 jiwa yang diwakili hanya oleh 75 orang tersebut, sementara penduduk di Irian Barat (Tanah Papua) ketika itu berjumlah kurang lebih 800 ribu jiwa yang total diwakili hanya oleh 1.025 orang, termasuk 75 orang di Manokwari.

Baca juga: Keputusan PBB Soal Papua Tidak Mengikat, Jokowi Diminta Berdialog Dengan ULMWP

Baca Juga:  Asosiasi Wartawan Papua Taruh Fondasi di Pra Raker Pertama

Dengan demikian kata Yan, sesuatu tindakan sadar yang menurut kajian LP3BH nyata-nyata melanggar amanat Pasal XVIII huruf d, dari Perjanjian New York Agreement tanggal 15 Agustus 1963.

Sebelumnya katanya, Pepera sudah dilaksanakan di Merauke pada Senin, 14 Juli 1969; Wamena Rabu, 16 Juli 1969; Nabire, Sabtu 19 Juli 1969; Fakfak Rabu, 23 Juli 1969 dan Sorong Sabtu, 26 Juli 1969. Kemudian setelah Manokwari, Selasa 29 Juli 1969. Lalu dilanjutkan di Biak Kamis, 31 Juli 1969 dan terakhir di Jayapura Sabtu, 2 Agustus 1969.

“Sayang sekali, karena dalam pelaksanaannya sebagaimana dicatat oleh Prof.P.J.Drooglever dalam bukunya : EEN DAAD VAN VRIJE KEUZE, De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en den grenzen van het zelsbeschikkingrechts atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, disebutkan bahwa telah terjadi tindakan pelanggaran atas amanat Pasal XVIII huruf d dan juga Pasal XXII mengenai Hak-hak penduduk dari New York Agreement tersebut.

Bahkan Dr.John Saltforrd dalam hasil penelitiannya berjudul : Keterlibatan PBB Dalam Penentuan Nasib Sendiri di Irian Barat 1968 – 1969 disebutkan pada halaman 19,…Persetujuan New York mengatur bahwa Belanda, Indonesia dan PBB berkewajiban untuk melindungi hak-hak politik dan kebebasan orang-orang Papua, dan untuk memastikan bahwa suatu tindakan penentuan nasib sendiri dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional.

Untuk kedua hal ini, ketiga pihak tersebut telah gagal, dan hal itu dilakukan secara sengaja karena penentuan nasib sendiri yang sebenarnya tidak pernah dilihat sebagai opsi oleh ketiga pihak tersebut ketika Persetujuan New York ditanda tangani.”

Seruan aksi AMP dan FRI West Papua. (IST – SP)

Khusus di Manokwari berdasarkan studi LP3BH Manokwari pada 2000, katanya ditemukan data bahwa pada hari, Senin 28 Juli 1969 telah terjadi tindakan yang diduga keras merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan bersifat genocida yang melibatkan aparat keamanan militer Indonesia (TNI). Yaitu terjadi eksekusi kilat (summar execution) terhadap kurang lebih 53 orang warga sipil Orang Asli Papua (OAP) di Arfay-Manokwari.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Penelitian itu relevan dengan dibukanya (dideklasifikasi) ribuan halaman komunikasi kabel; antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta dari tahun 1960-an. Dimana terindikasi kuat bahwa asumsi dari temuan studi LP3BH tersebut benar adanya.

Di dalam dokumen tersebut juga tersirat fakta jika pejabat Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Rixchard Nixon ketika itu menyimpulkan bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua dicurangi oleh Indonesia untuk keuntungan negara itu sendiri.

Namun dokumen itu juga mencatat bahwa Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat menasihati Presiden Nixon untuk mengungkapkan pengertian dan pemahaman tentang aneksasi tersebut, saat berkunjung ke Jakarta.

LP3BH dalam kajiannya menemukan fakta dalam bukunya Dr.Greg Poulgrain berjudul : Bayang Bayang Intervensi, Perang Siasat John F.Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno pada halaman 235 bahwa politikus Amerika Serikat menganggap prinsip PBB melalui usulan mantan Sekretaris Jenderal Dag Hammarskjold yang berjudul West Papua for West Papua akan menjadi penghalang bagi kepntingan Amerika Serikat dalam sengketa kedaulatan atas tanah Papua.

Dimana dalam halaman 239 tertulis ”Bunker menyampaikan dengan tegas kepada van Roijen bahwa negosiasi itu sangat penting bagi stabilitas dan perdamaian dunia, dan dengan demikian Amerika Serikat berkomitmen pada ide untuk melihat wilayah itu (West Papua/Irian Barat) dipindahkan lebih dahulu sebelum terjadi penentuan nasib sendiri bagir akyat Papua. Dengan kata lain , pemungutan suara tidak lebih dari tindakan untuk menyelamatkan muka Belanda saja, bukan sebagai ungkapan penuh arti dari kebebasan bersuara rakyat Papua.”

Baca Juga:  Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

Kemudian jelasnya, hasil dari pelaksanaan “Pepera” tersebut dicatat di dalam Resolusi PBB No.2504 yang berisi :

  1. Mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal (PBB) dan memahami dengan penghargaan pelaksanaan tugas oleh Sekretaris Jenderal dan wakilnya (Dr.Ortiz Sans) dipercayakan kepada mereka sebagaimana tercantum di dalam persetujuan tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda;
  2. Menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui cara-cara lain kepada pemerintah Indonesia di dalam usaha-usahanya untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat.

Dari sisi hukum internasional kata Yan, LP3BH Manokwari melihat bahwa isi resolusi PBB No.2504 tersebut sama sekali tidak membicarakan tentang Status Politik Irian Barat (Tanah Papua) ketika itu dan hingga hari ini.

Catatan penting adalah :

  1. PBB tidak secara tegas mengakui dan mengesahkan hasil act of free choice atau Pepera di Papua Barat.
  2. PBB tidak menyatakan bahwa Papua Barat harus dihapuskan dari daftar daerah dekolonisasi dan menjadi wilayah integrasi NKRI.
  3. Resolusi tersebut tidak ditanda tangani delegasi negara-negara anggota PBB dan PBB hanya mencatat resolusi tersebut dalam buku agenda PBB dengan nomor 2504. Singkatnya, status politik Tanah Papua (Papua Barat/Irian Barat) tidak terikat dalam resolusi PBB tersebut.

Inilah Akar soal yang mengakibatkan seringkali terjadi tindakan represif terhadap rakyat Papua Barat dari waktu ke waktu hingga saat ini dan itu telah diakui dan diatur dalam konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan UU RI No.35 Tahun 2008, bahwa Negara Indonesia mengakui Tanah Papua dan Orang Asli Papua memiliki sejarah sendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Pewarta : Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

0
Pengungsian internal baru-baru ini dilaporkan dari desa Komopai, Iyobada, Tegougi, Pasir Putih, Keneugi, dan Iteuwo. Para pengungsi mencari perlindungan di kota Madi dan Enarotali. Beberapa pengungsi dilaporkan pergi ke kabupaten tetangga yakni, Dogiyai, Deiyai, dan Nabire.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.