AUCKLAND, SUARAPAPUA.com — Sebuah kelompok relawan di Papua Barat Indonesia melaporkan sebanyak 182 warga sipil meninggal karena kekerasan di pegunungan tengah Papua.Â
Namun militer tetap skeptis terhadap angka-angka itu, yang terjadi ketika perang antara pemberontak dan negara menunjukkan tanda sedikit berakhir.
Sejak Desember sesuai laporan dari Tentara Pembebasan Papua Barat (TPN-PB) dan sejumlah relawan yang membantu warga sipil mengindikasikan bahwa ribuan orang telah melarikan diri dari konflik yang berpusat di sekitar Kabupaten Nduga.
Pekan lalu, kelompok bantuan yang bernama Tim Solidaritas Kemanusiaan Untuk Nduga menyebutkan sedikitnya 182 orang dari kabupaten tersebut meninggal dunia karena kelaparan dan penyakit di kamp-kamp pengungsian.
Ini naik dari perkiraan bulan Juli 2019 yang berjumlah 139 kematian, dan kelompok ini saat ini telah memperkirakan puluhan ribu orang terlantar.
Di antara yang tewas katanya, sebanyak 92 adalah anak-anak, sementara ada lebih dari 3.400 anak sekolah di antara pengungsi tidak dapat melanjutkan pendidikan.
Mengutip data dari sebuah gereja, tim sukarelawan LSM dan kesaksian dari para pengungsi menunjukan bahwa diperkirakan lebih dari 34.000 orang telah melarikan diri dari Nduga.
Sejak operasi militer dan polisi dimulai di Nduga setelah serangan pemberontak pada Desember 2018, relawan yang membantu pengungsi menyatakan, Â “ada sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah dan pusat kesehatan yang telah rusak atau terbakar, termasuk rumah penghuni “.
Tetapi seorang juru bicara militer Indonesia, Eko Daryanto, mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa data itu mungkin salah ditafsirkan. Menurut data pemerintah, hanya 53 orang yang tewas di kamp-kamp pengungsian.
Tim Solidaritas untuk Nduga telah menyerukan penarikan segera polisi dan militer di Nduga, dan bagi pemerintah untuk membuka akses ke wartawan, kelompok hak asasi manusia dan pekerja kemanusiaan.
Sumber: radionz.co.nz
Editor: Elisa Sekenyap