BeritaTino Hanebora: Perlu Ada Evaluasi Soal Status Tanah Adat

Tino Hanebora: Perlu Ada Evaluasi Soal Status Tanah Adat

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Sekertaris besar suku Yerisiam Gua, Robertino Habebora mengingatkan aparat keamanan dan warga transmigran, agar tidak mendirikan bangunan dan membuat kebun di wilayah transmigrasi, tanpa seizin dari pemilik hak ulayat. 

Tino mengatakan, selama ini aparat keamanan dan warga trans serta-merta mengklaim wilayah-wilayah masyarakat adat secara berlebihan, dan itu selalu terjadi sampai sekarang seperti di kampung Wanggar Sari, Wiraska, Jaya Mukti, Jaya Makmur dan Wami Jaya.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Manado Minta Komnas HAM RI Investigasi Kematian Goliat Sani di Intan Jaya

“Tanah  ini  statusnya  masih  wilayah masyarakat  adat, karena  belum  ada kejelasan  dari  pemerintah  yang  bersifat  signifikan  dalam  menyelesaikan  status tanah-tanah  itu,” ujar  Tino, Kamis (8/8/2019).

Perlu ada evaluasi antara pemerintah dan masyarakat adat, supaya ada keterbukaan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Selain itu, Yustina Yoweni warga di kampung Wanggar Sari mengatakan Pemkab Nabire belum pernah injak di daerah satuan pemukiman (SP) untuk melihat langsung masalah ini, sedangkan TNI/Polri dan warga transmigran di sini, bergotong royong membuat apa saja yang mau.

Baca Juga:  Dinilai Bermasalah, Senator PFM Tolak Mutasi Kapolres Bintuni Jadi Kabid Propam Polda PBD

“Ini  kan  tanah  adat  kami, tanah  dari  leluhur  kami, jika  mereka  mau  mendirikan  bangunan, ya  harus  ada  pelepasan  secara  adat  dulu, jangan  main  hakim  sendiri,” ujarnya.

Diketahui, selama ini terdapat beberapa pos TNI) Polri dan perluasan tanah adat oleh warga transmigran yang sering menimbulkan pertengkaran dengan orang asli Papua di Nabire, sebagai pemilik hak ulayat.

Baca Juga:  Kebijakan Gubernur Papua Tengah Soal Keberpihakan Terhadap Honorer OAP Diapresiasi Senator Lis Tabuni

Pewarta: Yance Agapa 

Editor: Arnold Belau 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.