Mahasiswa Papua di Surabaya Mengaku Diteriaki ‘Monyet’

2
13988

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Mahasiswa Papua yang sedang dikepung di asrama mahasiswa Papua Surabaya mengaku dimaki dengan kata-kata kotor, kasar dan diteriaski ‘monyet’ oleh warga dari berbagai ormas yang sedang mengepung asrama tersebut.

Dolly Iyowau, salah satu mahasiswi Papua yang berada di asrama Papua Surabaya, juga pengurus Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengaku mendengar kata-kata makian, cacian dan kata-kata ancaman yang dikeluarkan untuk dua mahasiswi dan 13 orang mahasiswa yang berada di asrama tersebut.

“Dorang bikin yel yel di depan asrama dengan kata-kata ‘pulangkan ke papua’, lalu mereka juga bilang kami ‘monyet’, bahkan diteriaki kotoran manusia dan masih banyak kata-kata makian,cacian dan rasis yang dilontarkan pada kami,” ungkap Iyowau kepada media ini pada Jumat, (16/8/2019) malam dari Surabaya, Jawa Timur.

Ia mengatakan, untuk kondisi saat ini sudah sedikit meredah. Sudah tidak banyak yang melakukan yel-yel, teriak-teriak dan lempar ke asrama seperti yang dilakukan pada sore hari di awal kejadian.

Baca Juga:

ads

 BREAKING NEWS: Asrama Mahasiswa Papua Didatangi Aparat dan Ormas

Mahasiswa Papua: Massa Makin Banyak dan Kami Masih Terkurung

Sikapi Pengepungan di Surabaya, Mahasiswa Papua Bikin Aksi Spontan di Depan Polda DIY

“Di depan asrama kami lihat sudah tidak banyak massa. Ada aparat yang sedang berjaga-jaga. Kami belum bisa keluar dan membuka pintu gerbang. Karena masih takut dengan tekanan yang dilakukan sejak sore,” jelasnya.

Baca Juga:  Penolakan Memori Banding, Gobay: Majelis Hakim PTTUN Manado Tidak Mengerti Konteks Papua

Kasus rasisme terhadap orang Papua yang dilakukan oleh orang Indonesia bukan baru pertma kali terjadi. Bukan juga untuk yang terakhir kalinya.

15 Juli 2016 – Asrama Mahasiswa Papua Yogyakarta

Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) Yogyakarta hendak turun jalan untuk mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar masuk menjadi anggota Melanesia Spearhead Group (MSG) dan menyatakan bahwa hak menentukan nasib sendiri adalah solusi paling demokratis bagi rakyat bangsa Papua.

Massa aksi berkumpul di Asrama Kamasan I Papua, Jl. Kusumanegara, Yogyakarta. Tapi sejak pagi, 15 Juli 2016, pantauan suarapapua.com, polisi sudah memadati jalan depan asrama. Sebanyak 5 truk Sabhara disiagakan di sekeliling asrama Papua.

Aris Yeimo, presiden Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) di DIY menjelaskan, semua ini sangat disayangkan. Karena tindakan-tindakan rasial yang terjadi justru terjadi di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan dan berbudaya.

“Semua ini terjadi di Yogyakarta yang adalah kota pluralisme, dan kota barometer penegakkan HAM dan demokrasi di Indonesia. Di kota Jogja ini, kami mahasiswa Papua diteriaki monyet,” tegas Yeimo.

Baca Juga:Mahasiswa Papua: Di Yogyakarta Kami Diteriaki Monyet

1 Desember 2018 – Kantor LBH Jakarta

Ratusan mahasiswa Papua di Jakarta ruang geraknya dibatasi polisi agar tidak melakukan aksi. Dalam aksi tersebut oknum anggota polisi menyebut pendemo yang mayoritas mahasiswa Papua dengan kata “monyet”.

Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani

Ambo Mulait, aktivis Alianasi Mahasiswa Pegunungan Tengan Papua (AMPTPI) yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan, aparat tidak mengizinkan mahasiswa demo ke beberapa tempat yang menjadi tujuan demo.

Ambo mengungkapkan, saat demo berlangsung, polisi sempat mengeluarkan kata-kata kotor dan rasis kepada mahasiswa Papua dan solidaritas yang saat itu hendak pergi demo.

“Tadi aparat rasis juga terhadap kawan-kawan solidaritas indonesia yang dukung Papua merdeka dengan kata ‘anjing’. Dan bilang kami ‘monyet’. Ini menunjukkan sikap aparat dan Indonesia yang masih rasis terhadap kami orang Papua,” ungkapnya.

Baca Juga: Kepung LBH Jakarta, Polisi Bilang Pendemo “Monyet”

Sikap FKOG-GP Atas Rasisme Indonesia Terhadap Orang Papua

Pada tanggal 26 Juli 2018, menyikapi peristiwa penyisiran yang dilakukan pihak kemanan melalui udara di Kampung Alguru, Keneyam, Kabupaten Nduga, Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua (FKO-GP) mengeluarkan laporan pendahuluan berisi kajian dan seruan atas peristiwa tersebut.

Dalam menyikapi situasi di Nduga saat itu, FKOG-GP juga menyinggung soal tindakan rasisme orang Indonesia terhadap orang Papua.

Forum melihat kekerasan-kekerasan ini terjadi didasari pada pandangan rasis Indonesia terhadap Papua. Rasisme itu semakin tampak nyata di social media yang antara lain menjuluki dan merendahkan orang Papua seperti hewan.

Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

“….kekerasan terhadap masyarakat Nduga hari ini adalah bagian dari rangkaian siasat/ kekerasan negara yang rasis menaklukkan “pikiran orang Papua yang tidak mempercayai pemerintah Indonesia; lantaran memposisikan Indonesai sebagai penjajah” yang sedang mengobrak abrik Papua.”

“Menghadapi perkembangan demikian: kami bertanya: mengapa Pemerintah bisa berdialog dengan GAM Aceh tetapi enggan mengambil langkah yang sama untuk berdialog dengan ULMWP dimediasi pihak ke 3; sebagamana yang pernah Pemerintah lakukan dengan GAM Aceh? Mengapa pemerintah Indonesia bisa melibatkan melibatkan pihak internasional untuk menyelesaikan masalah Aceh secara permanen, tetapi enggan untuk melakukan langkah yang sama? Rasisme? Agamaisme? Melalui Seruan ini kami ajak semua pihak untuk menolong kami (bangsa Papua) menjawab pertanyaan ini.”

Baca Juga:Forum Oikumenis Gereja: Hentikan Rasisme Terhadap Orang Papua!

Menurut forum, kekerasan-kekerasan (yang terjadi dan dialami orang Papua) ini yang didasari pandangan rasis Indonesia terhadap Papua: yang belakangan ini mengemuka dalam social media (yang terakhir sebagai mana di kutip di atas pada awal tulisan ini) dan yang terungkap dalam bahasa /ujaran rasis masyarakat sipil Indonesia terhadap Papua.

Selain ungkapan rasisme langsung yang dilontarkan kepada orang Papua, kata-kata rasisme orang Indonesia terhadap orang Papua sudah sering terjadi terhadap orang Papua, terutama rasisme terhadap orang Papua dilakukan lewat dunia maya.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaSikapi Pengepungan di Surabaya, Mahasiswa Papua Bikin Aksi Spontan di Depan Polda DIY
Artikel berikutnyaKNPI Papua Minta Pemerintah Indonesia dan Pemprov Lindungi Mahasiswa Papua