Nestapa Deiyai

1
1978

GUBERNUR Provinsi Papua, Lukas Enembe, pernah juluki Deiyai gudangnya intelektual Suku Mee. Tak salah memang dengan penyebutan ini. Banyak putra dan putri asal Deiyai sukses di bidangnya. Sukses akademiknya, juga sukses kinerjanya di dunia kerja. Kontribusi mereka nyata bagi Indonesia, khususnya Papua.

Meskipun begitu, Kabupaten Deiyai juga pusat pertumpahan darah. Ya, penembakan kerap terjadi di daerah pemekaran dari Kabupaten Paniai tahun 2008 ini. Sudah banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemilik negeri bertumbangan. Duka lara akibat letusan senjata seakan tiada habisnya.

Ini bermula sejak puluhan tahun silam. Contoh kasus, Moses Douw, seorang warga sipil di Waghete, tewas ditembak aparat keamanan, Jumat (21/1/2006). Dalam tragedi itu juga melukai tubuh Petrus Pekei dan Yulike Kotouki.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, insiden berdarah 1 Agustus 2017 di Kampung Bomou, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai. Yulianus Pigai (27), warga sipil, tewas di ujung bedil. Delapan orang lainnya mengalami luka tembak.

Sanksi buat empat orang pelaku, menurut keluarga korban dan berbagai pihak, sangat ringan karena tak setimpal perbuatan mereka. Pelaku yang nota bene anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diberi sanksi minta maaf pada sidang komisi kode etik Polri, Rabu (30/8/2017). Mereka dipindahtugaskan ke jabatan berbeda selama setahun.

ads
Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Hukuman ini sangat mengecewakan bila disandingkan dengan regulasi yang ada, karena pelaku dituding melanggar berbagai ketentuan peraturan mengenai standar operasional prosedur (SOP) penggunaan senjata api.

Tindakan penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan tugas kepolisian, tindakan ketidakprofesionalan anggota di lapangan hingga merenggut nyawa warga sipil dengan letusan peluru tanpa didahului pendekatan persuasif, membuktikan nyawa orang Papua tak berharga di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peristiwa berdarah berikutnya, Selasa (21/5/2019). Melianus Dogopia (18) dan Yulianus Mote (18) di kota Waghete, tertembak peluru. Yulianus Mote tewas di tempat.

Semua kasus penembakan selama ini di Tanah Papua, dari data dan kesaksian yang terungkap ke publik, hampir sama motifnya. Seperti kasus Oneibo berdarah, pelaku bersama institusinya gemar berkilah dengan kata sakti: “terpaksa”. Ya, terpaksa tembak mati orang Papua!.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Alasannya juga klise: Tembakan peringatan!. Tembakan ke udara!. Hanya peluru karet!. Diserang massa!. Itu alasan basi, bukan?. Alasan inilah yang selalu dipakai buat cari lolos dari sorotan dan kecaman publik. Cari lolos supaya bisa membela diri bahwa tindakan menembak mati orang Papua sudah benar dan tepat.

Media massa ramai memberitakan tragedi berdarah ini. Sayangnya, pelaku dan institusi sulit mengaku bersalah. Malah persalahkan warga sipil. Lalu, hanya sampaikan permohonan maaf kepada masyarakat beserta keluarga korban.

Hingga kini kasus-kasus pelanggaran HAM belum satupun diproses di meja hijau. Para pelaku seperti sudah kebal hukum.

Lagi-lagi cucuran darah kembali membasahi bumi Deiyai.

Rabu, 28 Agustus 2019, aksi damai jilid kedua menentang rasisme di halaman kantor Bupati Deiyai, berujung ricuh hingga jatuh korban di pihak massa aksi maupun aparat keamanan. Berbeda dengan aksi damai pertama yang berlangsung aman.

Aksi damai kedua memakan korban. Sejauh ini belum ada data valid berapa korban luka-luka maupun yang meninggal dunia. Tetapi, insiden berdarah ini mengingatkan kita panjangnya daftar tragedi berdarah yang terjadi selama ini.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Gelombang aksi massa dilakukan di hampir seluruh Tanah Papua. Termasuk di Deiyai. Semua pihak memprotes ujaran rasisme yang dialami mahasiswa Papua di kota studi Surabaya, Malang dan Semarang beberapa waktu lalu.

Selayaknya sebagai warga negara memprotes hal yang dirasa menyakitkan, malah direspon dengan tembakan mematikan. Apakah tak ada pendekatan lain menghadapi massa aksi sekalipun datang dalam emosi dan tensi tinggi?.

Disambut dengan penembakan hingga jatuh korban, pertanda rasisme masih harus dipupuk di negara dengan aneka suku, budaya, bahasa dan kearifan lokal. Lantas, apalah artinya “Bhinneka Tunggal Ika” jika akhirnya harus begini?.

Bisakah dengan demikian nasionalisme Indonesia kian kokoh di Tanah Papua?. Entahlah. Yang pasti, tragedi berdarah membawa rasa duka nestapa bagi keluarga korban. Masyarakat hidup dalam ketakutan. Trauma kian berkepanjangan. Tak bisa bebas beraktivitas. Juga, dampak ikutan lainnya.

Ingat, Deiyai –begitupun daerah lain di seluruh Tanah Papua– bukanlah medan perang. Bukan pula killing field, ladang pembantaian anak-anak Tuhan. ***

Artikel sebelumnyaGereja Katolik: Delapan Warga Sipil dan Satu Anggota TNI Tewas dalam Insiden Deiyai
Artikel berikutnyaPolitik Wiranto Adu Domba Antara Jakarta dan Papua