Politik Wiranto Adu Domba Antara Jakarta dan Papua

0
3484

Oleh: Paskalis Kossay)*

Narasi besar dalam judul tulisan ini saya sengaja paparkan disini supaya kita orang Papua harus paham siapa sebenarnya orientasi berpikir Wiranto tentang masalah Papua hari ini.
Coba kita cermati baik pernyataan Wiranto dalam konferensi pers penanganan masalah Papua di Jakarta ( 3/9-2019 ) hari ini. Dalam rilisnya, Wiranto membeberkan keberhasilan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Papua dan Papua barat.

Wiranto mengklaim, pemerintah Indonesia telah mengucurkan sejumlah besar dana Otsus untuk membangun sarana prasarana sosial, pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat Papua. Secara kuantitatif dari tahun ke tahun perkembangan pembangunan Papua terus meningkat, kata Wiranto.

Wiranto juga menegaskan, tidak ada ruang lagi dialog untuk meminta referendum atau merdeka memisahkan diri dari Indonesia. Alasannya, referendum sudah selesai dilaksanakan tahun 1969 sesuai kesepakatan PBB dan hasilnya sudah ditetapkan melalui resolusi PBB 2454. Sehingga Wiranto meyakini, tidak mungkin PBB membuka kembali keputusan yang sudah final yang direstui oleh semua negara anggota PBB. Kalau dibuka pasti akan menimbulkan kekacauan kedaulatan negara – negara didunia.

Baca Juga: Gereja Katolik: Delapan Warga Sipil dan Satu Anggota TNI Tewas dalam Insiden Deiyai

ads

Poin yang perlu digarisbawahi adalah narasi bahwa referendum sudah selesai dilaksanakan tahun 1969 ini. Sebab referendum 1969 inilah merupakan salah satu akar masalah Papua yang sampai hari ini sedang dipersoalkan.

Orang Papua menilai, referendum 1969 itu dilaksanakan tidak sesuai dengan mekanisme PBB yang disepakati dalam New York Agreement 15 Agustus 1962 dengan sistem one man one vote. Tetapi prateknya dilaksanakan dengan sistem ala Indonesia, yakni musyawarah mufakat hanya diwakili oleh 1.025 orang dari 800 ribuan jiwa orang Papua ketika itu. Dan dengan tekanan serta intimidasi kekuatan militer yang berlebihan kepada 1.025 orang perwakilan tersebut untuk harus menyatakan ikut Republik Indonesia.

Baca Juga: Perdana Menteri PNG Kutuk Pembunuhan di West Papua

Fakta sejarah ini menjadi memori kolektif orang Papua untuk menggugat kembali mekanisme dan prosedur pelaksanaan referendum 1969 yang tidak sesuai dengan kesepakatan New York Agereement tersebut maka orang Papua terus bersuara meminta referendum ulang.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Memang agak sulit disetujui oleh pemerintah Indonesia masalah referendum ini, namun dampak politik dari tuntutan referendum ini sudah cukup banyak bahkan ribuan nyawa orang Papua dibunuh ditangan militer Indonesia.

Banyak pemberontakan muncul dimana-mana hanya menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia melalui jalan referendum. Akhir-akhir ini mulai mengemuka isu referendum Papua menjadi isu politik terpanas berkembang di persada nusantara maupun di fora internasional. Indonesia dengan isu refrendum ini dibuat seperti bingung apa yang harus ditangkis .

Sepertinya sudah kehilangan akal sehingga sulit berargumentasi yang logis berdasar fakta dan data. Hal ini bisa terbaca jelas dari tuduhan bahwa aksi – aksi demo rakyat Papua belakangan ini ada yang ditunggangi kepentingan politik lain.

Bahwa pemerintah harus tahu, kalau isu referendum itu bukan baru muncul, tetapi merupakan isu lama yang terus didaur ulang sesuai jaman dan generasi. Karena itu oleh generasi Papua sekarang isu referendum ini sudah menggaungkan gema dan getarannya sampai ke telinga para pejabat tinggi PBB maupun para tokoh dunia. Maka masalah Papua tidak lagi antara Papua dengan Indonesia tetapi sudah menjadi masalah dunia.

Baca Juga: ICJR dan ELSAM Minta Aparat Penegak Hukum Hati-Hati Menggunakan Ketentuan Makar Untuk Aktivis Papua

Oleh karena itu , pemerintah Indonesia hendaknya menyikapi masalah Papua harus hati-hati dan dengan penuh pertimbangan dampak politisnya. Seperti mobilisasi kekuatan TNI / POLRI dari luar Papua sebaiknya tidak perlu dilakukan. Cukup disapa dengan senyuman hangat dengan menakut-nakuti kekuatan militer atau kekuatan polri.

Mobilisasi kekuatan TNI / POLRI berlebihan terkesan, pemerintah sedang membangun manuver politik menghadapi serangan kekuatan musuh. Padahal rakyat Papua bergerak dalam rana demokrasi tanpa kekuatan militer. Mungkin aksi anarkis dinilai sebagai ancaman nyata terhadap negara.

Sebagai negara demokrasi, aksi anarkis itu dilihat sebagai suatu hal yang lumrah dilakukan oleh massa aksi. Cukup dihalau dengan kekuatan pentungan karet polisi bukan dengan kekuatan senjata api yang mematikan warga.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sikap-sikap represifisme pemerintah Indonesia terhadap orang Papua ini terakumulasi menjadi sentimen kolektif orang Papua terhadap wajah Indonesia di tanah Papua. Sehingga rasa memiliki ke Indonesiaan semakin jauh dan sebaliknya rasa kePapuaan semakin berakar kuat.

Psikologi politik orang Papua tersebut seharusnya dipahami baik dulu pemerintah sebelum diambil tindakan dan kebijakan dalam penyelesaian masalah Papua. Tetapi khususnya pak Wiranto sebagai Menko Polhukam, sepertinya tidak perduli dengan psikologi politik orang Papua.

Kemudian Menko Polhukam mengambil keputusan pengiriman 6000 personil Brimob dan 1.300 personil TNI ke Papua dan Papua barat. Kita patut pertanyakan dalam rangka apa begitu banyak mobilisasi kekuatan polri dan TNI dikirim masuk ke Papua dan Papua barat.
Kita semua perlu waspada, sebab ada pengalaman buruk dimana 20 tahun lalu di Timor Timur begitu banyak kekuatan militer menimbulkan gesekan antar warga kemudian berkembang menjadi milisi pro NKRI dan pro referendum lalu timbul konflik horizontal yang cukup mengerikan.

Kondisi yang sama sepertinya akan terulang dihadapi rakyat Papua . Saat ini ada sekelompok orang non Papua yang menamakan diri Ormas nusantara , melakukan aksi melawan hukum. Menyerang warga orang asli Papua sehingga menimbulkan korban jiwa orang asli Papua cukup banyak. Gejala ini suatu indikasi kuat akan munculnya milisi sipil yang diback up aparat keamanan negara untuk sengaja mengacaukan situasi daerah dan masyarakatnya.

Sebab tanpa jaminan backingan aparat keamanan , tindakan melawan hukum tersebut tidak berani dilakukan. Semua ini pasti aktor intelektualnya. Ada skenario buruk yang sudah dibangun dari dalam sistem pemerintahan sendiri. Tidak mungkin tindakan spontanitas warga pendatang.

Baca Juga: KNPB: Maklumat Bukan Baru, Kami Akan Dobrak

Kondisi terburuk apapun yang akan dihadapi rakyat Papua, tetapi isu referendum sepertinya sudah menjadi komsumsi politik dunia. Indonesia baru kaget kemudian sadar ternyata isu referendum sudah menggeliat didunia internasional. Mungkin Indonesia merasa bersyukur pada kasus Rasisme di Surabaya itu. Sebab lantaran dari kasus rasisme inilah , Indonesia baru sadar adanya tekanan dunia terhadap isu referendum bagi rakyat Papua semakin kuat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Oleh sebabnya Indonesia menjadi bingung . Langkah apa yang harus diambil untuk mengcaunter isu referendum tersebut. Terpaksa melonggarkan pendekatan represif yang selama ini diterapkan ketika menghadapi aksi demo massa. Maka aksi – aksi demo di Papua maupun Papua barat dilakukan tanpa penghadangan aparat negara , sehingga massa demo bebas bergerak dan berbuat anarkis, kecuali di Kabupaten Deiyai yang diawasi oleh aparat TNI/Polri lalu menimbulkan gesekan dengan massa dan banyak jatuh korban jiwa kedua belah pihak.

Selain itu orang Papua diberi ruang bebas menyampaikan aspirasinya terkait isu utama yaitu penolakan ujaran rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya tetapi juga diiringi dengan tuntutan referendum.

Aparat TNI / POLRI diperintahkan untuk bertindak represif terhadap massa aksi demo. Walaupun aksi demo disertai dengan pengibaran bendera bintang kejora didepan umum, kantor pemerintah dan depan Istana Negara. Ini memang hal unik, biasanya aparat TNI / POLRI jika melihat bintang kejora langsung bertindak represif, namun kali ini tidak demikian. Ada apa ? Silahkan cari jawab sendiri.

Oleh karena pemerintah sendiri membebaskan aksi demo tanpa pendekatan represif, maka seharusnya pemerintah jangan lagi menangkap dan mengadili para pendemo yang mengibarkan bendera bintang kejora. Ada sejumlah mahasiswa Papua di Jakarta dengan tuduhan makar karena mengibarkan bintang kejora itu sebetulnya tidak perlu ada. Karena pemerintah sudah membebaskan aksi demo tanpa dikawal ketat aparat polri.

Pengibaran bendera bintang kejora tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi dilakukan di Papua dan Papua barat. Karena itu demi keadilan hukum, seharusnya pemerintah menangkap dan mengadili juga pelaku lain yang ada di Papua dan Papua barat.

)* Penulis adalah politisi Papua

Artikel sebelumnyaNestapa Deiyai
Artikel berikutnyaGereja Katolik: 39 Warga Sipil dan Lima Anggota TNI/Polri Luka-luka dalam Insiden Deiyai