Benny Giay: Orang Papua Bukan Monyet di Hadapan Tuhan

0
2098

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay, dalam telewicara ‘Mata Najwa’ di Trans7 dengan tema ‘Masa Depan Papua’, Rabu (4/9/2019) malam, mengatakan, Indonesia anggap orang Papua monyet dan kera, tetapi bukan di hadapan Tuhan.

Doktor Giay ungkapkan ini setelah beberapa narasumber yang hadir di studio Trans7 bicara soal masa depan Papua pasca rangkaian demonstrasi menolak rasisme dilakukan di beberapa daerah di provinsi Papua dan Papua Barat.

Narasumber itu diantaranya, Menteri Koordinator Polhukam Wiranto, Kepala Biro Penmas Polri Brigjen Pol Dedi Perasetyo, Anggota Komisi II DPR RI Komarudin Watubun, peneliti LIPI Adriana Elisabeth, Freddy Numberi, Pdt. Benny Giay, dan direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.

Mengawali pembicaraan Benny mengapresiasi acara Mata Najwa karena bagi orang Papua, mesti lihat fakta hari ini.

“Hari ini orang Papua merasa bahwa dalam negara ini warga kelas kedua, karena negara tidak hadir ketika ada ujaran-ujaran rasis. Contoh salah satu kasus itu Frans Kaisepo pahlawan nasional di negara ini. Tetapi orang di Jawa sebarkan dia ini monyet dan tidak ada teguran dari negara,” kata Giay.

ads
Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Kedua, pemain Persipura Jayapura dalam sejarah negara Indonesia mengharumkan negara namun, selalu distigma kera dan monyet. Tidak ada pernyataan dari negara ini.

“Begitu juga kasus Obi Kogoya di Yogyakarta, asrama mahasiswa di Surabaya, sama saja TNI, Polri, Satpol PP hadir, tetapi ini biarkan begitu saja. Kemudan terakhir Otonomi Khusus, penanganan yang berbeda terhadap Aceh dan Papua. Papua dan Aceh adalah daerah separatis, daerahnya kaya, tetapi hasilnya diambil oleh negara,” tuturnya.

Menurutnya, penanganan masalah separatisme, yang orang Papua pikir adalah nasionalisme. Sampai hari ini belum selesai.

“Pemimpin GAM dihadirkan sebagai mitra dialog, Benny Wenda kemarin Menko Polhukam bilang provokator. Kemudian GAM bisa duduk bersama dengan NKRI. Saya salud buat Jusuf Kala luar. Jusuf bisa kejar mereka (GAM) supaya bisa duduk bersama-sama berdialog dengan pihak yang ketiga,” katanya.

Fakta lain, lanjut Giay, ketika Presiden Jokowi bicara banyak mendukung referendum Palestina, baru Papua bagaimana? Dengan status Otonomi Khusus, orang Aceh (GAM) bisa kasih naik bendera GAM dan bisa bentuk partai lokal, lantas kita Papua tidak bisa kenapa, tanya Benny.

Baca Juga:  Meski Dibubarkan, Struktur Kerja ULMWP Resmi Dikukuhkan dari Tempat Lain

“Jadi, itu yang membuat hari ini orang Papua sudah sadar bahwa orang Papua adalah bangsa monyet, bangsa kera di hadapan Indonesia, bukan di hadapan Tuhan,” ujarnya.

Dikemukakan, bukan di hadapan anak-anak Indonesia di Jawa, Sumatera, yang nanti lahir bukan di hadapan mereka, tetapi generasi yang sudah diresapi oleh pandangan rasisme dari generasi orang Indonesia yang orde baru.

“Saya berterima kasih untuk tema dalam forum ini. Kami gereja-gereja Papua pada tanggal 26 Agustus 2019, sudah minta keadilan dari negara ini dengan memberikan kesempatan kepada OPM dan ULMWP duduk bersama-sama satu meja dengan negara,” tuturnya.

Ia berharap, masalah Papua sekarang bisa duduk sama-sama seperti yang Jakarta sudah buat terhadap Aceh. “Kalau itu tidak, gereja akan bertanya terus menerus. Ini apa ini. Dan kami bisa bilang ini rasisme lagi kah?” kata Benny.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Di acara ‘Mata Najwa’ yang dipandu Najwa Shihab, Usman Hamid mengatakan, dalam bulan Mei dan Juni tahun lalu, Anmesty telah melaporkan terhadap pelanggaran HAM di Papua ada sekitar 69 kasus tidak sah yang dilakukan. Empat kasus diantaranya terjadi di era pemerintahan sekarang.

“Dalam pertemuan itu Pak Jokowi menyampaikan. Saya pun heran sebenarnya karena saya sudah sampaikan kepada Menko Polhukam, tetapi satu pun tidak terselesaikan diantaranya. Begitu pula dengan kasus Wasior dan Wamena yang dijanjikan di depan Dewan HAM PPB,” tuturnya.

Komarudin Watubun akui buruknya situasi dan kondisi yang ada di Papua terutama di Jayapura, karena menurutnya aparat banyak dikirim ke Papua oleh negara.

“Tadi pagi saya rasakan itu di Jayapura. Saya heran dengan kondisi ini. Ya sebenarnya itu tugas negara, tetapi dengan kehadiran militer bersenjata lengkap dan membangun posnya tidak berjauhan sepanjang jalan dari Kota Jayapura hingga Sentani itu akan menghadirkan rasa takut bagi masyarakat di sana,” kata Watubun.

Pewarta: Ardi Bayage
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaSAMN Desak Tutup Pengiriman Miras
Artikel berikutnyaPernyataan Sikap Aliansi Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat