Makar atau Merdeka?

0
1788
Aksi rakyat Papua lawan rasisme pada 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura, Papua. (Dok. Suara Papua)
adv
loading...

Oleh: Bernard Agapa)*

KUHP itu produk penjajah Belanda, yang katanya tidak manusiawi, tidak berhati nurani, dan tidak-tidak yang lain —ya pokoknya sudah tidak cocok lagi. Sebab itu perlu diganti. Tapi jika dilihat, kemanusiaan juga tidak terlalu termanifestasikan pada draft RKUHP terkini. Masih rancangan, memang, sangat terbuka lebar kesempatan untuk mengubah draft tersebut dalam Pembahasan di DPR RI. Tapi sejauh perkembangan pembahasannya, saya jadi bertanya-tanya, mana yang lebih tidak manusiawi? Penjajah Belanda atau kita?

Berbagai potensi permasalahan baru muncul dalam draft RKUHP. Ancaman pidana dalam berbagai rumusan tindak pidana di RKUHP lebih tinggi dibanding ancaman pidana dalam KUHP lama yang katanya produk penjajah yang tidak manusiawi. Meskipun sudah banyak penelitian dan tulisan yang membahas insignifikansi beratnya hukuman terhadap berkurangnya angka kriminalitas,1. tetap saja sejauh ini tim perumus menggunakan pendekatan hukuman dengan dalih efek jera. Bukan hanya itu, berbagai hak sipil warga negara berpotensi makin dikekang dengan berbagai rencana aturan baru dan aturan yang dipertahankan. Salah satu aturan baru yang rencananya akan dimuat adalah Bab tentang Kejahatan terhadap Ideologi Negara. Intinya, jika menyebarkan ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, pokoknya penjara! Jadi, bersiap-siaplah mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia, karena hanya ada satu mahzab yang boleh kalian baca. Apa hayo? Pokoknya haram membayangkan penguasaan kolektif atas faktor-faktor produks?

Entah Orde Baru kembali lagi, atau memang tidak pernah pergi. Saya begitu takjub dengan ambisi negara ini untuk mengatur masing-masing isi pikiran dan kepercayaan warga negara —mana yang boleh dipikirkan mana yang tidak, mana yang boleh dipercaya mana yang tidak.

Belum lagi aturan-aturan lama dalam KUHP yang hendak dipertahankan. Salah satu pasal pidana yang sejauh ini akan dipertahankan dari KUHP lama adalah ketentuan tentang Tindak Pidana Makar. Pasal ini seringkali digunakan untuk memenjara kelompok minoritas yang menginginkan pemisahan diri dari wilayah NKRI.

ads

Pasal Makar KUHP

Sebenarnya tindak pidana yang menyangkut “makar” ada beberapa, dari Pasal 104 sampai 110 KUHP. Makar sendiri bukan “nama tindak pidana”, namun salah satu unsur dalam berbagai tindak pidana yang dimuat dalam Pasal 104 sampai 110 KUHP. Namun agar mudah menulisnya untuk selanjutnya hanya akan saya sebut sebagai Pasal-Pasal Makar.

Salah satu ketentuan di antara Pasal-Pasal Makar tersebut adalah ketentuan mengenai makar dengan tujuan memisahkan diri dari wilayah NKRI sebagaimana diatur Pasal 106 KUHP, yang oleh R. Soesilo diterjemahkan sebagai berikut:[2]

“Makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebahagiannya kebawah pemerintahan asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebahagian dari daerah itu, dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”

Makar sendiri bukan merupakan istilah yang umum secara kolokial di Indonesia. Sehingga untuk menerjemahkan pengertian makar, perlu mengacu pada istilah awal dalam KUHP sebelum diterjemahkan, yaitu aanslag. Secara harfiah, aanslag diartikan sebagai serangan.[3] Dalam literatur mengenai hukum pidana pun, Antonio Cassese menerjemahkan aanslag sebagai the act of attacking,[8] yang dalam Bahasa Indonesia juga diterjemahkan sebagai serangan.

Namun dalam prakteknya, unsur “makar” ditafsirkan lebih luas daripada “serangan”. Dalam berbagai putusan terlihat, makar diartikan sebagai “segala usaha”, misal dalam konteks makar menurut Pasal 106 KUHP, diartikan segala usaha atau tindakan dengan niat memisahkan diri dari NKRI. Bahkan jika usaha tersebut dilakukan dengan damai, seperti penyampaian pendapat di muka umum, atau kemerdekaan berserikat dan berkumpul, yang seharusnya dilindungi oleh hak konstitusional warga negara dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

Lihat saja Putusan Mahkamah Agung Nomor 1151 K/Pid/2005 tanggal 13 Januari 2006. Majelis hakim memvonis bersalah ibu-ibu tidak bersenjata yang membaptis anaknya pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Maluku Selatan. Tidak ada senjata tajam, atau pun senjata api. Hanya bendera. Lantaran Pasal tersebut juga, sekian manusia dijuluki “tahanan politik” atas isi pikirannya. Bahkan di era yang belasan tahun lebih muda dari Orde Baru. Di era pemerintahan yang Presidennya dari sipil ini (bukan berarti saya lebih memilih Presiden dari militer), selama 2015, terdapat 1083 masyarakat Papua yang ditangkap karena mengutarakan pendapat dan berdemonstrasi; dengan 690 laporan penganiayaan oleh aparat pada saat penangkapan atau dalam tahanan.[9]

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Keberadaan Pasal ini yang bisa ditafsirkan sedemikian luas berpotensi mengekang hak sipil masyarakat. Tidak perlu jauh-jauh membicarakan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination of peoples) yang kata orang-orang: debatable. Cukup bicarakan saja hak yang mati-matian kita perjuangkan ketika mengusir Pak Harto dari kekuasaan: Kemerdekaan Berserikat, Berkumpul, dan Mengutarakan Pendapat.

Sejarah Penggunaan Pasal Makar di Indonesia dan Bangladesh

Sejak VOC bangkrut pada akhir abad 18, pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan atas Indonesia, dan mulai menerapkan hukum tertulisnya di wilayah Indonesia. Pada tahun 1915, Pemerintah Belanda mengundangkan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvS), yang nantinya setelah Indonesia merdeka, diberlakukan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sampai sekarang.

Dalam WvS tersebut sudah terdapat Pasal-Pasal Makar sebagaimana terdapat dalam KUHP saat ini. Pada jaman penjajahan, pasal-pasal makar ini digunakan untuk mengekang pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia. Bapak Bangsa kita, Dr. Ir. H. Soekarno pernah jadi korbannya. Pada tahun 1930, Soekarno dianggap telah melakukan Tindak Pidana Makar karena berniat menggulingkan pemerintah Belanda. Dalam pembelaannya di pengadilan, Soekarno menulis pidato bersejarah berjudul “Indonesia Menggugat”. Pidato ini merupakan pengejawantahan ide Soekarno yang menentang kolonialisme; bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Pasca Perang Dunia II, Indonesia bersama dengan berbagai negara-negara di dunia mempromosikan ide bahwa “Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa”, yang termanifestasikan dalam Prinsip Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination of Peoples), yang menjadi salah satu prinsip dasar didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu untuk membantu bangsa-bangsa memperoleh kemerdekaannya.

Keadaan tentu berubah. Indonesia telah memperoleh kemerdekaannya berkat perjuangan kakek-nenek kita. Pasal makar yang dahulu menjadi musuh besar, alat pengekang, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia untuk membebaskan diri dari kekuasaan Belanda; dengan rumusan ketentuan yang sama, kini pasal itu bisa digunakan Indonesia untuk memenjara mereka-mereka yang berniat memisahkan diri dari NKRI.

Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak bermaksud menggiring opini kemana-mana. Saya hanya menceritakan Pasal-Pasal Makar yang telah digunakan oleh berbagai rezim, dari mulai rezim kolonial, sampai tahun ke-71 Indonesia merdeka. Tentu maksud saya bukan “Dahulu Penjajahnya Belanda, Sekarang Penjajahnya Indonesia”. Tidak. Konteksnya tentu berbeda. Sebelum Indonesia Merdeka, konteksnya adalah dekolonisasi. Sekarang, saat negara-negara jajahan telah memperoleh kemerdekaan, konteksnya di luar dekolonisasi. Perbedaan konteks tersebut tentu menghasilkan aspek berbeda dalam pembahasan Prinsip Right to Self-Determination of Peoples yang sedemikian luasnya.

Tidak perlu susah-susah mengambil contoh Hukum Pidana Indonesia yang konteksnya berbeda karena dulu digunakan dalam konteks penjajahan, dan sekarang di luar konteks penjajahan. Bangladesh saja, yang memperoleh kemerdekaan bukan dalam konteks dekolonisasi, melainkan memisahkan diri dari Pakistan, sekarang pun memiliki ketentuan mengenai Tindak Pidana Makar. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 123A Bangladesh Criminal Code yang kurang lebih mengatur bahwa barangsiapa mengadakan usaha dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang yang membahayakan keamanan atau kedaulatan Bangladesh, baik keseluruhan atau sebagian teritori yang berada dalam kekuasaan Bangladesh, atau baik dengan lisan maupun tulisan mengutuk berdirinya Bangladesh, atau mendukung pembatasan atau penghapusan kedaulatan Bangladesh, diancam dengan hukuman penjara 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Selanjutnya, saya akan membahas hubungan antara Ketentuan Makar di berbagai negara dengan Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination of Peoples) yang sering dibentur-benturkan.

Hubungan dengan Prinsip Right to Self-Determination of Peoples

Dahulu, saat negara-negara dunia ketiga hendak merdeka, negara-negara di dunia dengan lantang mencanangkan prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination of peoples) bagi bangsa-bangsa di dunia. Hak tersebut memberikan legitimasi kepada bangsa-bangsa di dunia untuk memerdekakan diri dari segala bentuk kolonialisme, alien subjugation, dominasi, dan eksploitasi.[10] Oleh praktek negara di dunia, hak memerdekakan diri dari penjajahan sebagai bagian dari hak menentukan nasib sendiri dinyatakan sebagai norma jus cogens,[11] singkatnya yaitu norma yang memaksa negara-negara di dunia dan tidak boleh disimpangi dalam keadaan apapun. Untuk konteks dekolonisasi seperti ini, penafsiran norma ini cenderung pasti, namun perdebatan muncul ketika membahas apakah bangsa-bangsa di dalam territorial negara yang sudah memerdekakan diri masih memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri?[12]

Beberapa ahli menyatakan tidak, karena setelah negara jajahan memerdekakan diri menjadi negara yang berdaulat, mereka memiliki hak atas kedaulatan wilayah yang juga dilindungi oleh hukum internasional.[13] Singkatnya, separatisme melanggar prinsip territorial integrity yang juga dilindungi oleh hukum internasional.

Ya. Perbedaan konteks memang signifikan dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Contohnya saja hak ini. Beberapa puluh tahun lalu ketika negara jajahan dalam kekuasaan penjajah, hak ini mutlak dimiliki warga negara jajahan; sejurus kemudian terjadi Proklamasi/Deklarasi Kemerdekaan yang mungkin hanya beberapa menit, seketika segala suku bangsa yang berada dalam territorial yang diklaim dalam deklarasi tersebut kehilangan hak-nya untuk merdeka. Sekali lagi, perbedaan konteks memang selalu signifikan secara hukum. Hanya saja, kalau-kalau kita-kita para sarjana hukum mau sejenak berhenti berkutat pada definisi dan mencoba berperasaan, deklarasi kemerdekaan berbagai negara jajahan di dunia sampai sekarang banyak meninggalkan pertanyaan, dan menyisakan sisi lain dari sejarah. Menurut Rupert Emerson, kemerdekaan negara jajahan memang selalu, tidak bisa dihindari, meninggalkan pertanyaan:[14] “who rules whom, or who are the people of what country?” Pertanyaan ini mengusik dan semakin kentara lebih daripada para era kolonial, karena pemerintah kolonial bertindak untuk mengaburkan/membaur segala wilayah menjadi satu: wilayah jajahan.[15] Pembauran menjadi satu wilayah jajahan menyebabkan segala etnis yang berbeda yang “disatukan paksa” oleh pemerintah kolonial, saat merdeka, merelakan diri untuk dipimpin salah satu kelompok yang paling dominan di antara mereka; padahal mungkin saja dari kacamata sejarah, sebelum pemerintah kolonial datang, kedua etnis tersebut saling bermusuhan.[16] Latar belakang sejarah yang disisakan oleh deklarasi kemerdekaan negara jajahan ini yang menyebabkan banyak kelompok minoritas, di seluruh penjuru dunia, menginginkan untuk memisahkan diri dari negara asal. Dan sudah tentu, negara mana pun di dunia akan bertindak represif terhadap sekelompok warganya yang menginginkan pemisahan diri. Menurut Rupert Emerson, ironisnya, apa yang membuat konflik seperti ini terkesan aneh dan tercela adalah karena konflik ini terjadi di dalam territorial bangsa-bangsa yang dahulu mengusung semangat anti-kolonialis, dan membangun persaudaraan sesama korban penjajahan.[17]

)* Penulis adalah aktivis Papua di Jakarta
________
[1] Institute for Criminal Justice Reform, “Pasal-pasal Kejahatan Terhadap Ideologi Negara dalam R KUHP Harus di Bahas Dengan Hati-Hati”, ICJR, http://icjr.or.id/pasal-pasal-kejahatan-terhadap-ideologi-negara-dalam-r-kuhp-harus-di-bahas-dengan-hati-hati/ (diakses pada 1 Oktober 2016).
[5] Maggie Koerth-Baker, Crime Despite Punishment, http://undark.org/article/deterrence-punishments-dont-reduce-crime/ (diakses pada 2 Oktober 2016).
[6] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 109.
[7] Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 5-8.
[8] Antonio Cassese, The Oxford Companion to International Criminal Justice, (New York: Oxford University Press, 2009), hal. 937.
[9] “Laporan: Melihat Situasi di Papua tahun 2015”, http://papuaitukita.net/2016/09/melihat-situasi-di-papua-tahun-2015/ .
[10] Bingbin Lu LLB, “The Case Concerning East Timor and Self-Determination,” Murdoch University Electronic Journal of Law, Volume 11, Number 2 (June 2004), http://www.austlii.edu.au/au/journals/MurUEJL/2004/17.html#n24.
[11] Matthew Saul, “The Normative Status of Self-Determination in International Law: A Formula for Uncertainty in the Scope and Content of the Right?” Human Rights Law Review, (Oxford University Press, 2011), www.hrlr.oxfordjournals.org (diakses pada 27 September 2016), hlm. 635.
[12] Ibid., hal. 610.
[13] Andrey Sujatmoko, “Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri (“Right To Self-Determination) Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus Terhadap Kemerdekaan Kosovo)”, Serikat Karyawan Trisakti, https://sekartrisakti.files.wordpress.com/2011/05/kemerdekaan-kosovo-11.doc.
[14] Rupert Emerson, Self Determination Revisited In The Era of Decolonization Center for International Affairs Harvard University, 1946, hal. 26.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hal. 31.
[17] Ibid., hal. 26.
[18] UN Committee on Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), General recommendation no. 21, Right to self-determination, (art. 5© of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), 23 Agustus 1996, http://tbinternet.ohchr.org (diakses pada 21 September 2016).
[19] Ibid.
[20] Ieva Verzbergaite, Remedial Secession As An Exercise of The Right to Self-Determination of Peoples, (Budapest: Central European University, 2011), hal. 39.
[21] Ibid., hal. 39.
[22] Matthew Saul, “The Normative Status of Self-Determination in International Law: A Formula for Uncertainty in the Scope and Content of the Right?” Human Rights Law Review, (Oxford University Press, 2011), www.hrlr.oxfordjournals.org (diakses pada 27 September 2016), hlm. 612.

Artikel sebelumnyaPemprov Papua akan Kembali Temui Mahasiswa di Surabaya
Artikel berikutnyaFOTO: Aksi 19 Agustus 2019 di Kota Jayapura