Rasisme: Merdeka adalah Solusi

0
2339

Oleh: Rawarap)*

Bangsa manapun di dunia ini tidak akan terima ketika sesama dari etnis atau suku bangsanya mendapatkan perlakuan rasisme dalam satu negara. Sebagaimana yang terjadi bagi mahasiswa-mahasiswi Papua yang kuliah di Surabaya yang dibilang Monyet. Perlakuan rasialis itu menuai sejumlah protes (demonstrasi) dengan tema “Kitong Bukan Monyet” yang dilakukan ribuan mahasiswa dan rakyat Papua di seantero Tanah Papua. Juga di depan Istana negara, Jakarta. Hingga aksi solidaritas di beberapa negara di dunia.

Tetapi apakah sampai di situ perjuangan orang asli Papua untuk melawan rasisme? Bagi saya, tidak. Juga tidak sampai Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia meminta maaf. Atau pelaku rasis ditangkap dan diadili. Atau pula dianggap selesai dengan dilakukannya acara bakar batu.

Kenapa? Mari kitong tanya apa itu rasisme. Menurut Wikipedia, rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu. Dan bahwa suatu ras tertentu lebih superior (hebat) dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lain.

Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasime diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis).

ads

Dari pengertian rasisme di atas, saya berpendapat bahwa perlakuan rasis di Indonesia yang dialami orang asli Papua akan terus terjadi. Walau terkait masalah ini, presiden Joko Widodo telah menghimbau kepada orang Papua untuk saling memaafkan.

“Jadi, saudara-saudaraku, Pace Mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa setanah air, yang paling baik memaafkan. Emosi itu boleh, tapi memaafkan itu lebih baik. Sabar itu juga lebih baik,” bilang Jokowi kepada CNN Indonesia (Selasa, 20/8/2019).

Himbauan Jokowi untuk saling memaafkan dinilai oleh Octovianus Mote yang pernah menjadi nahkoda ULMWP sebelum Benny Wenda, bahwa Jokowi yang dianggap populis itu tidak punya hati.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

“Yang paling menyedihkan: Perilaku Jokowi sebagai presiden yang dianggap populis itu, malah tidak punya hati. Manusia ini senyum di luar. Tetapi tidak punya hati terhadap manusia Papua. Dia (Jokowi) menganggap rasisme sebagai hal biasa, tidak mengutuk. Jokowi bilang sudahlah…. saling memaafkan” kata Mote (tirto.id, 22 Agustus 2019).

Dari sikap dan respon Jokowi sebagai kepala negara, terhadap masalah rasisme kepada orang Papua, yang kemudian dinilai tidak tegas dan tidak punya hati oleh beberapa orang termasuk Octovianus Mote. Saya pun menilai bahwa rasisme akan terus terjadi bagi orang Papua selama orang Papua masih berada di dalam bingkai negara Republik Indonesia.

Mengapa? Karena rasis telah menjadi sistem kepercayaan dan paham yang telah membudaya bagi mayoritas rakyat Indonesia dan Negara. Sehingga perlakuan diskriminasi, karena merasa diri lebih superior dan memiliki hak yang tinggi untuk mengatur orang Papua yang nota bene berbeda ras dari mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia, akan terus terjadi. Sebab dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Prof. Ariel Haryanto seorang Indonesia yang lahir besar di pulau Jawa berkisah, setelah balik dari kunjungannya di Papua.

“Saya lahir & besar di Jawa. Ketika ke Papua, jumpa orang2 Jawa di tempat umum. Mereka bicara pada saya dalam bahasa Jawa, tentang orang Papua dengan sangat merendahkan. Rasanya seperti orang Belanda ke Batavia (sekarang Jakarta) di awal abad 20, menyaksiskan tingkah sesama bangsanya pada inlanders. –Prof. Ariel Heryanto-” tulis Efra Struggle di dinding facebooknya.

Pula ada satu pengalaman pribadi penulis. Pengalaman itu terjadi ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Peristiwa yang masih terawat rapi dalam ingatan penulis itu, terjadi dalam sebuah angkutan umum pedesaan (Koya – Pasar Yotefa) yang penulis tumpangi-pulang dari sekolah.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Dalam perjalanan pulang sekolah, siang itu, saya mengambil posisi di dekat kaca jendela, di kursi bagian belakang dan saya sendiri, belum ada penumpang yang lain. Sesampainya di kampung Andrekan atau lebih dikenal dengan kampung pisang karena banyak tanaman pisang di sana. Tiga perempuan dari negeri seberang yang bicara dalam bahasa Indonesia masih bercampur dialeg kampung asal mereka, naik. Mereka bertiga mengambil posisi di kursi bagian tengah.

Dari kampung Andrekan sampai di Anggruk  ada tiga mama Papua yang hendak membawa hasil kebun mereka ke Pasar Youtefa. Melihat tiga perempuan hebat yang menggantung noken berisi hasil kebun, sang sopir berhenti. Sebelum pintu dibuka untuk mempersilakan tiga mama Papua itu naik. Tiga penumpang yang dalam perjalanan itu, bercerita dengan bahasa yang tidak saya mengerti berpindah ke kursi belakang. Satu kursi dengan saya. Dalam perjalanan yang lumayan jauh ke terminal pasar Youtefa, mereka bertiga menutup hidung dengan sapu tangan yang sesekali disemprot dengan parfum.

Saya diam dalam kebisuan ketika melihat hal itu. Hari ini kebisuan itu bersuara, bahwa itu rasisme. Dan rasisme itu akan terus orang Papua alami karena sudah menjadi budaya  bagi mayoritas rakyat Indonesia.

Lihat saja! Ketika Persipura Jayapura bertandang ke markas Arema Indonesia dan Pelita Jaya beberapa tahun lalu dalam perhelatan Indonesia Super Liga (ISL). Juga ketika Persipura bertandang ke kandang Sriwijaya FC. Suporter Arema Indonesia, Pelita Jaya dan Sriwijaya FC melempar kulit pisang ke lapangan untuk mengejek tim kebanggaan orang Papua, Persipura Jayapura (kompasiana, 18 Mei 2013). Padahal yang hendak bertanding melawan Arema Indonesia, Pelita Jaya dan Sriwijaya FC adalah Persipura, bukan Monyet.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Juga pemilik kos-kosan luar Papua tidak segan-segan memasang papan reklame (baliho) di kos-kosan milik mereka dengan tulisan “Tidak Menerima Anak Papua”. Bahkan, Ali Murtopo yang adalah penasehat pribadi Soeharto selama tahun 1966-1974 dan terlibat dalam banyak operasi rahasia, termasuk PEPERA 1969 di Irian Jaya (Papua), (tirto.id, 18 Mei 2019), pernah berujar rasisme kepada orang Papua, di tahun 1969.

“Indonesia tidak menginginkan orang Papua. Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silakan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau minta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana”, pernyataan Ali Murtopo pada tahun 1969, ditulis oleh Socrates Sofyan Yoman dalam bukunya yang berjudul “Pemusnahan Etnis Melanesia, 2007, diterbitkan oleh Galang Press (Tabloid Wani, 10/22/2016).

Jadi, dari bacaan ini, pembaca yang budiman dapat menilai sendiri bagaimana nasib rasisme bagi orang Papua selama menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Apakah dengan acara bakar batu dan himbauan saling maaf-maafan dari presiden rasisme itu akan selesai? Sedangkan rasisme yang dialami orang Papua di dalam bingkai NKRI telah ada sejak “berintegrasi” pada 1 Mei 1963.

Bagi saya, perlakuan rasis kepada orang Papua dari tahun 1960an hingga dewasa ini akan terus terjadi. Karena rasisme telah menjadi sebuah sistem nilai atau paham yang membudaya bagi negara dan mayoritas rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Juga orang Papua adalah kelompok minoritas, sehingga akan terus mendapatkan perlakuan rasisme di Indonesia.

Orang Papua dapat bebas dari rasisme yang membunuh mental dan karakter orang Papua, kecuali Papua merdeka dari Indonesia.

)* Penulis adalah Aktivis SONAMAPPA

Artikel sebelumnyaBenny Wenda: Wiranto Dalang Aksi Kerusuhan di Papua
Artikel berikutnyaPapua: Tempat yang Aman untuk Orang Papua?