KMS Resmi Buka Posko untuk Korban di Papua

0
1147

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Papua secara resmi telah membuka posko pengaduan sebagai upaya pengungkapan kebenaran bagi korban di Papua.  

Koalisi masyarakat sipil dalam siaran pers yang diterima media ini menjelaskan bahwa sejak 9 September telah dibuka secara resmi membuka posko pengaduan untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua yang terjadi sejak 19 Agustus 2019.

Posko pengaduan tersebut berada di kantor firma hukum AHIMSA di Jl. Raya Sentani, Padang Bulan – Abepura dengan Hotline 081247940004

Inisiatif ini dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil Papua setelah mendapatkan laporan maraknya intimidasi dan penutupan akses terhadap keluarga korban yang ingin mendapatkan informasi dan kejelasan terkait anggota keluarga mereka yang menjadi korban selama aksi kekerasan terjadi di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat.

“Kami menghimbau para keluarga korban untuk melaporkan jika ada anggota keluarga mereka yang belum diketahui keberadaannya, termasuk korban luka-luka, salah tangkap dan mereka yang mengalami trauma sejak aksi kekerasan terjadi,” kata Baguma dari Bersatu Untuk Kebenaran (BUK).

ads

Upaya ini dilakukan salah satunya untuk mengimbangi informasi sepihak dari pihak aparat keamanan maupun pemerintah terkait adanya korban kekerasan di tanah Papua. Informasi terkait korban juga semakin simpang siur akibat kebijakan pembatasan dan pemutusan akses internet di tanah Papua yang dilakukan oleh pemerintah.

Tanggal 1 September pihak kepolisian telah mengeluarkan data dengan sangat rinci terkait kerusakan dan kerugian material akibat aksi unjuk rasa pada 29 Agustus di Jayapura. Anehnya, informasi mengenai korban luka-luka dan meninggal tidak disampaikan dalam pengumuman tersebut, sementara Koalisi Masyarkat Sipil Papua telah menerima informasi tentang adanya korban luka maupun jiwa dari warga sipil dalam peristiwa yang terjadi di Jayapura.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Di satu sisi, aparat keamanan agresif melakukan penangkapan-penangkapan di sejumlah daerah di Papua terhadap mereka yang diduga sebagai provokator perusakan dan dituduh sebagai dalang dari peristiwa kekerasan di tanah Papua.

“Publik berhak untuk tahu terkait apa yang sebenarnya terjadi di Papua selama tiga minggu terakhir. Monopoli informasi yang dilakukan oleh pemerintah disertai dengan pembatasan akses bagi keluarga koban merupakan tindakan yang tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak atas informasi. Belum lagi pelayanan sosial di Jayapura juga terganggu karenanya. Kami juga sangat kecewa atas pernyataan dari Menkopolhukam Wiranto yang mengatakan bahwa terserah pemerintah apakah mau menngumumkan jumlah korban jiwa atau tidak,” kata  Yuliana dari ELSHAM Papua.

Sementara itu, Sem Awom, dari KontraS menambahkan, tidak adanya transparansi dari pemerintah terkait jumlah korban luka maupun jiwa baik dari peristiwa di Jayapura maupun di Deiyai dan beberapa kota lainnya di Papua menunjukkan bahwa pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua.

“Terkesan pemerintah lebih peduli pada kerusakan meteril ketimbang keadilan bagi korban luka dan meninggal. Ini menjadi deret panjang impunitas bagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang serius, seperti perampasan hak hidup, di Tanah Papua,” kata Sam Awom  kordinator KontraS Papua.

Organisasi-organisasi HAM di Papua, nasional, dan internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Menurutnya, ketiadaan investigasi independen, imparsial, dan efektif ini merupakan sumber impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.

Koalisi Masyarakat Sipil Papua mendapatkan laporan terkait adanya korban jiwa dan luka-luka yang saat ini masih berada di beberapa rumah sakit di Jayapura dan Deiyai. Namun, keluarga, jurnalis maupun pekerja kemanusiaan tidak diberikan akses untuk melihat langsung korban.

“Pembatasan akses bagi keluarga korban adalah bentuk pelanggaran HAM dan pemerintah dan aparat harus membuka akses bagi keluarga korban, para jurnalis, dan pekerja kemanusiaan,” kata Yuliana Langowuyo SKPKC Fransiskan Papua.

Walaupun jumlah korban belum diumumkan secara resmi oleh kepolisian dan pemerintah, Kapolri Jendral Tito Karnavian bersama dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah mengunjungi tiga keluarga korban tewas akibat insiden kekerasan di Jayapura. Sayangnya upaya ini tidak dilanjutkan dengan suatu komitmen publik untuk upaya pengungkapan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku terkait.

Haryanto ketua HMI cabang Jayapura juga menambahkan, Koalisi berharap dengan dibukanya posko pengaduan ini, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pengungkapan kebenaran dengan memberikan data dan informasi terkait anggota keluarga mereka yang menjadi korban kekerasan.

“Hal ini sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa  betapapun sistematisnya upaya pemutusan akses informasi yang dilakukannya, publik selalu menpunyai cara untuk  mengungkapkan keadilan dengan caranya sendiri”, katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil Papua menemukan bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap salah satu keluarga korban meninggal di Jayapura. Keluarga salah satu korban meninggal tidak diberi kesempatan untuk melihat jenazah korban. Kelurga korban hanya bisa menjemput jenazah korban yang disimpan di dalam peti mati dan keluarga korban tidak diberi kesempatan untuk membuka peti tersebut.

Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

Organisasi-organisasi HAM di Papua, nasional, dan internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Ketiadaan investigasi independen, imparsial, dan efektif ini merupakan sumber impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.

Posko pengaduan ini dibentuk agar para pembela HAM dan publik bisa menghasilkan narasi alternatif untuk pengungkapan kebenaran yang komprehensif atas apa yang terjadi di Papua, khususnya di Jayapura, dalam beberapa minggu terakhir ini.

“Kami juga menghimbau kepada berbagai pihak termasuk institusi-institusi keagamaan serta asrama-asrama mahasiswa untuk membuka posko pengaduan bagi keluarga korban. Hal ini penting untuk memperkuat upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban,” kata Anum Siregar dari ALDP.

KMS Papua terdiri dari  Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), KontraS Papua, Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) GKI di Tanah Papua, SIP, Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Fransiskan Papua, PAHAM, LBH Papua, Tim Kerja CEDAW PAPUA, Elsham Papua, Walhi Papua, YALI Papua, PBH Cendrawasih, HMI Papua, PMKR, PEMUDA KATOLIK, GMKI, TIKI Papua dan Bersatu Untuk Kebenaran (BUK).

Pewarta: REDAKSI

Artikel sebelumnyaBupati Yahukimo Minta Posko Exodus Mahasiswa Papua di Dekai Ditutup
Artikel berikutnyaMahasiswa Papua Kembali Tolak Bertemu Gubernur Papua