Menanggapi Kritik Atas Saran Saya Kepada Mahasiswa Papua

1
1681

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Saran yang saya sampaikan kepada mahasiswa Papua melalui opini di media online ini (baca: Saran untuk Mahasiswa Papua: Mari Dukung Gubernur Papua) mendapat tanggapan pro dan kontra.

Tanggapan kontra mempersepsikan saran itu sebagai skenario untuk mendorong mahasiswa mendukung agenda Gubernur untuk memperjuangkan disetujuinya UU Otsus Jilid II. Tanggapan itu saya terima sebagai kritik. Terima kasih.

Kritik ini menurut saya merupakan indikasi bahwa belum ada pemahaman yang sama tentang saran saya itu. Oleh sebab itu, saya memberikan penjelasan.

Seutuhnya saran saya adalah agar kita “mendukung Gubernur sebagai fasilitator”. Kata kunci di sini adalah fasilitator.

ads

Fasilitator adalah suatu pihak yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi.

Fasilitator membantu kelompok yang berkonflik dalam mencapai resolusi atas konflik yang ada, sehingga memiliki dasar yang kuat untuk tindakan pada masa depan.

Fasilitator adalah jembatan komunikasi antara para pihak yang berkonflik.

Fasilitator tidak memiliki sendiri, menyampaikan dan membahas aspirasinya, melainkan menjembatani dialog membahas aspirasi para pihak yang berkonflik untuk menemukan kesepakatan solusi damai.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Berdasarkan pemahaman tentang definisi peran dari fasilitator di atas itulah, maka saya menyampaikan saran supaya dilakukan konsolidasi untuk sepakati Gubernur Papua dan Papua Barat, Ketua DPR P dan PB dan Ketua MRP P dan PB sebagai fasilitator dialog domestik antara Papua – Jakarta, di mana pada dialog itu dibahas aspirasi para pihak yang berkonflik.

Mengapa mereka? Menurut hemat saya, karena mereka dipilih dari, oleh dan untuk rakyat melalui mekanisme yang demokratis dan sah dan karena mereka mewakili pemerintah pusat di daerah. Mereka memiliki legitimasi di antara rakyat Papua dengan pemerintah pusat.

Masalah apa yang pembahasannya mereka fasilitasi?

Akar masalah yang menimbulkan konflik antara Papua dengan Jakarta diringkas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjadi 4 akar masalah. Yaitu distorsi sejarah “integrasi”, pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan, marginalisasi orang Papua di tanahnya sendiri (kini bertambah dengan masalah rasisme dan diskriminasi), dan ketertinggalan di bidang pembangunan.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Pada saat ini, perkembangan proses resolusi konflik secara damai yang sedang berlangsung tanpa fasilitator yang disepakati.

Dinamika yang terjadi saat ini adalah adanya dialog terbatas untuk bahas aspek keamanan dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Juga proses hukum untuk menuntaskan ujaran rasis dan aksi vandalis.

Sementara akar masalah yang lain yaitu masalah distorsi sejarah “integrasi” dan penyelesaian pelanggaran HAM belum disentuh, kecuali sempat disinggung oleh Menko Polhukham untuk didamaikan secara adat dengan cara “bakar batu” dan bahwa status Papua dalam NKRI sudah final.

Terhadap akar masalah “integrasi”, standing position Indonesia adalah itu sudah final. Standing position pro Papua Merdeka adalah referendum ulang. Rekomendasi Komisi Tinggi HAM PBB adalah dialog antara Indonesia dan Papua. Tetapi Indonesia dapat menjawab bahwa dialog tentang pembangunan sudah dilakukan.

Indonesia benar. Tetapi itu dialog di antara para pihak yang sepakat bahwa NKRI itu harga mati. Dan sesungguhnya di antara mereka dengan Jakarta tidak ada konflik. Para pihak yang berkonflik adalah pro NKRI versus pro Papua Merdeka.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

Pada konteks inilah, perlu fasilitator di dalam negeri yang bisa diterima oleh semua komponen rakyat dan pemerintah pusat untuk mendiskusikan semua opsi resolusi konflik secara damai.

Salah satu opsi dialogis konstruktif, selain lobby agar PBB mendukung dilakukannya referendum ulang oleh orang Papua untuk menentukan masa depannya, adalah dilakukannya perundingan antara Indonesia dengan ULMWP difasilitasi pihak ketiga dari dunia internasional.

Hal penting yang patut digarisbawahi adalah prinsip resolusi konflik internasional yaitu mekanisme internasional dapat berfungsi apabila mekanisme domestik gagal berfungsi. Dan untuk memfungsikan semua mekanisme itu, baik mekanisme domestik maupun mekanisme internasional, diperlukan pihak ketiga sebagai fasilitator.

Pada konteks masalah Papua saat ini, fasilitator yang legitimate baik bagi rakyat Papua dan Papua Barat maupun bagi pemerintah pusat adalah Gubernur, Ketua DPR dan Ketua MRP di kedua provinsi.

Itulah sebabnya, saya sarankan agar mereka didukung. Terima kasih.

14 September 2019

)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak

Artikel sebelumnyaVeronica Koman Menanggapi Berbagai Tudingan
Artikel berikutnyaHukum: Referendum Papua Wajib!