Mengapa Mahasiswa Menolak Gubernur Papua?

0
1521

Oleh: Eduardo L. Donbosko)*

Pasca insiden Surabaya dan Malang, diikuti dengan aksi-aksi massa di berbagai kota, kerusuhan, hingga eksodus mahasiswa Papua. Tanah Papua menjadi trending topic di berbagai media massa nasional, mulai dari pemberitaan keamanan di Papua yang ditingkatkan dengan penambahan pasukan gabungan TNI-Polri hingga 7000 personil, munculnya berbagai tokoh yang mengatasnamakan rakyat Papua berjumpa Presiden, hingga berbagai pembahasan dalam rangka resolusi dibahas seperti pemekaran, otonomi, hingga pelanggaran HAM.

Dari semua itu, ada satu pemberitaan yang membuat banyak orang tergelitik dan bertanya, mengapa ada insiden penolakan mahasiswa Papua kepada Gubernur Lukas Enembe, yang melakukan kunjungan di Surabaya. Padahal dirinya adalah pejabat pilihan mayoritas rakyat Papua dalam pemilu, sehingga tidak lain dirinya adalah orang tua para pelajar ini, namun mengapa mereka menolaknya, bahkan mempermalukannya.

Sebenarnya, jauh hari sebelum kunjungan Lukas Enembe, mahasiswa bahkan telah menolak beberapa kunjungan pejabat tingkat nasional. Dan itu cukup membingungkan banyak orang Indonesia termasuk di Papua.

Banyak yang memuji independensi mahasiswa Papua itu, tetapi lebih banyak lagi yang menghujat karena menurut mereka hal tersebut adalah kesalahan dengan “menolak orang tua sendiri” di tengah penghinaan rasialisme yang dihadapi mereka dan berdampak luas di Papua. Penolakan tersebut adalah kesalahan besar yang dilakukan mahasiswa karena memperlihatkan ketidaksatuan antara orang Papua itu sendiri.

ads

Pandangan normatif ini terus dipersoalkan, sehingga mendiskreditkan mahasiswa Papua di asrama yang menolak kunjungan itu. Padahal aksi-aksi penolakan mahasiswa Papua di Surabaya itu bukanlah yang pertama kepada para pejabat. Mungkin juga bukan yang pertama dihadapi Gubernur Lukas Enembe ketika berhadapan dengan mahasiswa Papua yang berbeda pandangan politik, pandangan sejarah dan nasionalisme ke-Papua-an. Apakah terus perilaku mahasiswa Papua ini kita katakan salah karena tidak seharusnya?

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Perjuangan yang berbeda antara mahasiswa dan elit politik lokal di Papua

Sebelum insiden ini di asrama Surabaya, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi peringatan 57 tahun New York Agrement (perjanjian New York). Aksi demonstrasi yang dilakukan setiap tahunnya itu untuk memprotes kesepakatan politik tiga negara (Amerika, Indonesia dan Belanda), yang tanpa persetujuan Orang Asli Papua melakukan pengalihan pemerintahan, dari pemerintahan Belanda kepada PBB 1 Mei 1963, dan selanjutnya kepada Indonesia. Bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sehingga terjadi operasi militer terselubung berupa propaganda dan intimidasi menjelang Pepera waktu itu. Kesepakatan sepihak ini adalah salah satu akar persoalan di Papua yang terus dikenang dan diperingati mahasiswa Papua.

Ini adalah landasan persoalan yang tidak mungkin ada kesepahaman antara mahasiswa Papua dan elit politik lokal, yang saat ini adalah Gubernur Lukas Enembe. Mahasiswa membawa aspirasi yang menurut mereka adalah akar konflik berkepanjangan di Papua, dari sanalah semua masalah Papua terus terjadi dan tidak terselesaikan dalam NKRI.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sehingga tuntutan yang ditawarkan (diwacanakan) adalah penentuan nasib sendiri sebagai satu mekanisme demokratis yang diakui Internasional. Sedangkan yang mau dilakukan oleh elit politik lokal Papua di asrama Surabaya hanyalah menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan pemerintah NKRI di Papua. Mereduksi semangat perlawanan rakyat Papua yang lahir dari persekusi dan ujaran rasialisme terhadap mahasiswa Papua.

Mahasiswa Papua di asrama Surabaya menyadari itu. Bahwa seluruh rakyat Papua sedang menyaksikan apa yang terjadi dengan mereka, tentang bagaimana aspirasi yang mereka bawakan di pusat NKRI (pulau Jawa), serta persekusi dan rasialisme terhadap mereka telah menjadi semangat bersama rakyat Papua menentang negara secara terbuka dan besar di seluruh Tanah Papua. Mahasiswa Papua tidak ingin meredamkan semangat rakyat untuk melawan kolonialisme Indonesia hanya karena bertemu dengan “kaki tangan” pemerintah NKRI, walaupun mereka disebutkan sebagai orang tua (sesama Papua) sekalipun.

Sikap mahasiswa Papua itu harus dilihat sesuai konteksnya yaitu kolonialisme dan perlawanan. Karena dengan begitu saja barulah kita mampu melihat ini sebagai tindakan para pejuang kemerdekaan Papua untuk memprotes kolonialisme Indonesia. Sekaligus bentuk “pendidikan politik” kepada seluruh rakyat Papua. Bahwa dengan membuka ruang-ruang kompromi dengan elit politik hanya akan menghilangkan semangat melawan kolonialisme yang sedang terbangun di Papua saat ini.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Kesimpulan

Pergerakan nasional melawan kolonialisme Indonesia adalah tanggungjawab mahasiswa Papua di seluruh kota studi, baik di Papua, Indonesia, maupun di luar negeri. Tanggungjawab itu bukan baru dilihat paska aksi 15 Agustus 2019 dan persekusi di asrama Surabaya, atau setelah reformasi 1998, melainkan telah ada sejak sekolah pertama didirikan di Miei Wondama, 1917. Sejak itu, gerakan mahasiswa Papua telah menjadi sentral pergerakan nasional rakyat Papua, diantara berbagai kelompok (faksi yang ada) sampai sekarang. Artinya, sebelum cita-cita kemerdekaan bangsa Papua itu tercapai, maka pergerakan mahasiswa Papua akan selalu ada dalam berbagai bentuk.

Kualitas aksi-aksi yang dilakukan juga akan berbeda-beda tergantung pada momentumnya. Mungkin sekarang ini dampak pergerakan mahasiswa Papua adalah melahirkan kesadaran melawan rasialisme dan penentuan nasib sendiri bagi seluruh rakyat. Dan penolakan-penolakan kepada para pejabat Papua (elit politik) sebagai sikap politik mahasiswa, sekaligus bentuk protes karena mendukung dan menikmati sistem kolonialisme Indonesia di Tanah Papua sekaligus ikut menindas rakyat Papua.

Sehingga penolakan terhadap Gubernur Lukas Enembe dan kawan-kawannya selama ini sebenarnya adalah peringatan mahasiswa untuk semua elit politik lokal, untuk menyadari kesalahan mereka terhadap rakyat. Yaitu menjadi kaki tangan kolonial. Solusi bagi mereka adalah lepas garuda dan bersatu dengan massa rakyat hari ini.

14 September 2019

)* Penulis adalah massa demonstran

Artikel sebelumnyaDinsos Papua Tangani Korban Kerusuhan di Kota Jayapura
Artikel berikutnyaLawan Rasisme, Ribuan Masyarakat Yahukimo Kembali Turun Jalan