JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Tiga wartawan papua, Beny Mawel [Koresponden The Jakarta Post dan Jubi], Hengky Yeimo [Jurnalis Jubi] dan Ardi Bayage [jurnalis Suara Papua] mendapat intimidasi, dilarang meliput dan diusir saat hendak meliput pembukaan posko eksodus mahasiswa papua di halaman Auditorium Uncen, Abepura, Senin (23/9/2019) di Jayapura, Papua.
Alinasi Jurnalis Independen [AJI] Kota Jayapura dan Forum Jurnalis Asli Papua [FJAP] mengeluarkan pernyataan untuk mengutuk dan mengecam aparat yang melarang dan menghalangi tiga wartawan yang hendak meliput dengan melakukan intimidasi, pembatasan akses liputan dan pengusiran dari aparat kepolisian.
Dari siaran pers AJI dan FJAP yang diterima media ini membeberkan kronologis yang dihadapi tiga wartawan itu. Berikut kronologisnya:
Kronologis
Jurnalis Jubi Hengky Yeimo, Kontributor The Jakarta Post Beny Mawel, dan Wartawan SuaraPapua.com Ardi Bayage dilarang meliput pembukaan Posko Eksodus Solidaritas Mahasiswa Papua Papua Yang membuat posko di Halaman Auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen). Kejadian ini terjadi di depan Kampus Kedokteran, Uncen pada 23 September 2019 pukul 06.55 Waktu Indonesia Timur.
Perlakuan aparat kepolisian Resort Kota Jayapura sudah melanggar kode etik Jurnalistik dan undang-undang pers No. 40 Tahun 1999. Padahal wartawan Indonesia dan Wartawan di Papua selalu bekerja sesuai dengan kode etik yang dijunjung oleh wartawan se-indonesia tersebut.
Jurnalis Jubi dan Kontributor The Jakarta Post Beny Mawel, menceriterakan kronologi pelarangan bagi ketiga wartawan untuk meliput berita.
Persis pukul 07.00 WP Kami bertiga tiba di depan pintu Gerbang Kedokteran Uncen. Kami bertiga parkir motor. Setelah parkir motor Kami melakukan tugas kami untuk meliput berita. Setelah memarkir motor, saat itu juga kami bertiga mengambil gambar dan mengambil video.
Ketika Aparat kepolisian dibawah pimpinan Kapolsek Abepura Jayapura. Sebelumnya mereka [ketiga wartawan Papua] memotret spanduk yang bertuliskan, ‘POSKO Solidaritas Mahasiswa Exsodus Papua’.
Setelah itu kami memotret rombongan polisi dibawah kapolsek Abepura, AKP Clief G. Philipus Duwitd hendak merobek spanduk yang dipajang oleh mahasiswa di depan pagar Gapura Uncen.
Saat itu mereka polisi Intel (polisi berbaju preman) menginterogasi mendorong Hengky Yeimo dan Beny Mawel ke tempat parkiran motor. Saat itu kami sampaikan kekesalan kami atas perlakuan aparat, Kemudian kami mengambil gambar lagi. Lalu mereka dorong kami dan kami berdebat di situ.
Saat itu Topinya Ardi Bayage berlogo PNG berwarna hitam di suruh buka dan mereka mengatakan, ‘ei buka topi! anjing, wartawan tidak jelas’ pada saat itu Benny pakai helm, Hengky pakai topi dan Ardi pakai topi. Saat buka topi, Ardi dipukul dengan tangan di kepala lalu polisi mendorong kami tiga. Saat itu sempat debat dan minta polisi untuk tidak dorong kami.
Kami juga mendengar Kapolsek Abepura teriak, “Jubi mana, jubu mana, media provokator!”
Menurut mereka [polisi] Kapolres kota Jayapura sudah perintahkan untuk melarang wartawan Jubi meliput berita. Lalu aparat kepolisian berteriak kepada kami, ‘Mereka tiga wartawan jubi, wartawan jubi provokator, kalian tulis berita itu tidak seimbang’, ungkapan ini dikeluarkan salah satu anggota polisi di situ.
Mendengar ujaran ujaran diskriminasi tersebut kemudian kami membantah mereka. Lalu kami berdebat. Beny Mawel mengatakan, wartawan, Independen. Kami bekerja sesuai dengan Undangan Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Mereka bilang bahwasanya Jubi itu media provokator. Lalu mereka mendorong kami. Kami berdebat lalu mereka ngotot bahwa, atas perintah Kapolres kota Jayapura, maka kalian tidak bisa liput. Lalu kapolsek abepura memerintahkan anggotanya untuk mengamankan kami di polsek. Kapolsek juga sempat mengatakan jubi media provokator.
Kemudian kami membalas lagi, kami bekerja sesuai dengan undang udang pers. Kami ikut perintah pimpinan kami di kantor bukan keinginan Kapolres kota. Jadi kalian tidak bisa intervensi pekerja media. Kalian akan kami laporkan ke, AJI, Dewan Pers, dan LBH.
Persis pukul 07.05 WIT Kapolsek Abepura memerintahkan untuk mengamankan kami di kantor polisi Abepura. Kemudian kami didorong paksa untuk meninggalkan gapura Uncen. Kami didorong dengan maksud tidak melakukan peliputan tersebut.
Sepanjang jalan yang dijejer polisi, kami terus melakukan protes. Bahwa kami pekerja pers tidak adapun yang bisa menghalangi kerja-kerja kami. Namun salah seorang intel menggunakan baju merah [badan gendut] mengantar kami sampai di dekat apotek depan museum uncen.
Kami meminta kepada Inte tersebut untuk mengantar kami sampai ke kantor polisi, atau ke kantor Lembaga Bantuan hukum di Kampkey. Tapi Intel itu antar kami sampai di depan apotek tersebut. Lalu dia kembali ke depan gapura uncen. Tidak mengantarkan kami sampai di Polsek dan LBH Papua.
Persis pukul 07.30 kami berdiri sambil protes perlakuan aparat kepolisian. Sementara itu Wakapolres Kota Jayapura Kompol Heru Hidayanto lewat dan kami meminta bantuan. Tetapi satu orang polantas yang ada di depan apotik mengatakan bahwa ini perintah Kapolres. Kemudian beliau minggir dan kami dibawa. Kami meminta bantuan beliau namun dia lewat saja.
Setelah itu kami kontak LBH Papua, Ketua AJI, Pemred untuk melakukan advokasi atas tindakan Aparat Kemanan yang sangat tidak manusiawi kepada kami sebagai wartawan yang di lindungi oleh undang-undang pers No. 40 Tahun 1992.
Setiba disana kemudian, kami meminta polantas setempat untuk untuk mereka mengambilkan motor kami yang masih diparkir di depan pintu masuk kampus kedokteran Universitas Cenderawasi. Tetapi polantas setempat mengatakan bahwa kalian dilarang naik untuk mengambil motor. Kami sudah menyampaikan untuk tidak akan memotret lagi tetapi tetap tidak bisa kami tidak akan diizinkan.
Terpaksa kami bertiga mengamankan diri tetapi Intel intel masih memantau kami apakah kami mengambil gambar dan meliput kegiatan tersebut atau tidak. Terpaksa kami bertiga ke Abepura kemudian kembali lagi ke uncen untuk berusaha naik mengambil motor.
Ketiga jurnalis mengaku dimaki dengan kata-kata binatang dan mendengar Ucapan Kapolsek Abe dengan menyebutkan ‘Jubi media provokator’. Polisi juga sempat foto wajah kami dari dekat yang bikin kami merasa terintimidasi.
REDAKSI