Eksodus Mahasiswa Papua: Spirit Baru Orang Papua (Bagian I)

0
1985

Oleh: Natan Tebai)*

Banyak media di Indonesia mengabarkan, mahasiswa Papua eksodus harus kembali kota studi asal, melanjutkan studi. Negara melalui pemerintah akan biaya transportasi pulang, kampus-kampus di Papua tidak menerima mahasiswa eksodus, pusat perkumpulan mahasiswa eksodus dibubarkan aparat gabungan (Polisi, Brimob dan Tentara).

Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan akan mendirikan universitas terbaik di 5 wilayah adat (Lapago, Mamta, Saireri, Meepago, dan Animha). Aksi rasial dilakukan oleh masyarakat Indonesia ditutupi, dibungkam secara sistematis oleh negara, yang dimunculkan tindakan negara terhadap aksi protes mahasiswa Papua.

Ajakan (pernyataan) di atas berbeda dengan kondisi yang dialami oleh mahasiswa eksodus di perantauan. Mereka diperhadapkan dengan ancaman, intimidasi, dikurung dalam asrama. Ada kejadian di Surabaya, mahasiswa dipaksa dan dituduh telah menurunkan bendera Merah Putih saat menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia; Semarang, Malang wakil walikotanya menyebut mahasiswa harus dipulangkan.

Di Yogyakarta, mahasiswa Papua mengalami hal sama. Kasus Obi Kogoya, dihina dengan sebutan ‘kera’. Semua kejadian di daerah Indonesia tertuju pada mahasiswa Papua.

ads

Soal akademik, mahasiswa Papua secara akademik di kampus-kampus di Indonesia, belum banyak diberitakan tentang kesuksesan, perjuangan, pergulatan maupun prestasi akademik. Mereka diperlakukan tidak adil, rasisme dan lainnya. Bukan soal akademik dari mahasiswa eksodus, mereka merasa resah itu muncul dalam interaksi lingkungan sosial-budaya masyarakat Indonesia, terutama tindakan dari kelompok/organisasi bentukan lembaga negara (mungkin) bernaung dibawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Eksodus Mahasiswa Persoalan Sosial-Budaya

Keputusan diambil oleh mahasiswa kembali ke tanah airnya (eksodus) bukan persoalan akademiknya, tetapi situasi dan kondisi sosial-budaya yang tidak mendukung mereka bertahan mengenyam ilmu di perantauan. Kenyamana dan keamanan yang tidak menjamin mereka. Soal kembali-lanjutkan studi, kapan saja bisa. Tetapi, apakah ada jaminan keamanan dan kenyamanan mereka akan tercipta bagi mahasiswa eksodus?

Sedangkan di media nasional, kita membaca, ada institusi negara telah mendukung, bersatu dengan gerakan masyarakat sosial-budayanya untuk mematahkan gerakan, kehidupan mahasiswa eksodus.

Sebagai orang Papua, apa yang harus kita kita lakukan? Biarkan berlarut ataukah tindakan apa yang kita buat?.

Dari potret itu situasi, secara perspektif pribadi saya melihat lingkaran pemerintah provinsi memaksa mahasiswa kembali, akademika di Papua tidak menerima mereka sebagai mahasiswa, kepolisian mengejar-memburu mahasiswa. Perbuataan ini justru menyingkirakan ribuan mahasiswa dari peran sosialnya sebagai anak Papua dan mereka akan mengalami dunia transisi; ikut yang mana?.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Akibatnya, nasib mereka (akademik) akan korban, apalagi nyawa mereka. Situasi transisi ini tidak ada pihak selain mahasiswa eksodus menawarkan solusi, atau jalan penyelesaian. Biarkan mahasiswa ini menentukan sikapnya yang jelas untuk masa depannya. Eksodus mahasiswa sebenarnya bersamaan dengan politik Indonesia Jokowi-Prabowo dan lainnya. yang menggerakaannya, mungkin karena bersamaan kejadian ada dua agenda.

Pertama, dekat pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih; kedua, persiapan penyusunan kabinet jilid II Jokowi-Ma’aruf.

Orang Papua dan mahasiswa eksodus bagian dari dampak mereka. Kejadian lain, jarang terjadi media terlihat menyiarkan tentang Papua, heran, kejadian mahasiswa semua media berlomba-lomba mengupdate kasus. Lain sisi, muncul isu pemekaran di Tanah Papua, Provinsi Tabi, Papua Barat Daya, Papua Selatan, Pegunungan Tengah, Saireri. Ada juga pertemuan 61 tokoh papua ketemu Presiden RI.

Dari eksodus mahasiswa melahirkan elite-elite politik yang berpihak pada negara, kaum borjuis yang tidak memperhatikan suara kaum tak bersuara. Mereka menimba peluang dengan agendanya (sepihak). Banyak orang Papua yang dibentuk oleh negara sebagai antek-antek negara bermunculan di media, berusaha memediator soal eksodus mahasiswa ini. Padahal mereka (antek-antek) di kalangan orang Papua tidak mempercayainya sebagai pemimpin.

Eksodus Menjadi Alat Gerakan Sosial di Papua

Dari eksodus mahasiswa ini, sebagai stimulan untuk OAP melahirkan sebuah organisasi atau pemimpin yang diangkat atau lahir dari aspirasi mereka sendiri. Entahlah siapa orangnya. Internal mahasiswa ini kini menjadi korban dari kepetingan para elite Jakarta dan Papua tidak hikmat melihat dan menangani mereka. Eksodus mahasiswa jika dibiarkan terus akan menjadi sebuah gerakan dalam taktik perjuangan orang Papua sendiri. Tetapi lebih dekat pasti para mahasiswa eksodus telah pikirkan.

Sedikit berbagi. Seperti kejadian tahun 2008, ada gelombang mahasiswa yang eksodus dari Sulawesi dan Jawa. Mereka kemudian membentuk front pemersatu rakyat tertindas seperti organisasi yang ditakuti oleh negara Indonesia di Papua. Para mahasiswa membentuk wadah yang namanya Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Tahun itu pusat komando mereka di makam Theys Eluay.

Kelompok mahasiswa yang berkomitmen, tinggalkan studi, korbankan masa depannya. Mereka berkomitmen untuk berjuang di jalur Papua Merdeka, mengakhiri sistem penindasan dan penjajahan tanpa yang mengorbankan rakyatnya di kota maupun daerah terisolir rawa, pegunungan dan pesisiran.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

KNPB sebenarnya dalam sejarah Papua seperti Paniai yang menyiapkan perang negara ketika tahun 1960-an. KNPB masa kini menjadi media rakyat. Mereka menghubungkan aspirasi masyarakat, lebih fokus tentang peran diplomasi Papua dalam dan luar negeri. Struktur yang mengakar hingga jaringan akar rumput itu mampu merepotkan pihak penegak hukum (kepolisian, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan lainnya).

Golongan eksodus mahasiswa dalam KNPB tidak memikirkan masa depan dirinya, tetapi sebaliknya mereka mengharapkan resolusi politik untuk masa depan rakyat secara menyeluruh. Aksi-aksi KNPB selalu saja aparat keamanan (polisi dan tentara) kedepankan tindakan represif, penangkapan sewenang-wenang. KNPB identik dengan penjara, sekalipun penjara adalah istana bagi mereka (Ones Suhuniap). Secara individu banyak yang telah meninggal tiap tahun. 10 hingga 15 anggota meninggal akibat tindakan negara. Tetapi sebaliknya, banyak juga yang berkehendak menjadi kader dari KNPB.

Apa Agenda Mahasiswa Eksodus 2019?

Gelombang mahasiswa eksodus tahun 2019 seperti mahasiswa menciptakan panggung dan banyak yang menari. Tetapi kemudian mahasiswa eksodus jadi penonton (korban). Ada aksi pembubaran mahasiswa eksodus di Timika oleh Kapolres Mimika. Pembubaran disertai penangkapan terhadap belasan mahasiswa; aksi pendirian posko induk di kampus Uncen dibubarkan paksa oleh aparat gabungan, Brimob menembak Jery Murib, 4 orang korban dan 733 orang masuk tahanan Brimob. Ada korban hilang, Oktopianus Mote, mahasiswa Stikom Muhammadiyah Jayapura ditemukan tewas tak bernyawa. Jenazahnya ditemukan di RS Bhayangkara.

Mahasiswa eksodus diperhadapkan dengan tindakan demikian, berbeda dengan harapan mereka untuk lanjutkan studi di tanah airnya ditolak hingga mereka terlantar dan dipenjarakan.

Tindakan masyarakat Indonesia di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, dan Jakarta ikut membangkitkan rakyat Papua yang selama ini tidur lelap (diam) dengan realitas mereka, kelompok muatan nilai persatuan dihancurkan, sehingga pergerakan dilakukan, mereka tercerai berai dalam setiap individu, stereotipe sosial gunung pantai, pesisir rawa tercipta. Tetapi aksi masyarakat Jawa yang menghina martabat, jati diri orang Papua ikut juga menjadi penyambung tali persatuan yang selama ini putus.

Aksi gelombang protes dari masyarakat Papua Barat di Mnukwari, Sorong Raya, Jayapura ikut berdampak ke kabuapten induk Nabire, Merauke, Wamena, Sorong, Fak-Fak, Jayapura. Telah menjadi pusat gerakan protes hingga kini terbagi di daerah pemekaran baru seperti Deiyai, Teminabuan (Sorsel), Yalimo, Yahukimo, Boven Digoel. Gerakan aksi ini ikut menstimulan masyarakat Papua untuk menentukan sikapnya. Dari aksi ini rupanya Undang-Undang Nomor 21 yang telah diberikan itu seakan habis di tahun 2019. Kejadian tahun 2000, pendirian pusat perlawanan-menentukan nasib bagi masyarakat akan bermunculan.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Gelombang tahun 2021, militansi perlawanan rakyat akan memuncak nanti, sebab massa tengah beranjak dengan pemikiran bahwa nyawa bukan lagi taruhan terakhir. Di sinilah negara akan menentukan sikapnya: apakah melalui pemekaran, perpanjang Otsus, negara federasi atau kemasan lainnya?.

Aksi eksodus mahasiswa tahun 2019 adalah spirit persatuan rakyat Papua seutuhnya. Pertanyannya, rasisme ini menjadi bagian dari perjuangan masyarakat selama ini ataukah tidak? Jika aksi kini hanya reaksioner semata, orang Papua menerima realitas stigma istilah monyet, gorila, kera dan label rasial lainnya. Jika aksi akan berlanjut hingga penentuan nasib masa depan rakyat untuk merdeka seutuhnya, maka agenda perjuangan mesti dirilis kembali oleh rakyat Papua seluruhnya dari Sorong sampai Merauke.

Mahasiswa eksodus jika berkomitmen fokus, maka bisa belajar dari gerakan Martin Luther King Jr, yang melawan rasisme, apartheid, dan lain-lain. Belajar dari Steve Biko, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi yang melawan diskriminasi rasial yang terjadi di negaranya dalam masa penjajahan Inggris di tanah airnya.

Apa agenda mahasiswa eksodus tahun 2019? Aksi mereka mesti menjadi agenda perlawanan masyarakat Papua. Proses penyusunan itu mesti fokus, apakah sebatas protes diskriminasi, rasisme, ataukah melibatkan agenda politik yang lazim didorong oleh KNPB, dan lain-lain. Tentu tidak ada urusan dengan KNPB. Mahasiswa ini mesti menyusun taktiknya secara terpisah, jalan perjuangannya sendiri.

Masyarakat Papua kini menunggu gerakan mahasiswa eksodus: apakah kembali ke kota studinya ataukah menetap dan menentukan sikap perlawanannya di tanah dan negerinya sendiir, Papua?.

Dan dari mahasiswa eksodus mesti melahirkan pemimpin nasional mereka, entahlah siapa diantara ribuan mahasiswa itu, sehingga menjadi organisasi yang memiliki stratak perjuangan yang terorganiasir dan terpimpin. Dari situlah, mahasiswa eksodus akan menjadi spirit baru untuk gerakan orang Papua secara utuh dalam maupun luar negeri.

Bersambung….

)* Aktivis Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP)

Artikel sebelumnyaDua Kabupaten Ini Jadi Contoh Pembangunan Rendah Karbon di Papua
Artikel berikutnyaNegara (Tidak) Harus Dibela