Negara (Tidak) Harus Dibela

0
1715

Oleh: Octovianus Pogau)*

MELALUI Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan tanggal 19 desember sebagai hari bela negara, sekaligus untuk memperingati hari berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 19 desember 1948.

Selain Kepres diatas, beberapa dasar hukum dan peraturan wajib bela negara juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakya, serta Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.

Pemerintah, baik legislatif maupun yudikatif, bahkan presiden SBY sendiri telah menyadari bertapa pentingnnya kesadaran bela negara sehingga menyusun dan menetapkan peraturan diatas untuk ditaati.

Konsep Bela Negara

Secara harafiah, bela negar sendiri diartikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.

Ada dua konsep bela negara secara umum, pertama; diartikan secara fisik dan kedua; diartikan secara non-fisik.

ads

Secara fisik, dengan mengangkat senjata untuk menghadapi serangan dari musuh, baik serangan dari dalam maupun dari luar yang membahayakan keutuhan negara republik Indonesia. Langkah-langkah ini hanya biasa diambil oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai sayap militer Negara yang telah telah dilatih secara khusus.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Dan secara non-fisik, dapat didefinisikan sebagai segala upaya untuk mempertahankan Negara dengan cara meningkatkan rasa nasionalisme, yakni kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air, serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara.

Semua warga negara Indonesia, termasuk juga warga negara luar yang sedang berada di Indonesia wajib menjalankan tugas bela negara, entah dengan cara apapun. Hal ini juga sebagai wujud penghormataan kepada para pejuang terdahulu yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pudarnya Nasionalisme

Sebagai warga masyarakat, tentu cara bela negara dengan kedepankan bentuk fisik tak akan mungkin, cara non-fisik menjadi pilihan utama, dengan kata lain meningkatkan rasa nasionalisme, dan cinta akan tanah air.

Namun, jika kita memandang secara realistis, rasa nasionalisme atau semangat bela Negara pada kebanyakan warga Negara Indonesia telah hampir pudar, dan mungkin tidak kita temui lagi, terutama di daerah-daerah konflik seperti Papua dan Maluku.

Tentu hal ini tidak timbul begitu saja, ada sebab-sebab tertentu yang membuat rasa nasionalisme anak-anak bangsa ini pudar, bahkan hilang.

Dalam peluncuran dan diskusi buku “G30S PKI, Perang Dingin, dan Kehancuran Nasionalisme” karya Tan Swie Ling beberapa hari lalu di Auditorium Perpustakaan Nasional, saya sebagai peserta diskusi sempat bertanya kepada Ben Anderson, salah satu narasumber yang juga penulis buku “Komunitas-KomunitasTerbayang” bahwa optimiskah anda Indonesia akan tetap menjadi Negara yang utuh dalam beberapa tahun kedepan?

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Pertanyaan diatas berangkat dari hasil refleksi saya terhadap kehancuran nasionalisme masyarakat Indonesia yang justru disebabkan oleh sistem negara yang buruk, dan para pemimpin di Negara ini yang tidak bijak dalam menyelesaikan segala konflik.

Misalkan, seorang Gayus Tambunan, mafia pajak kelas kakap, dengan mudah sekali keluar masuk rutan Mako Brimob, apalagi sampai bisa pergi menonton pertandingan tenis di Bali dengan menyuap para petugas. Ini menunjukan bobroknya para penegak hukum, yang bukannya mentaati hukum, justru turut melanggar hukum tersebut.

Sementara itu, kasus korupsi di Negara ini yang terus menerus meningkat. Hasil penelitian “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) pada akhir bulan Maret lalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup pertama di Asia Pasifik, dan kelima di dunia.

Kemudian, pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga terus menerus meningkat dan tak pernah di tuntaskan. Siapa dalang dibalik pembunuhan Munir hingga saat ini tidak pernah diketahui publik, padahal presiden SBY telah berjanji untuk membentuk tim pencari fakta dan menuntaskan hingga sampai akar-akarnya. Pelanggaran HAM di Papua juga tak pernah dicari bentuk penyelesainnya.

Dengan beberapa refleksi inilah saya menyimpulkan, bahwa kehancuran nasionalisme atau “keengganan” bela negara yang ditunjukan oleh sebagiaan besar warga Negara Indonesia di sebabkan oleh para aktor negara sendiri. Tetapi cukup bijak Ben Anderson menjawab, bahwa sebaiknya jangan ada yang keluar dari Negara Indonesia.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tekad Pemerintah

Melihat rasa nasionalisme Indonsia yang semakin pudar, dan “keengganan” bela negara yang ditunjukan sebagian besar warga masyarakat Indonesia, ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, secara khusus presiden SBY.

Pemerintah, dalam hal ini para pimpinan negara ini harus menunjukan tekadnya untuk membangun masyarakatnya Indonesia. Rasa nasionalisme dan semangat bela negara akan muncul dengan sendirinya, jika para pimpinan negara ini berlaku adil, dan konsisten menjalankan semua perundang-undangan yang telah di buat.

Yang perlu di bela adalah masyarakatnya, dengan bagaimana para pemimpin tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari hukum, sembari menyelesaikan setiap permasalahan di dalam negeri secara bijak dan bermartabat.

Negara “tidak” harus di bela, tetapi masyarakatnya yang perlu di bela. Jika masyarakat sudah di bela, tentu mereka juga akan membela negara, dan rasa nasionalisme akan semakin tumbuh. Selamat memperingati hari bela negara. Semoga saja Indonesia menjadi Negara yang lebih baik.

Catatan ini pernah diterbitkan di blog pribadinya dan dipublikasikan ulang di situs Suara Papua.

)* Penulis adalah pendiri portal Berita Suara Papua. Ia adalah jurnalis muda Papua yang cerdas dan kritis, ia meninggal pada Februari 2016. 

Artikel sebelumnyaEksodus Mahasiswa Papua: Spirit Baru Orang Papua (Bagian I)
Artikel berikutnyaDinas PPPA: Data Korban Kekerasan Perempuan dan Anak Belum Akurat