JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Dua puluhan LSM menolak Rancangan Undang-Undang Pertanahan karena dinilai akan mengancam hilangnya kedaulatan dan hak atas tanah adat.
Perwakilan masyarakat adat dan pimpinan organisasi masyarakat sipil untuk perjuangan hak masyarakat adat, keadilan dan lingkungan di Tanah Papua pada 24 September lalu menyatakan RUU Pertanahan mengancam hilangnya kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah.
Perwakilan masyarakat adat menilai RUU Pertanahan tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat akar rumput terkait penataan ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah yang adil dan berpihak pada rakyat miskin.
“RUU ini diindikasikan melindungi kepentingan para pemodal, misalnya Pasal yang mengatur luas dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU); yang mengkompromikan memutihkan pelanggaran perusahaan yang beroperasi tanpa HGU (Pasal 154, RUUP),” tulisnya dalam pernyataan yang diterima media ini.
Dijelaskan, RUU Pertanahan jika disahkan jadi UU maka dikhawatirkan dapat menghilangkan dan merampas hak atas tanah milik dan atau tanah adat melalui mekanisme, yakni jika tanah milik tersebut tidak dapat dibuktikan haknya melalui proses penetapan hukum dalam waktu tertentu (5 tahun), maka tanah tersebut menjadi tanah negara (Pasal 153, RUUP).
Koalisi ini juga menyatakan pasal dalam RUU Pertanahan masih menafikan fungsi sosial dan kepentingan perlindungan lingkungan, dapat memicu terjadinya deforestasi dan penghancuran sendi kehidupan sosial budaya, kemandirian masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi.
Selain itu, masih ada pasal pengecualian pemilikan tanah untuk kepentingan skala ekonomi tertentu dan kepentingan strategis nasional (RUUP, Pasal 18); masih menutup hak dan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi data tertentu (RUUP, Pasal 62); dan berpotensi mengkriminalisasikan warga dan aktifis pergerakan pembela hak agraria (RUU, Pasal 141 dan Pasal 145).
Perwakilan masyarakat adat menyatakan, RUU Pertanahan tidak sesuai dengan konstitusi, visi kesejahteraan dan keadilan, berpotensi menciptakan dan memperkeruh konflik pertanahan yang merugikan negara dan masyarakat.
“Karena itu koalisi menyatakan dan meminta kepada anggota DPR dan pemerintah untuk segera menghentikan proses pembahasan RUU Pertanahan tersebut,” tulis Koalisi.
Dua puluhan perwakilan masyarakat adat yang tergabung di dalam koalisi tersebut adalah Perwakilan Masyarakat Adat Moi; Masyarakat Adat Yerisiam Gua; Masyarakat Adat Marind; Walhi Papua; Yayasan Pusaka; Foker LSM Papua; Greenpeace Indonesia; Perkumpulan Belantara Papua; LBH Papua; AMAN Sorong Raya; SKPKC Fransiskan Papua, KPKC GKI di Tanah Papua; SKP Keuskupan Agung Merauke; Yayasan Anak Dusun Papua; PTPPMA Papua; YALI Papua; Papuan Voices; JERAT Papua; LP3BH; Perkumpulan Panah Papua; Jaringan Advokasi Perampasan Tanah – Papua; Yayasan Teratai Hati Papua; ELSAM; Protection International; Papua Forest Watch; LAPEMAWIL.
Baca Pernyataan Sikap Masyarakat Adat Lengkap di sini: Pusaka.or.id
Pewarta: Arnold Belau